Jika dalam tingkatan global dikhawatirkan benturan antar peradaban yang ditandai dengan bangkitnya konflik politik berbasis sentimen identitas, di skala domestik tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik berbasis identitas baik etnik, budaya dan agama dengan sentimen identitas primordial yang dipolitisasi. Atribut sosial-kultural yang mengikat masyarakat dibawa dalam ruang kontestasi kepentingan politik.
Dalam politik identitas pertanyaan yang muncul dan dimunculkan adalah siapa kita dan siapa mereka. Politik identitas sebagai gerakan politik memiliki concernterkait perbedaan sebagai kategori dan sumber utama pilihan. Ada garis tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan, dilibatkan dan siapa yang akan ditolak berdasarkan kesamaan dan perbedaan identitas.
Berbagai kelompok sosial dengan latar belakang perbedaan primordial merumuskan dan mendefinisikan diri dan kepentingan politiknya berdasarkan kesamaan identitas seperti bahasa, sejarah, nilai, tradisi dan keagamaan. Sederhananya, politik identitas adalah politik perbedaan dan membedakan untuk mendapatkan hak dan ruang sosial politik.
Prakteknya, ketika politik identitas dijadikan alat dalam kontestasi politik perebutan kekuasaan pembelahan masyarakat berdasarkan identitas tidak terhindarkan. Dalam masyarakat majemuk, politik identitas akan sangat berbahaya karena berpotensi menguatkan perasaan kelompok dan pembelahan masyarakat berdasarkan identitasnya di tengah kontruksi negara yang beragam.
Pertanyaannya, apakah menggunakan politik identitas berarti bagian dari politik Pancasilais yang tidak memisahkan agama dan politik? Apakah menolak politik identitas berarti cara berpikir sekularisme?
Ada kesesatan berpikir dalam membedakan agama sebagai alat perebutan politik dan agama sebagai semangat dalam berpolitik. Memang benar, praktek politik Pancasilais tidak memisahkan agama dalam politik, tetapi tidak menjadikannya sebagai sapi perahan untuk mendulang suara.
Tiga Bentuk Politik Identitas dalam Kontestasi Politik
Politik identitas dalam kontestasi politik sejatinya merupakan cara dengan menjadikan identitas sebagai alat kontestasi. Setidaknya, ada beberapa bentuk politisasi identitas yang sangat berbahaya.
Pertama, menggunakan isu agama dan identitas lainnya untuk menggalang suara. Hal ini misalnya yang dilakukan oleh Trumph dalam pemilihan Presiden di Amerika Serikat pada tahun 2016 silam dengan membawa sentiment anti Islam. Isu Islamofobia digunakan Trump untuk meraup masyarakat kulit putih yang anti terhadap Islam dan imigran secara umum.
Kedua, menggunakan ajaran agama untuk pembenaran afiliasi politik. Doktrin dan dalil agama akan dijadikan bahan kampanye untuk menggalang suara atau menjatuhkan lawan. Di Indonesia pengalaman ini misalnya muncul dengan adanya narasi Partai Tuhan vs Partai Setan.
Ketiga, mengunakan simbol agama baik berupa pakaian, tempat ibadah dan lainnya untuk kepentingan politik elektoral. Simbol dan ruang sosial keagamaan akan disesaki dengan atribut dan narasi partai politik dalam konteks politik electoral.
Narasi politik identitas akan kerap muncul dan menjadi godaan para politisi. Ia merupakan strategi politik yang murah, tetapi efektif untuk memobilisasi dukungan politik. Tidak perlu banyak usaha, hanya menggugah emosi publik dengan menyentil sensitifitas primordial yang mereka miliki.
Tentu hal ini sangat berbahaya. Presiden Joko Widodo kerap menyampaikan dalam pertamuan dengan beberapa kontestan Pemilu agar seluruh elite politik untuk tidak menggunakan politik identitas. Secara eksplisit Jokowi bahkan menegaskan larangan politisasi SARA yang rentan menimbulkan polarisasi masyarakat yang multikultural.
Politik identitas dan menjadikan mimbar agama sebagai medan pertempuran politik merupakan cara berpolitik yang tidak sehat dan berpotensi destruktif. Ada banyak contoh negara gagal dan mengalami stabilitas nasional yang tidak kondusif karena permainan politik identitas yang memecah belah.
Sejatinya, perbedaan identitas seperti agama, suku, etnis, budaya dan bahasa bukan dijadikan alat untuk semakin memecah belah, tetapi sarana untuk semakin merawat persatuan dalam kebhinekaan. Politisasi SARA dalam praktek politik identitas untuk meraup suara akan mengancam kohesi sosial dan persatuan bangsa.
Karena itulah, menuju kontestasi Pemilu 2024, masyarakat cerdas wajib menolak politik identitas untuk mencegah polarisasi sosial yang kerap menjadi ladang subur persemaian ideologi dan gerakan radikal. Ketika negara tidak stabil dan chaos, di situlah gerakan radikal mengeruk keuntungan.
Kita memang tidak bisa menghindari dan mengakhiri perbedaan, tetapi bukan berarti kita akan selalu hidup untuk selalu dibedakan. Setidaknya, dalam perbedaan semua berdiri sejajar dan setara secara politik dan tidak harus dibenturkan.
#2024TolakPolitikIdentitas