Beberapa hari yang lalu sempat beredar foto Bahar bin Smith menjelang pembebasannya: gamis, selendang, dan baret merah yang menghiasi rambutnya yang pirang memanjang—yang kini dicukur gundul. Selain itu dalam salah satu fotonya ia juga berpose bersama beberapa pengikutnya yang tampak datang dari lingkungan penuh kekerasan: berkopyah dan bertelanjang dada dengan berbagai tato di tubuh mereka.
Secara sekilas saya sempat membayangkan seraut wajah Che Guevara, seorang ikon pemberontak kiri, meski tanpa jambang dan dengan rambut yang tak hitam memanjang. Dan sesaat setelah kebebasannya, ia pun tampak berpidato, dengan kebiasaannya sebelum ber-“sekolah” di bui, dengan dikerumuni massa di rumahnya yang terlihat mewah. Dapat kita saksikan dan dengarkan gaya lamanya di depan publik: berapi-api, meledak-ledak penuh semangat laiknya Bung Karno, dan tentu saja, sarat provokasi, agitasi, dan ancaman seperti biasanya. Tak lupa berbagai isu-isu populistik dilanggamkan pula: penderitaan rakyat, rakyat susah, dst. Tapi pukul 02.00 dini hari kembali ia dijemput oleh kepolisian untuk di-“sekolah”-kan lebih lanjut di sebuah “sekolah” yang lebih terkenal dan favorit bagi orang-orang kakap: LP Nusakambangan.
Sejak era Qadafi sepertinya “orang Islam” telah sepi dari tokoh-tokoh revolusioner yang tampak kekiri-kirian, yang seringkali mengeksploitasi istilah kaum subaltern, rakyat tertindas, keadilan, dan seterusnya. Barangkali itulah yang menjadi sumber kegelisahan seorang Bahar bin Smith: romantisisme ala kaum muda yang entah benar-benar memperjuangkan rakyat atau sekedar gaya-gayaan karena kebanyakan nonton film-film heroik.
Sedikit kilas balik pada gerakan Anarko yang juga dipenuhi anak-anak muda penuh gejolak (Corona dan Masa Depan Demokrasi Deliberatif Indonesia, Heru Harjo Hutomo, https://harakatuna.com). Siapa pun pernah muda dan siapa pun tahu bahwa kemudaan memang identik dengan kegelisahan dan jiwa yang penuh gejolak. Lazimnya mereka menemukan jawaban atas gejolak jiwanya pada film atau buku-buku yang berkisah tentang para pahlawan rakyat tertindas. Kemudian secara psikologis mereka segera menautkan diri pada para pahlawan itu dan barangkali juga segala konteks yang mengitari mereka di sana yang kadang tak nyambung dengan konteks di sini. Yang terjadi akhirnya adalah segala kejenakaan: “kanan yang kekiri-kirian” atau “kiri yang kekanan-kananan,” “agama yang kepreman-premanan” atau “preman yang keagama-agaman,” dan “khilafah nasionalis” atau “nasionalisme khilafah.”
Baca Juga : New Normal Pasca Ramadan; Tetap Produktif, Aman dari Covid
Seperti halnya orang yang berjalan terus lurus ke Utara, maka ia akan sampai ke Selatan. Ketika orang berada di titik ekstrim kanan, maka ia akan bertemu dengan orang yang berada di titik ekstrim kiri. Demikianlah hukum radikalisme yang sebenarnya tak ada kaitannya dengan isme-isme, tapi sekedar persoalan hasrat semata yang tak kunjung mendapat pemenuhannya (Sapere Aude: Nyala Nyali Kaum Terdidik, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net).
Menjelang Paradigma Kehidupan Baru
Beberapa waktu lalu WHO menyatakan bahwa setelah pandemi corona ini sepertinya banyak dari kita tak lagi dapat hidup dengan pola kehidupan yang lama. Virus covid-19, yang memaksa pola kehidupan manusia berubah, disinyalir tak akan dengan mudah lenyap dari muka Bumi. Tapi rupanya dunia tak sekelam yang dibayangkan, momentum puasa Ramadhan seperti meyakinkan banyak orang bahwa mereka dapat melalui kemungkinan pola kehidupan baru sebagai konsekuensi lebih lanjut dari hidup di tengah pandemi corona.
Sebenarnya, lebih dari puasa Ramadhan, ajaran dan kehidupan Kanjeng Nabi Muhammad adalah menghindari hal-hal yang berlebihan atau ekstrimisitas sebagaimana yang diajarkan pula oleh para pendiri agama (Ramadhan, Kebhinekaan, dan Kemanusiaan, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Dan saya kira itulah pesan penting dari konsep uswatun hasanah yang menjadi landasan di mana putra Abdullah itu diutus. Terkait dengan puasa Ramadhan, banyak dari kita sudah melatih sebentuk moderasi diri tersebut. Tanpa corona dan kebijakan PSBB pun, karena puasa Ramadhan, sebenarnya kita sudah menerapkan beberapa protokoler kesehatan yang dianjurkan oleh pemerintah dan para praktisi kesehatan.
Mengikuti pola atau kebiasaan yang berlebihan, pada dasarnya, adalah sebentuk perilaku yang mengarah pada bunuh diri. Ada satu hal yang setidaknya dapat disimpulkan dari kehidupan di bulan Ramadhan: keseimbangan diri yang berpengaruh pada keseimbangan hidup. Dari perspektif tasawuf banyak orang dituntut untuk mendidik diri mereka sendiri melalui berbagai ritus yang biasanya dilakukan pada bulan Ramadhan.
Tuntutan untuk berpuasa adalah cara mendidik nafsu lawwamah yang memiliki karakter wani wirang yang berkaitan dengan nafsu hewani dan pemanjaan tubuh: makan, minum, seks setelah waktu imsak dan menjelang berbuka, dan pelanggaran aturan-aturan lainnya. Adapun tuntutan untuk bersabar, ikhlas, ridha, dan qanaah, berkaitan dengan mendidik nafsu ammarah bis su’i yang cenderung berkarakter “masturbasif” atau menang-menangan dan abai terhadap liyan.
Karena itulah pada bulan Ramadhan dianjurkan untuk memperbanyak kegiatan yang memiliki nilai-nilai ibadah yang berkaitan dengan penghidupan nafsu muthmainah yang memang cenderung memiliki hasrat untuk senantiasa berdekatan dengan Tuhan atau bersifat malakuti(Akar Radikalitas Indonesia dalam Perspektif Sufisme, Heru Harjo Hutomo, https://harakatuna.com). Secara pragmatis, ketiga bentuk nafsu manusia ini mestilah seimbang seandainya manusia ingin “selamat.” Karena itulah biasanya puasa Ramadhan dibatasi selama menjelang pagi hingga menjelang malam di mana manusia perlu memenuhi kebutuhan lainnya yang mencirikannya sebagai manusia. Dengan demikian, saya kira, ketika pemerintah mewacanakan paradigma kehidupan baru atau “New Normal” terkait pandemi corona banyak dari kita yang sudah tak kaget lagi atau perlu beradaptasi sedemikian rupa, karena tanpa terasa lebih dari sebulan ini kita sudah terbiasa untuk menjalaninya, melatih moderasi diri sebagaimana yang diteladankan oleh Kanjeng Nabi Muhammad dan para pendiri agama lainnya.