Menumbuhkan sikap toleransi bagi anak tentu harus ditanamkan sejak dini. Salah satu aktor yang paling berperan dalam menanamkan toleransi itu tak lain adalah orang tua anak itu sendiri. Orang tua adalah sekolah pertama dan guru utama bagi anak.
Dalam konteks inilah, pola pengasuhan anak, menjadi salah satu kunci utama bagaimana membentuk sikap dan tindakan sang anak. Jika pola pengasuhan anak disusupi dengan ajaran agama yang keras dan penuh dengan kebencian, maka anak pun akan tumbuh dengan sikap dan tindakan seperti itu.
Tepuk anak soleh, yang secara nyata penuh dengan kebencian pernah menjadi viral; Tahun 2018, dunia maya sempat heboh dengan peristiwa karnaval anak TK dan PAUD di Probolinggo yang memperingati HUT Kemerdekaan RI. Pasalnya, sebagian group pawai anak mengenakan jubah dan cadar sambil memegang senjata. Masyarakat –bahkan dunia –juga kaget dengan Peristiwa terorisme (13-14/05/2018) yang sempat terjadi di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur. Sebab, dua di antara pelakunya adalah anak-anak.
Di tengah maraknya sikap dan tindakan anak yang menjerumuskan kepada tindakan kebencian, intoleransi, bahkan radikalisme, maka parenting washatiyah adalah salah satu pola pengasuhan anak yang harus diaplikasikan sejak dini. Dalam konteks inilah, hal yang tidak bisa ditunda-tunda lagi adalah perlunya mengampanyekan dan mempraktikkan parenting washatiyah bagi anak.
Mengasuh anak dengan pola pengasuhan cinta kasih, penuh dengan ajaran perdamaian, perghormatan pada perbedaan, tentu sangat membekas bagi anak, sebab dunia mereka masih polos, bersih, dan mudah dibentuk. Ingatan mereka masih kuat. Apa yang dilihat, didengar, akan mereka ingat, dan dalam level tertentu mereka dengan mudah mempraktekkannya.
Fungsi parenting wasahtiyah di sini adalah mengasuh dan membangun nalar, mental, dan emosi anak lewat berbagai sarana berbasis pada perdamaian, cinta kasih, penghargaan pada perbedaan. Sarana itu bisa bersifat verbal, tulisan, maupun visual. Baik itu kognitif, psikomotorik, maupun afektif.
Dengan begitu, diharapkan mereka akan tumbuh menjadi manusia-manusia yang kritis; yang tidak mudah dipengaruhi oleh paham radikal; bisa menimbang mana mafsadat, mana madarat; mana yang bisa membuat damai, mana yang mengakibatkan kekacauan. Literasi diberikan dengan cara tidak memaksa, melainkan pembiasaan dan contoh teladan di depan mata sang anak.
Pembiasaan dan Teladan
Mengasuh anak dengan pola parenting washatiyah tidak laian adalah pendidikan cinta damai sejak dini, yang basisnya adalah pembiasaan dan contoh konkrit (keteladanan). Usia anak adalah usia yang bisa karena biasa, dan terbiasa karena ada contoh teladan konkrit di depan matanya.
Sejak dini, anak harus dibiasakan mendengarkan dongeng, cerita, kisah, hikayat, legenda yang berisi tentang pesan-pesan perdamaian dan toleransi. Usia anak adalah usia yang mudah bosan. Jika terus-menerus didongenkan sebelum tidur, lama kelamaan ia akan berontak, maunya dia yang menceritakan, bukan diceritakan lagi. Momen atau fase inilah saatnya orang tua masuk, memberikan mereka buku bacaan yang ramah anak dan penuh pesan moral perdamaian.
Beberapa penelitian menujukkan, anak akan betah bercerita apa yang dia baca, dia lihat, dan dia dengar dari lingkungan sekitarnya. Anak yang sudah terbiasa dengan bacaan, gambar, dan video yang penuh dengan pesan perdamaian, maka akan kecanduan dengan buku-buku model beginian. Pada tahap selanjutnya, ia akan tumbuh menjadi manusia yang berkarakter penuh tanggungjawab dalam menjaga eksistensi perdamaian.
Selain pembiasaan, strategi berikutnya adalah memberikan mereka contoh konkrit. Para orang tua harus membiasakan diri memberikan keteladanan langsung, yakni sikap demikratis, menghargai perbedaan, menjadikan kemaslahatan sebagai acuan dalam bertindak. Anak adalah peniru handal. Anak mempunyai rasa penasaran yang tinggi. Jika orang tua terbiasa mempraktekkan sikap dan tindakan yang penuh perdamaian dan cinta-kasih, ia akan meniru langsung.
Banyak kasuk menunjukkan, bahwa anak menjadi radikal, intoleran, dan mudah terkontaminasi virus anti-perdamian, disebabkan oleh kegagalan orang tua dalam memberikan contoh dan pembiasaan akan pentingnya nilai-nilai perdamian. Orang tua di sini tentu bukan dalam pengertian sempit, ia bisa guru, ustad, kyai, bahkan negara. Semua orang tua (dalam pengertian umum tadi) harus hadir memberikan contoh konkrit dan pembiasaan bagi anak-anak Indonesia.
Kebebasan
Jika anak sudah terbiasa dengan sikap/tindakan toleran dan mempraktekkan nilai-nilai perdamaian, maka tugas orang tua selanjutnya adalah memberikan mereka kebebasan. Anak harus bebas untuk bercita-cita, bermimpi setinggi langit, dan kebebasan mengekspresikan skill, bakat, kemampuan, hobby dan kesenangan masing-masing anak, tanpa terlalu banyak intervensi dari luar, termasuk orang tua.
Kemerdekaan dimaknai sebagai kunci untuk memotivasi anak ke hal atau bidang yang ia sukai. Anak tak boleh diintervensi terlalu berlebihan, atau dipaksakan agar ia masuk sesuai dengan keinginan orang tuanya. Tidak sedikit anak yang bakatnya menyanyi, tetapi karena orang tuanya sukanya jadi penghafal Quran, anak dipaksakan untuk jadi hafiz cilik. Banyak terjadi kasus, anaknya hobinya melukis, tetapi sebab orong tuanya lebih suka pada ilmu-ilmu eksak, anak dituntut agar les private ini dan itu, biar bisa ikut olimpiade. Di sini, anak tidak merasakan kemerdekaan.
Ketiga kunci itu, yakni pembiasaan, contoh konkrit, dan memberikan kebebasan pada anak adalah kunci sukses dalam pendidikan literasi perdamaian bagi anak.