Pemuda merupakan generasi yang akan mewarisi mimpi dan cita-cita kemerdekaan Indonesia selanjutnya. Ahli waris utama yang dianggap tepat adalah mahasiswa yang diyakini memiliki kecakapan intelektual, idealisme dan karakter yang berkualitas. Tanggung jawab moral mahasiswa yang terdiri dari tiga matra yaitu sebagai pelopor perubahan (agent of change), kontrol sosial (social control) dan penerus masa depan (iron stock) menjadikan mahasiswa sosok ideal bagi Indonesia kedepannya. Sintesisnya bukan terlihat pada prestasi gemilang perorangan melainkan ketika mahasiswa mampu hadir sebagai golongan yang mampu mengatasi dinamika peradaban dan segala tantangannya.
Misi kewajiban moral sebagai agen perubahan, kontrol sosial dan regenerasi pernah ditorehkan mahasiswa dalam sejarah panjang kemerdekaan NKRI. Sejarah tersebut terukir bukan hanya lewat aksi angkat senjata melawan penjajah namun juga aksi membangkitkan ideologi dan semangat juang masyarakat melalui tulisan. Lewat pena mereka mengukuhkan cita-cita dan ideologi serta mewartakanya pada khalayak umum pentingnya kemerdekaan dan perlawanan terhadap kolonialisme. Pena yang merupakan senjata ampuh selain bambu runcing sanggup membuat para penjajah merasa was-was. Dibredeli, dipenjara bahkan sampai dibuang tak pernah menyurutkan tekad para pejuang pena untuk mengobarkan perlawanan terhadap imperialisme melalui tulisan.
Meningkatnya radikalisme di kampus
Lompatan perkembangan teknologi dan informasi serta pola pikir instan telah memotivasi berkembangnya nalar praksis yang turut memberi andil menurunkan eksistensi pena mahasiswa. Kemampuan mahasiswa mengalami krisis dalam bidang nalar kritis. Hal ini berimbas pada daya kritis dan ideologis mahasiswa yang semakin tumpul dan tak lagi bertaji. Akibatnya ideologi radikal sukses menyusup dan meracuni pikiran mahasiswa bahkan di perguruan tinggi berbasis agama sekalipun.
Baru-baru ini kesadaran akan meningkatnya radikalisme dilingkungan akademik menggerakkan rektor berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta untuk mendeklarasikan gerakan anti radikal. Sebanyak 47 perguruan tinggi di Jawa barat mengikat sumpah untuk selalu berpegang teguh pada pancasila, UUD 1945 dan bhinneka tunggal ika yang diikuti perguruan tinggi lainnya. Aksi ini semakin menegaskan bahwa kampus sudah menjadi ladang subur tumbuhnya paham radikalisme.
Bahaya laten radikalisme merupakan ancaman nyata bagi persatuan dan kesatuan Indonesia. Mengingat misi utama penggerak radikalisme adalah dunia baru yang islam tegak sebagai sistem dan aturan satu-satunya. Umumnya mereka yang berhasil “dicuci otak” dalam banyak kasus adalah mahasiswa yang polos atau tidak memiliki latar keagamaan yang kuat. Keterbatasan pengetahuan agama dan kemampuan daya kritis yang lemah inilah yang dimanfaatkan para pengusung ideologi radikal dengan memberikan doktrin keagamaan yang monolitik, kaku, dan jauh dari kontekstualisasi.
Revitalisasi nalar kritis
Perguruan tinggi merupakan pusat informasi serta tempat menggali sekaligus pertukaran ilmu dan teknologi bukan sekedar penerbit ijazah. Karenanya kampus harus menciptakan lingkungan yang kondusif untuk tumbuhnya insan ideologis yang kritis dan mampu menjadi iron stock yang cinta damai dan menjunjung nilai-nilai spiritual dan pancasila. Kemampuan kritis sangat dibutuhkan untuk membebaskan mahasiswa dari manipulasi ideologi radikal terutama term jihad yang dilegitimasi menggunakan ayat Al Quran. Mengingat istilah jihad menurut Azyurmadi azra merupakan kata yang paling banyak dibiaskan dan disalah pahami dalam penerapannya.
Pudarnya eksistensi mahasiswa dalam dunia tulis menulis menjadi paradoks yang memilukan. Sebab lewat tulisan mahasiswa mampu mengukuhkan kembali ideologi dan pandangan-pandangan segar tentang berbagai permasalahan termasuk menguatnya isu radikal. Kegiatan tulis menulis yang berkelindan langsung dengan kegiatan membaca dan diskusi memberi manfaat besar terutama sebagai benteng masuknya radikalisme ditubuh perguruan tinggi. Dengan luasnya pengetahuan dan terasahnya daya kritis maka sangat mungkin potensi untuk mencegah hadirnya radikalisme semakin tinggi.
Paham ekstrim bernama radikalisme tak akan memiliki taring jika mahasiswa berani berkonfrontasi dan berargumen secara langsung maupun tidak langsung. Untuk mampu dan unggul dalam berargumen mahasiswa perlu memiliki pengetahuan yang memadai agar nalar kritis yang dilontarkan memiliki pijakan dan dalil yang kuat. Melalui tulisan mahasiswa diberi ruang konfrontasi secara tidak langsung untuk terus mengasah nalar kritis. Melalui diskusi dengan berbagai diskursus keilmuan mahasiswa belajar berargumen serta menerima pemahaman berbeda yang sangat mungkin muncul sekaligus menginternalisasi pemahaman berbeda tersebut. Sehingga mampu membangkitkan kesadaran pentingnya nalar kritis dan arti keberadaan mereka bagi republik Indonesia.
Eksisnya budaya tulis menulis dikalangan mahasiswa diharapkan mampu menumbuhkan budaya kritis. Kemampuan mahasiswa menyuarakan perubahan dan menjalankan kewajiban moral di masyarakat perlu terus ditanamkan dan diberi dukungan. Hal ini penting untuk menelurkan kembali lulusan berkualitas yang memiliki daya nalar kritis, berkarakter, dan melek iptek serta imtaq. Sehingga mahasiswa hadir sebagai golongan yang mampu membentengi diri sekaligus menjadi benteng terhadap masifnya gerakan ekstrim di nusantara.