Ketika pulang ke kampung halaman disebuah desa yang terletak di Kabupaten Demak Privinsi Jawa Tengah, penulis ditanya; mengapa anak muda di desa yang menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi banyak yang tidak pernah kembali ke desa ? penulis menjawab ia tidak memahami secara mendalam mengapa hal tersebut terjadi. Jika orang seperti penulis saja tidak mau bertanggungjawab atas perkembangan struktur dan infrastruktur di desa, maka akan banyak pemuda, baik mahasiswa maupun santri desa tidak aka ada yang mau peduli. Ini berarti, anak-anak desa tidak lagi mempunyai jiwa patriot terhadap desanya. Jika sudah begitu, bagaimana mempersiapkan pemuda unt bangsa ?.
Selama cara-cara seperti itu tetap dijalankan, selama itu pula generasi muda tidak mampu memeiliki karya nyata untuk merubah bangsanya. Karena pada dasarnya, kekuatan bangsa terletak pada sejauh mana persatuan, dan cinta kasih terbangun mulai kalangan akar rumput, yaitu masyarakat desa. Dari sudut inilah, penulis menganggap pentingnya pemuda kembali ke desa untuk membangun rasa cinta dan kasih untuk mencipatakan harmoni di Indonesia.
Membangun kekuatan Negara dari akar rumputnya yaitu masyarakat desa juga bukan karena sebab-sebab lain. Umpamanya saja, kekhawatiran paham radikal dan terorisme akan menguasai kehidupan kita. Sebab penulis berpendapat bahwa radikalisme dan terorisme di negeri kita sudah mencapai ujung perjalanan. Tiga sampai empat tahun lagi, justru generasi muda yang akan menghancurkan negeranya sendiri jika paham-paham seperti tadi tidak ditanggulangi.
Kegagalan kelompok-kelompok radikal dalam upaya memecah belah persatuan tidak akan membuat mereka frustasi dengan mudah. Selama tujuan belum tercapai, mereka akan melakukan aksi yang tidak-tidak. Kita harus melawan aksi-aksi kelompok radikal tersebut untuk menjaga keutuhan NKRI. Aksi ‘aneh-aneh’ itu berangkat dari kurangnya pengetahuan dan keyakinan mereka akan dasar Negara kita sendiri.
Jaringan-jaringan paham radikal baik itu berupa propaganda maupun yang sudah berbentuk tindakan nyata (teror) tidak akan efektif jika hanya mengandalkan upaya pembubaran dan penangkapan yang dilakukan oleh pemerintah. Paham radikal yang menciptakan teror dikalangan masyarakat harus sepenuhnya dihentikan agar Negara kita tidak melulu dirumitkan dengan persoalan-persoalan moralitas, baik berupa pelanggaran norma-norma, etika maupun tindakan berat pelanggaran HAM. Jika Indonesia masih berkutat pada persoalan ini berarti kita mengalami pelambatan perjalanan sejarah sebagai bangsa. Padahal, banyak masalah lain yang memerlukan penyelesaian salah satunya adalah, bahwa bangsa kita hidup dalam suasana darurat pembangunan. Pembangunan yang belum merata di desa-desa pedalaman dan pembangunan yang tidak tepat sasaran. Di desa-desa pedalaman yang mengalami pembangunan tidak tepat sasaran memiliki dampak besar terhadap hilangnya sumber daya alam serta terganggunya kesehatan mereka akibat limbah pembangunan.
Jika kita mengamati fenomena radikalisasi yang marak ahir-akhir ini justru di inisiasi oleh kalangan pemuda. Seperti misalnya, kasus menyebarnya poster-poster yang menuliskan “Pancasila Kafir” di salah satu Perguruan Tinggi di kota Semarang. Hal ini menunjukkan bahwa kaum radikal mulai menyerang suatu bangsa dari generasi penerusnya -pun demikian, fenomena diatas menunjukkan betapa rentannya para pemuda kalangan pelajar terhadap paham radikal dan aksi teror. Karena jika generasi mudanya dikuasai oleh oknum yang memiliki kepentingan jahat maka, mudahlah jika sekedar untuk mengkooptasi bangsanya.
Jika pemuda dikalangan terpelajar saja demikian, bagaimana nasib generasi bangsa di desa-desa yang terbatas aksesnya terhadap pendidikan ?. Menurut data Indeks Pembangunan Desa (IDP) Tahun 2014 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) ada 20.168 dari 72.944 desa yang masih tertinggal dan rawan akan konflik. Hal ini menjadi kekhawatiran akan menyebarnya paham radikal sebab, masyarakat yang jauh dari akses pembangunan baik itu pendidikan maupun keterlibatan terhadap putusan-putusan pemerintah akan mudah disusupi paham adu domba.
Potensi yang ada di desa harus dioptimalkan untuk menanam nilai-nilai kerukunan. Desa-desa yang belum tersentuh oleh pembangunan dan kontrol dari pemerintah harus mulai diperhatikan untuk mewaspadai adanya sarang-sarang teroris dan paham radikal yang berkembang. Suka tidak suka, masyarakat desa adalah pemersatu umat dalam menjaga budaya dan pendidikan generasi paling awal. Jika wahana awal manusia lahir dan dibesarkan dalam lingkungan penuh paham radikal dan terorisme, bagaimana pemuda Indonesia mampu menumbuhkan jiwa nasionalismenya?.
Kebebasan berpikir, bertindak dan bersikap adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Masayarakat dan bangsa kita adalah toleran dan santun terhadap semua paham. Namun bukan untuk sikap, tindakan dan cara berpikir yang bertujuan memecahbelah persatuan bangsa atas dasar apapun.
Demi membentengi Indonesia dari perpecahan, pemuda dimulai dari grassroot yaitu masyarakat di desa harus mampu menggerakkan masyarakat melalui sikap-sikap dan tindakan yang jelas untuk melindungi mereka dari propaganda paham radikal dan aksi teror. Pada saatnya, nanti tindakan-tindakan nyata tersebut merupakan warisan kehidupan bangsa yang melekat dan terus di rawat dan di ruwat.
Beberapa kasus terbongkarnya sarang teroris di desa-desa sudah sejak lama ada. Pada tahun 2011 di salah satu desa di kota Solo berhasil di bubarkan dan di tangkap tersangka teror. -pun demikian di Bandung, di sebuah desa pada tahun 2016 lalu terdeteksi sebagai markas besar teroris. Dari fluktuasi ini dapat kita lihat bahwa perkembangan paham radikal dan aksi teror semakin massif. Belum lagi kasus di situs-situs radikal di dunia maya yang harus terus diperangi dengan cara-cara nir kekerasan. Di kecamatan Ngaliyan kota Semarang beberapa pekan lalu diributkan dengan 2 orang tersangka teroris yang melakukan aksi di Tuban Jawa Timur.
Dengan mengemukakan hal ini, penulis bermaksud menunjukkan bahwa dinamika cinta tanah air dan jiwa-jiwa welas asih di akar rumput mengalami pasang surut. Maka, pemuda harus kembali ke desa dengan jiwa nasionalismenya, mendidik dan melindungi masyarakat desa dari paham radikal. Paham radikal dan aksi teror harus dilawan dengan cara-cara nir-kekerasan, yaitu perlawanan tanpa meciptakan kekerasan demi mewujudkan Indonesia damai sejahtera.