2019, Tahun ber-Agama yang ber-Kemanusiaan

2019, Tahun ber-Agama yang ber-Kemanusiaan

- in Narasi
722
0
2019, Tahun ber-Agama yang ber-Kemanusiaan

Kembali awal tahun yang baru melintasi peradaban manusia. Tidak hanya beragam penyesalan atau pun kebahagian, namun juga harapan akan kehidupan yang lebih baik mengetengah dalam benak masing-masing individu. Ada yang mengemasnya dengan sejumlah persiapan, namun ada juga yang cukup hanya dengan keyakinan dan melakukannya apa adanya. Apa pun langkah yang terfikir atau tengah dijajaki, biarlah itu menjadi pilihan masing-masing. Namun tidak ada salahnya bila sebelum sebuah resolusi diyakini untuk dijalani, menapaki dan belajar dari kenyataan yang sudah berlalu menjadi hal yang mesti diarungi dahulu. Bahkan bisa dikatakan hal tersebut teramat penting untuk diprioritaskan. Sebab bila hal tersebut tidak dilakoni, maka bukan hanya kegagalan namun perjumpaan dengan kesalahan yang sama akan kembali berulang.

Setidaknya kita bisa belajar dari sebuah kasus yang terjadi beberapa minggu yang lalu di provinsi Yogyakarta. Bagi beberapa masyarakat di wilayah Yogyakarta dan penjelajah informasi dari media sosial tentu tidak asing dengan kabar mengenai pemotongan simbol salib yang dilakukan terhadap makam salah seorang warga di wilayah Kota Gede Yogyakarta. Informasi yang santer beredar mengenai penyebab kejadian itu sangatlah beragam. Banyak di antara informasi tersebut yang bahkan tidak jelas sanad-nya, apalagi bila hendak dipersoalakan mengenai tingkat validitasnya. Mungkin bisa dikatakan beberapa informasi tersebut adalah sajian hoax yang sengaja diinstrumentalisir guna mempolitisasi keadaan yang ada. Namun demikian ada hal yang sebenarnya jauh lebih penting untuk kita problematisir bersama, ketimbang kita bersoal mengenai kemasan hoax yang diedarkan dan telah dikonsumsi dalam beragam rupa tersebut. Hal yang dimaksudkan di sini adalah mengenai upaya melihat keadilan terhadap aspek agama dan kemanusiaan.

Hal di atas penting untuk kita ulas sejenak sebab bila diperhatikan, seolah-olah pemakluman atas contoh kasus di atas merupakan hal yang wajar. Hal ini diyakini sebagai bentuk kewajiban bagi minoritas dalam memberikan penghormatan terhadap mayoritas. Namun disadari atau tidak, sebenarnya atas kejadian semacam itu agama dan aturannya perlahan semakin menjauhi nilai-nilai kemanusiaan. Penafsiran kemanusiaan yang ada dalam kacamata semacam ini hanyalah penafsiran yang masuk dalam koridor yang sempit. Kesempitan semakin menjadi dengan pengukuhan yang dilakukan terhadap pernyataan bahwa cara pandang yang demikianlah merupakan cara pandang yang paling tepat dan mengatasi semua hal. Sialnya, cara berfikir manusia yang kerap membutuhkan pegangangan berhasil dijadikan target untuk kemudian diarahkan dalam cara berfikir yang demikian. Bahkan fenomena instan pun mendorong banyak individu untuk menguatkan jalinan ikatan dengan hal di atas. Tidak heran bila belakangan ini banyak sekali individu-individu yang lebih memilih jalur informasi cepat, guna mendapatkan bimbingan untuk hal semacam itu.

Agama vis a vis Kemanusiaan

Berjaraknya agama dengan persoalan kemanusiaan jelas semakin menyulitkan kita untuk menentukan keadilan distributif model apa yang mesti diberlakukan dalam hal ini. Bila diperhatikan dengan seksama, sejatinya hal ini dilatari oleh banyaknya keberpihakan yang telah dilakukan bahkan sejak dalam pemikiran. Penetapan keberpihakan jelas hanya akan menggiring pemikiran pada muara ketidak-adilan. Jadi bisa dikatakan bahwa sebelum sikap diambil, banyak dari individu yang sejatinya menolak adil sejak dalam pemikiran.

Baca juga :Damailah Negeri, Damailah Indonesia

Kita perlu menyadari bersama bahwa dalam konteks beragama dan kemanusiaan, banyak dari masyarakat yang melihat bahwa agama berdiri terpisah dari kemanusiaan. Karena keterpisahan ini, pilihan pun harus ditetapkan guna membantu manusia melihat realitas kehidupan. Sehingga bisa dikatakan opsi berfikir tentang paradigma bahwa agama lebih superior dari persoalan kemanusiaan menjadi tawaran berfikir yang dianggap ter-”aman” bagi masyarakat. Pengutamaan ajaran agama jauh lebih penting, ketimbang melihat nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diperjuangkan melalui ajaran agama. Tidak mengherankan bila pasca reformasi, isu identitas agama menjadi marak diperbincangkan melalui pengemasan isu keterjajahan dan penindasan yang dialami selama ini. Isu-isu semacam itu bahkan lebih dianggap penting dan mendesak untuk dipersoalkan ketimbang isu mengenai kesejahteraan masyarakat dalam bingkai keberagaman. Pada gilirannya, relasi manusia seperti yang diingatkan dalam berbagai kitab suci pun harus terkang-kangi karena hal ini.

Bila sudah demikian keadilan dalam beragama untuk kemanusiaan dan spiritualitas individu hanya menjadi semacam fatamorgana di padang pasir. Seolah-olah kita melihatnya dan siap menikmati mata air dan kesejukannya, namun ternyata hanya delusi yang didapatkan. Dalam konteks keadilan beragama dan spiritualitas, kita seolah-olah merayakan spiritualitas kita yang diyakini telah menempatkan kemanusiaan pada kasta yang tepat, namun sejatinya kita hanya menginstrumentalisirnya guna menutupi ego beragama. Bila proses internalisasi berani dilakukan masing-masing individu, maka kemungkinan besar perasaan penebalan keimanan hanya menjadi selubung yang membungkus ego manusia.

Agaknya kita perlu mundur sejenak dan mencoba berfikir ulang atas apa yang telah terjadi belakangan. Sungguhkah hal demikian yang diharapkan Sang Khalik dengan kita beragama?, sungguhkan dengan cara berfikir yang menafikkan kemanusiaan akan mengantarkan kita pada kesejatian hidup?, sungguhkan jalan yang demikian yang akan mengantarkan kita pada upaya membina relasi reciprocal dengan yang sang-Khalik yang transenden sekaligus maha dekat?, di manakah sebenarnya posisi ke-ego-an kita atas sikap kita beragama selama ini?

Mari terlebih dahulu kontempelasikan hal tersebut, sebelum kita membuka lembaran tahun yang baru dengan pola kereligiusan yang masih sama dengan model sebelumnya yaitu pola kereligiusan yang anarkis.

Facebook Comments