Belakangan ini, semenjak DPR RI mengusulkan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), publik banyak yang beramai-ramai menuntut agar RUU tersebut dibatalkan. Situasi pun menjadi panas. Polemik lama yang tergores di era-era awal kemerdekaan, kembali menganga. Dalam kondisi demikian, jelas keberadaan Pancasila sebagai pemersatu bangsa akan terusik.
Untuk itu, demi menjaga Pancasila sebagai pemersatu bangsa, masyarakat Indonesia harus cerdas dalam berpikir dan bertindak menghadapi polemik ini. Bagaimana caranya?
Pertama, masyarakat—termasuk juga DPR—harus mendasarkan cara berpikir dan bertindaknya pada paradigma dasar revitalisasi Pancasila sebagai pemersatu bangsa dalam menghadapi polemik RUU HIP. Paradigma dasar ini harus dipegang teguh agar masyarakat Indonesia tidak mudah larut dalam narasi-narasi perpecahan yang mengatasnamakan bela Pancasila. Dengan berpegang teguh pada paradigma ini, masyarakat Indonesia tidak akan mudah terbuai dengan narasi-narasi polemik yang terlalu menekankan pada instrumen-instrumen RUU HIP dan abai terhadap intensi dasar dari RUU HIP, sehingga orang tidak akan mudah menawarkan solusi-solusi ideologi lain untuk menggantikan Pancasila.
Kedua, masyarakat harus mampu menganalisis berbagai wajah kritik yang mewarnai polemik RUU HIP. Kritik atas RUU HIP ini beraneka ragam dan muncul dari berbagai kalangan, mulai dari yang selama ini konsisten membela Pancasila, hingga mereka yang kerap mencaci Pancasila. Sejauh penulis amati, setidaknya ada beberapa jenis kritik yang terlontar dalam polemik RUU HIP. Model kritik yang pertama adalah kritik yang berdasarkan—meminjam bahasanya Jurgen Habermas—argumen rasional-emansipatif. Argumen rasional-emansipatif itu argumen yang mengacu pada perhitungan-perhitungan yang masuk akal (rasional) sekaligus bertujuan untuk mengentaskan problem-problem ketidakadilan sosial (emansipatif).
Contoh dari argumen rasional-emansipatif yang selama ini mewarnai polemik RUU HIP adalah kritik yang disampaikan oleh Nahdlatul Ulama (NU). Dalam kritiknya atas RUU HIP, NU menyatakan bahwa Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm adalah hukum tertinggi atau sumber dari segala sumber hukum yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945. Sebagai hukum tertinggi yang lahir dari konsensus kebangsaan, Pancasila tidak bisa diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Pengaturan Pancasila ke dalam sebuah undang-undang akan menimbulkan anarki dan kekacauan sistem ketatanegaraan.
Baca Juga : Waspada Provokasi yang Mengadu Domba
Selain itu, NU juga mengatakan bahwa dalam RUU HIP ini terdapat banyak tafsir yang sangat potensial untuk menghadirkan tafsir tunggal atas Pancasila sebagai ideologi yang terbuka. Hadirnya tafsir-tafsir tersebut di tubuh RUU HIP secara nyata sangat potensial mempersempit ruang tafsir yang memandekkan dinamika, kreativitas, dan inovasi yang dibutuhkan untuk mendorong kemajuan bangsa sesuai dengan tuntutan zaman.
Argumen yang disampaikan oleh NU untuk mengritik RUU HIP tersebut adalah termasuk contoh dari argumen yang rasional-emansipatif. Nalar yang menubuh dalam kritik NU tersebut adalah nalar yang sudah melalui proses rasionalisasi, sehingga argumennya menjadi masuk akal. Di luar itu, dalam argumen tersebut juga termuat intensi dasar untuk memuliakan dan membela pancasila sebagai dasar negara. Ini secara nyata termaktub dalam maklumat kritik NU atas RUU HIP yang bagian awal serta tergambar jelas dalam keseharian NU yang selama ini konsisten menerima Pancasila sebagai dasar negara. Dengan demikian, kritik yang dibagun oleh NU atas RUU HIP ini adalah termasuk kritik yang rasional-emansipatif.
Model kritik atas RUU HIP yang berikutnya adalah kritik yang provokatif. Kritik ini biasanya mengabaikan proses rasionalisasi dan tidak didasarkan atas intensi untuk memuliakan Pancasila. Sumpah serapah dan penggiringan isu ke arah ideologi lain biasanya kerap mewarnai kritik provokatif ini.
Contoh kritik provokatif yang selama ini mewarnai polemik RUU HIP adalah kritik yang disertai sumpah serapah “komunisasi” sambil lalu menawarkan gagasan ideologi lain, seperti khilafah, Piagam Jakarta, NKRI bersyariah, atau turunkan Jokowi. Betul bahwa dalam RUU HIP itu tidak menyertakan TAP MPRS XXV/1966 yang melarang komunisme, tetapi ini sebenarnya berlebihan, karena RUU tersebut tidak dapat menghapus keberlakuan TAP MPRS XXV/1966. Artinya, walaupun RUU itu nanti disahkan, TAP MPRS XXV/1966 masih tetap berlaku dan keberlakuan ini tentu sangat mengganjal bagi kebangkitan kembali PKI.
Selanjutnya, sumpah serapah “komunisasi” itu selama ini sangat efektif menyentuh emosi masyarakat Indonesia. Selama masa pilpres saja, isu ini sering dijadikan bahan untuk menakut-nakuti para calon pemilih dan cukup efektif, karena memang kebanyakan masyarakat masih belum bisa melepaskan diri dari trauma pada PKI yang terpupuk lama sejak masa Orde Baru dimulai. Setelah berhasil meraih simpati masyarakat dengan jargon anti-komunisnya, biasanya mereka akan segera menawarkan gagasan lain sebagai penawar dari “komunisasi”, seperti gagasan khilafah, Piagam Jakarta, NKRI bersyariah, atau turunkan Jokowi. Melihat tawaran-tawaran lain tersebut, tentu tidak berlebihan kiranya jika disebutkan bahwa sebenarnya intensi dasar dari kritik provokatif tersebut adalah upaya perongrongan Pancasila atau upaya radikalisasi gagasan oposisi. Dengan intensi dasar yang demikian dan dengan sumpah serapah yang tidak melalui proses rasionalisasi, maka publik harus waspada menghadapi kritik provokatif ini. Publik tidak boleh larut pada buaian kritik provokatif ini, agar Pancasila tetap tegak mempersatukan bangsa.