Pada hakikatnya, orang yang menawarkan ideologi baru untuk Indonesia, misalnya negara Islam, mereka juga mempunyai tujuan yang sama untuk mencintai negaranya. Hanya saja cara yang dilakukan berbeda dengan yang selama ini kita jalankan, yaitu kehidupan berpancasila dan memegang teguh semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Menawarkan ideologi baru untuk Indonesia, mereka berprasangka buruk terhadap ideologi negara yang sudah kita jalani puluhan tahun tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tugas para santri millennial saat ini, yang dikatakan sebagai garda terdepan membela negara, harus menjelaskan hubungan antara negara dan Islam dengan cara intervensi kognitif.
Ada dua kemungkinan orang yang mengkritik ideologi negara Pancasila. Pertama, karena kehidupan bernegara dan berbangsa belum sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, misalnya keadilan, persatuan dan lain sebagainya. Kedua, mengkritik ideologi Pancasila karena memang memiliki niatan yang buruk karena kepentingan tertentu. Ketiga, mereka yang mengkritik ideologi negara Pancasila karena memiliki prasangka dan stereotip yang buruk, sehingga menawarkan ideologi baru.
Untuk kategori pertama, kritik untuk memperkuat ideologi Pancasila memang harus terus dilakukan agar kehidupan bernegara dan berbangsa tidak keluar jalur. Kategori orang kedua, memang jarang terlihat, namun kita harus mengarusutamakan Pancasila sebagai bahan perbincangan tiap kelompok. Kategori ketiga menarik dikaji dalam kajian psikologi sosial, yaitu stereotip, prasangka, diskriminasi dan adanya intervensi kognitif.
Prasangka dan Stereotip Buruk terhadap Negara
Coba perhatikan kelompok yang menawarkan sistem negara Islam di Indonesia, ada hal yang menarik, yaitu mereka berprasangka buruk terhadap demokrasi dan Pancasila. Mereka menganggap bahwa Pancasila dan demokrasi tidak sesuai dengan ajaran Islam. Padahal para tokoh muslim bangsa Indonesia, sudah sepakat memakai sistem negara demokrasi dan menggunakan ideologi Pancasila.
Baca juga :Ulama dan Persatuan Bangsa
Prasangka merupakan sikap (biasanya bersifat negatif) yang ditujukan bagi anggota-anggota beberapa kelompok dan didasarkan pada keanggotaan dalam kelompok. Sebagai sebuah sikap, prasangka tidak harus tampil dalam perilaku yang berlebihan, tetapi bisa jadi sebagai sebuah kecenderungan psikologis. Apabila prasangka tampil dalam perilaku yang dapat dilihat, maka kita mendefinisikannya sebagai diskriminasi. Orang yang berprasangka, merasa tidak nyaman jika duduk di samping target prasangka. Munculnya prasangka dan diskriminasi adalah stereotip. Stereotip merupakan belief tentang karakteristik dari anggota kelompok tertentu, bisa positif dan bisa saja negatif. Walaupun dikatakan bahwa stereotip adalah dasar dari prasangka dan diskriminasi, namun tidak berarti bahwa seseorang yang memiliki stereotip negatif mengenai sebuah kelompok tertentu pasti akan menampilkan prasangka dan diskriminasi (Cicilia Yeti Prawasti, 2011).
Orang atau kelompok tertentu menganggap bahwa ideologi Pancasila dan sistem demokrasi itu buruk, karena mereka mempunyai belief sendiri dalam dirinya. Dalam hal ini, mereka yang menganggap Indonesia saat ini tidak Islami, karena mereka memiliki sistem keyakinan yang berbeda yaitu negara yang Islami. Mereka belum memahami keterikatan antara Islam dan negara Pancasila, sehingga dipahami sebagai suatu yang terpisah.
Intervensi Kognitif
Cicilia Yeti Prawasti dalam tulisannya tentang prasangka, stereotip dan diskriminasi menyatakan bahwa kecenderungan untuk melihat keanggotaan orang lain dalam berbagai kelompok dan kategori (yang dikenal sebagai konsep category-driven processing) sering menjadi penyebab munculnya prasangka. Sehingga perlu adanya intervensi untuk mengurangi dampak stereotip yang pada akhirnya dapat mengurangi kecenderungan prasangka dan diskriminasi. Kaitannya dengan ideologi negara Islam, santri harus bisa mengintervensi atau menjelaskan kembali bagaimana kaitannya antara nilai-nilai Islam dan Pancasila.
Pertama, dampak dari stereotip dapat dikurangi dengan motivasi individu untuk tidak berprasangka. Kita bisa melakukan sosialisasi kembali tentang Pancasila dan sistem demokrasi bagi mereka yang memiliki prasangka buruk. Kaitannya sistem kepercayaannya yang diletakkan pada negara Islam, para santri bisa melakukan sosialisasi kembali tentang konsep negara Pancasila namun tetap memegang nilai-nilai Islam. Bagi Gus Dur, Islam dijadikan sebagai etika sosial dalam negara Pancasila. Kalau memaksakan adanya negara Islam, akan mendiskriminasi masyarakat di luar Islam sebagai masyarakat kelas dua.
Kedua, melakukan sebuah intervensi untuk mengurangi kecenderungan orang berpikir stereotip. Intervensi ini, menurut Cicilia Yeti Prawasti berupa pelatihan yang membantu orang untuk mengurangi aktivitas yang otomatis dari cara berpikir stereotip yang dimilikinya. Negara memang selayaknya mendampingi kelompok yang memiliki stereotip buruk terhadap demokrasi dan Pancasila. Pendampingan untuk melakukan diskusi, dengan menjawab pertanyaan apakah Pancasila dan demokrasi buruk untuk diimplementasikan bagi orang Islam dan umat agama lain? Semua elemen berperan untuk melakukan mensosialisasikan Pancasila dan demokrasi yang berjalan di Indonesia agar tidak adanya stereotip yang buruk.