Saya sangat tidak sepakat ketika sebutan “kafir” itu menjadi pelabelan secara sentiment terhadap identitas yang berbeda agama dengan kita. Sebab, di dalam Al-Qur’an, istilah “kafir” itu bukan merujuk ke dalam religious identity atau identitas keagamaan melainkan mengacu ke dalam (perilaku) seseorang yang melanggar aturan-aturan etis agama.
Istilah “kafir” pada dasarnya memiliki derivasi yang luas, meliputi alasan yang merujuk ke dalam perilaku kita dan siapa-pun itu. Misalnya, hadirnya (QS. At-Taubah:29) bukan bersifat “pengkafiran” terhadap mereka yang tidak memeluk Islam. Melainkan mengacu terhadap perilaku Ahlul Kitab yang ingkar atas (perjanjian) yang dibangun dan mengubrak-abrik ajaran Taurat-Injil secara politis.
Dalam konteks lain, misalnya kekafiran bagi mereka yang “kufur” atas nikmat Tuhan yang disebutkan di dalam (QS. Ibrahim:29) dalam potongan “Jika kamu kufur (mengingkari nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
Ada pula bentuk kekafiran yang merujuk ke dalam wilayah “ingkar” atas ajaran-Nya. Seperti perilaku yang mengacu ke dalam (QS. Al-Baqarah: 42) “Jangan kalian mencampur kebenaran dengan kebatilan. Jangan juga menyembunyikan kebenaran. Padahal kalian menyadarinya”.
Perilaku Terorisme dalam Kekafiran
Secara orientasi teologis, ayat (QS. Al-Baqarah: 42) sebetulnya merujuk ke dalam cara pandang yang kokoh di dalam melihat perilaku terorisme itu. Tentu, point penting yang memperkuat argumentasi ini pada dasarnya mengacu ke dalam wilayah tindakan zhalim yang “dibenarkan” lalu membawa dalil agama untuk (menyembunyikan) kebenaran ajaran-Nya tentang larangan perilaku zhalim.
Tentu, perilaku zhalim layaknya aksi-aksi terorisme seperti bom bunuh diri itu merujuk ke dalam perilaku kekafiran yang dimaksud. Sebab, mereka telah ingkar atas ajaran-Nya yang sangat menantang pembunuhan yang termaktub dalam (QS. Al-Maidah:32). “Barang Siapa yang membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua umat manusia”.
Dari sini kita bisa memahami satu hal tentang istilah kekafiran itu pada dasarnya merujuk ke dalam (perilaku diri kita) bukan menjadi label sentiment terhadap mereka yang berbeda agama. Sebab, dalam konteks perbedaan agama-pun kita tidak berhak menghakimi siapa-pun berada dalam kekafiran. Sebab, orientasi iman selalu mengacu ke dalam wilayah hati dan kita tidak tahu hati mana yang iman kepada-Nya. Jadi jangan kotori sikap kita untuk mengafirkan orang lain sedangkan perilaku kita mencerminkan sebuah kekafiran.
Terorisme adalah Kekafiran yang Harus Kita Brantas
Dalam konteks terorisme, mutlak Saya katakan bahwa mereka adalah “orang kafir” yang sebetulnya layak untuk kita perangi. Hal demikian merujuk ke dalam basis perilaku mereka yang tentunya sangat ingkar, melanggar dan tidak sesuai dengan ajaran-ajaran yang termaktub di dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Kekafiran adalah sebuah perilaku yang melanggar segala aturan dan ingkar terhadap segala perintah Tuhan. Misalnya, larangan membunuh seperti yang termaktub di dalam (QS. Al-Maidah:32). Larangan merusak tatanan (QS. Al-Baqarah:11) dan larangan untuk memecah-belah perbedaan agar bisa hidup harmonis (QS. Al-Hujurat:13).
Ini adalah fakta yang harus kita sadari bahwa kesesatan berpikir yang dibangun kelompok radikal menganggap pemerintah Indonesia kafir merupakan sebuah “alibi”. Ungkapan yang sifatnya sebagai politis untuk menghalalkan kezhaliman mengatasnamakan agama dalam klaim kekafiran itu. Sebab, tidak ada kebenaran klaim kafir-halal darahnya yang merujuk terhadap non-Muslim.
Kelompok terorisme merusak sebuah pola kehidupan aman dengan teror dan kezhaliman. Ini adalah perilaku yang sangat merepresentasikan bentuk kekafiran yang nyata. Sebagaimana yang disebutkan dalam (QS. An-Nisa’:168) “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezhaliman. Allah tidak akan mengampuni mereka dan tidak pula akan menunjukkan kepada mereka jalan lurus”.
Point yang Saya ingin katakan: cobalah kita bukan kesadaran kita untuk tidak terpengaruh terhadap gerakan ideologis sebuah narasi “kafir” yang menjadi jalan sentiment bagi kita untuk memusuhi orang yang berbeda agama. Terorisme adalah kekafiran yang nyata dan perlu kita perangi sebab mereka telah ingkar dan melanggar nilai-nilai kebenaran-Nya yang sangat terang-benderang memerintahkan kita untuk tidak membunuh, berbuat zhalim dan merusak tatanan serta membuat teror.