Masih ada yang menuduh UU ITE dibuat untuk membungkam pihak oposisi, pihak yang selalu mengkritik kebijakan pemerintah. Padahal, jika dilihat dari semangat UU ini, ia justru menjaga hak kebebasan para pengkritik agar hak-haknya bisa terlindungi.
Serta memberi perlindungan kepada siapa pun –bahwa dalam aktivitas di media sosial itu ada aturan ada etika yang harus dipatuhi. Dengan demikian, UU sejatinya mempunyai dua sisi sekaligus. Satu sisi ia memberikan kebebasan dengan menjaga hak-hak para pengguna media sosial.
Tetapi di sisi yang lain, ia juga membatasi sedini mungkin, bahwa kebebasan itu bukanlah dalam arti “sebebas-bebasnya”, yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain dengan munculnya ujaran kebencian, hoax, pencemaran nama baik, dan rasisme.
Saya kira kedua sisi inilah yang hilang ketika orang meributkan UU ITE sekarang. Orang hanya melihat satu sisi, yakni sisi negatifnya. Padahal, sisi positifnya yang bisa digunakan untuk membangun iklim yang sejuk, dewasa, dan beradab dalam lalu lintas komunikasi di dunia maya, justru hilang dari pantauan sementara orang.
UU ITE dan Kewarasan Ruang Publik
UU ITE sangat perlu diberdayagunkan untuk menjaga kewarasan di ruang publik-virtual. Sebab, kewarasan dan kedewasaan ruang publik-virtual adalah pertanda sehatnya suatu masyarakat.
Masyarakat yang waras tergantung pada individu-individu yang waras. Waras dimaksud di sini adalah kemauan menjaga rasionalitas, keberadaban serta akal sehat publik.
Dengan ketiga unsur ini, –yakni rasionalitas, keberadaban serta akal sehat –diharapkan persatuan, persaudaraan, perdamaian, keutuhan Negara, keberagaman, dan segala hal positif lainnya bias terjaga.
Sehat dan warasnya ruang publik tergantung pada individu-individu di ruang publik. Bila nilai-nilai positif yang suarakan di ruang publik oleh para maka perdamaian dan kesatuan yang akan terjadi.
Jika sebaliknya, ruang publik dipenuhi dengan ujaran kebencian, hoax, rasisme, dan intoleransi, maka kegaduhan yang akan terjadi. Salah satu tempat menyuarakan dan debat public itu adalah lewat media sosial.
Mengapa penting merawat kewarasan publik lewat media sosial? Pertama adalah karena hubungan dan relasi manusia di era digital ini berbeda jauh sebelum era digital.
Relasi di era digital itu bersifat maya, tidak real, jauh di sana, dan bukan dunia nyata. Relasi ini terjadi melalui media sosial, baik itu Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, dan sederet media lainnya.
Hubungan yang berbasis maya, tentu berimplikasi terhadap hubungan manusia di dunia nyata dalam kehidupan sehari-hari. Hal yang sama bisa dikatakan, dunia maya yang sehat, yang suka menyebarkan kedamaian, persaudaraan, dan keutuhan NKRI, menunjukkan dunia nyatanya juga sehat.
Begitu juga sebaliknya. Hubungan dunia maya dan dunia nyata dalam konteks merawat kewarasan publik adalah hubungan sebab akibat.
Kedua, media sosial adalah media demokratis, semua bias aktif dalam berpartisipasi dalam debat publik. Media social berbeda dengan TV atau media konvensional lainnya seperti Koran dan majalah, yang hanya diisi oleh oleh segelintir orang. Mereka yang punya akses dan kapasitas saja yang bias aktif berkontribusi.
Sementara masyarakat awam hanya menjadi konsumen. Sehingga opini yang bergulir pun bersifat elitis. Media sosial menampung semuanya. Siapapun bias punya akses dan terlibat aktif dalam mengiring opini dan nalar publik.
Implikasi dari media sosial adalah dunia semakin mengecil, dan mudahnya informasi yang didapat. Kemudahan informasi mempunyai nilai positif di satu sisi, sekaligus nilai negatif di sisi yang lain.
Dalam konteks ini, tentu yang perlu di-manage bukanlah Media Sosial, melainkan Manusia penggunanya. Media sosial itu bersifat netral, tergantung siapa dan untuk apa ia digunakan. Media sosial baik, jika manusia penggunanya baik, dan buruk jika penggunanya juga buruk.
Maka pertanyaan besarnya adalah bagaimana agar sisi negatif dari medsos bisa dihalau (setidaknya diminimalisir), sehingga tidak ada hoax, ujaran kebencian, rasisme, yang berujung kepada adu domba?
Menajemen Diri
Yang paling penting untuk dilakukan oleh pengguna medsos adalah memenage diri sendiri. Salah salah cara memenag diri itu adalah dengan menjaga diri agar tidak ikut-ikutan dalam aksi pemelintiran.
Riset terakhir menunjukkan, bahwa banyaknya dis-informasi, hoax, ujaran kebencian, yang menimbulkan adu domba, karena banyak pemelintiran yang digunakan oleh para pengguna medsos.
Pemelintiran di sini bermakna luas, ia bisa bermakna mendramatisir sebuah peristiwa atau kasus, yang sejatinya biasa-biasa saja; atau menginterpretasikan sebuah informasi, yang tujuannya bukan itu atau sesuai dengan kepentingannya; mengedit video kemudian membubuhi bahasa-bahasa provokatif yang membuat orang lain terpancing; atau membelokkan suatu maksud informasi kepada tujuan palsu. Semua bentuk dan pola ini adalah pemelintiran.
Banyak kejadian di media sosial berawal dari pemelintiran. Tentu bukan di sini tempatnya untuk membeberkan semuanya. Nyatanya memang dirasakan dalam kehidupan sehari, bahwa pemelintiran bisa menimbulkan hubungan tidak harmonis antar dan antara masyarkat, agama, dan suku. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa pemelintiran bisa menimbulkan kegaduhan?
Jawabannya, karena pemelintiran bisa mempermainkan emosi sang pengguna media sosial. Ketika ada dramatisasi dan provokasi terhadap sebuah peristiwa, maka emosi para pengguna medsos mau tidak mau akan ikut hanyut dan terbawa, yang pada akhirnya akan me-share, like, berkomentar.
Mempermainkan emosi dengan pemelintiran tentu sangat mudah. Hal ini disebabkan, konten dan informasi dimedsos tidak bisa diverifikasi langsung oleh penerima kerena banyaknya informasi yang beredar.
Semakin banyak pemelintiran yang beredar, maka semakin besar kemungkinan emosi para pengguna medsos terbawa, yang berujung banyaknya kegaduhan di ruang publik dalam bentuk ujaran kebencian, rasisme, dan semacamnya.
Maka kunci agar terhindar dari ketidakwarasan ruang publik di media sosial adalah menghindari sedini mungkin pemelintiran. Pemelintiran adalah biang kerok timbulnya kegaduhan di ruang publik.