Urgensi Literasi Digital Inklusif Bagi Anak

Urgensi Literasi Digital Inklusif Bagi Anak

- in Narasi
2074
0
Urgensi Literasi Digital Inklusif Bagi Anak

Pada perayaan HUT RI ke-73 ini, media sosial kembali dihebohkan dengan adanya kegiatan karnaval anak-anak, Taman Kanak-kanak (TK) berbusana cadar dan mengenakan replika senapan laras panjang. Kegiatan peringatan HUT RI ini di gelar di Kota Probolinggo, Jawa Timur yang kemudian menjadi pusat perhatian para warganet dimedia sosial (Tribunnews.com/18/8). Sontak saja aksi karnaval tersebut menyulut kontroversi. Dikarenakan “kostum” yang digunakan anak para peserta karnaval menyerupai kostum para pasukan tempur yang berafiliasi dengan Islamic State. Dengan kata lain, kegiatan tersebut bisa ditelisik sebagai upaya inisiasi atau menanamkan sikap-sikap liar anti kebangsaan melalui simbolisasi kepada anak-anak sedari dini.

Padahal dalam teori habitus, simbol tentu memiliki makna “kuasa” yang kemudian bisa menjadi asupan pengetahuan dan roh gerakan. Apalagi simbolisasi kian berbahaya jika kemudian disusupi oleh benih-benih radikalisme. Seperti penanaman militansi kebencian terhadap pihak lain, intoleransi, sikap ekslusif, heroisme kekerasan dan sikap acuh hingga apati terhadap nilai kebangsaan sudah ditanamkan sejak usia dini. Sebab, bila mereka beranjak dewasa maka simbolisasi tersebut akan bisa menjadi kiblat para anak-anak. Dengan kata lain, jika kemudian benih-benih penanaman radikalisme tersebut kian dibiarkan dan ditambah dengan berperannya dunia maya, maka dipastikan simbolisasi yang kemudian diduplikasi secara terus menerus akan menjadi nalar radikalisme yang sangat membahayakan bagi generasi penerus bangsa.

Identifikasi tersebut kian mengonfirmasi bahwa ancaman terhadap persebaran radikalisme pada anak-anak sejak usia dini bisa melalui para guru-gurunya disekolah dan melalui konten-konten liar yang ada di dunia maya. Untuk guru mungkin masih bisa diantisipasi sedemikian rupa, mengingat proses tatap muka antara guru serta anak sejak dini masih terbatas antara ruang dan waktu. Akan tetapi, untuk persebaran melalui gawai dan dunia maya jelas akan sangat sulit dicegah. Pasalnya, persebaran konten radikalisme melalui gawai tidak mengenal ruang dan waktu. Apalagi geliat perkembangan teknologi informasi yang di barengi dengan menguatnya peran media sosial telah banyak mengubah pola komunikasi dan pengetahuan digital pada anak-anak dalam keluarga. Hal itu terlebih pada anak-anak dan para generasi milenial yang tumbuh di era digital.

Oleh sebab itu, untuk mengantisipasi hal tersebut tentu diperlukan berbagai langkah taktis salah satunya gerakan literasi digital inkulsif bagi anak. Yakni gerakan literasi yang tidak hanya mengenalkan anak-anak pada dunia maya, tapi sekaligus mengajarkan anak-anak untuk bisa ikut mereproduksi atau menciptakan konten-konten kreatif seperti aplikasi game yang berwawasan kebangsaan dan Pancasila. Termasuk konten-konten yang bersifat mendidik dan tentunya memuat nilai-nilai keberagamaan, kebangsaan, toleransi dan gotong royong. Hal itu terbukti cukup berhasil dari kegiatan yang pernah digelar oleh Kantor Staf Kepresidenan dengan tajuk Literasi Digital Inklusif (LIDI) di Sleman Yogyakarta (13-16/8/2018)

Dalam kegiatan itu, anak-anak dilatih dan dibimbing untuk bisa membuat aplikasi game. Dan terbukti hampir semua peserta pelatihan yang terdiri dari anak-anak, bisa membuat aplikasi game yang kreatif dan tentunya berwawasan kebangsaan. Jika kemudian langkah taktis ini bisa terus digulirkan untuk semua daerah di Indonesia, maka secara otomatis produk aplikasi game yang dihasilkan anak-anak, itu bisa turut menenggelamkan berbagai konten liar berbau radikalisme pada gawai anak-anak.

Dengan catatan tetap diperlukan peran orang tua dalam mendukung gerakan literasi digital inkulsif bagi anak. Para orang tua harus lebih banyak menyediakan waktu khusus, ketika anak-anaknya mengunakan gawai dan berselancar di internet. Para orang tua harus bisa memberikan penjelasan tentang kreativitas apa saja yang dapat dilakukan hingga aspek apa saja yang harus dihindari dari pengunaan teknologi infromasi. Sebut saja, perihal manfaat yang didapat dari beragam model pendidikan online yang kekinian dengan kondisi zaman now. Termasuk kemudian ikut aktif memilah dan memilih fitur-fitur teknologi mana saja yang bermanfaat dan harus di hindari oleh anak-anaknya. Sehingga para orang tua bisa terlibat aktif menerapkan proses verifikasi sebelum sharing konten.

Selain itu, peran orang tua sangat dibutuhkan untuk bisa melakukan pembatasan penggunaan gawai bagi anak-anaknya dan bukan memberikan akses secara bebas tanpa kendali. Dengan komitmen dan kendali yang ketat kita berharap peran orang tua dapat mendukung gerakan literasi digital inklusif yang dapat menjadi penentu apakah anak-anak kita berpeluang menjadi korban dari benih-benih radikalisme ataukah terselamatkan dari benih-benih radikalisme tersebut. Singkat kata, berbagai gerakan literasi digital inklusif bagi anak sejak dini dipercaya, mampu membendung peredaran benih-benih radikalisme yang disebar melalui media sosial. Sekaligus bisa turut membumikan akan pentingnya konten Pancasila sebagai pegangan hidup keseharian bagi anak-anak sejak dini tanpa harus membatasi mengenal dunia maya.

Facebook Comments