Aktivisme Pemuda dalam Bingkai Narasi Damai di Era Digital

Aktivisme Pemuda dalam Bingkai Narasi Damai di Era Digital

- in Narasi
38
0
Aktivisme Pemuda dalam Bingkai Narasi Damai di Era Digital

Membaca kembali teks Sumpah Pemuda rasanya kita perlu syukur sebab yang dibayangkan adalah persatuan, bukan penyeragaman. Persatuan mengandaikan soliditas di tengah keragaman. Sebaliknya, keseragaman menghapus peluang keberanekaan.

Sumpah Pemuda 1928, karena itu, menandai tonggak persatuan bangsa, saat para pemuda Indonesia mendeklarasikan ikrar kebangsaan yang melampaui batas suku, agama, dan daerah. Namun, hampir seabad kemudian, pemuda Indonesia menghadapi tantangan baru: bagaimana semangat persatuan ini dapat dipertahankan di tengah disrupsi teknologi informasi yang berpotensi memicu disintegrasi bangsa.

Jika sejarah teknologi dapat ditelusuri hingga ke konflik besar seperti Perang Dunia II, maka saat ini tantangan itu muncul dalam bentuk yang lebih ghaib dengan tingkat distruktif yang belum pernah sedahsyat sebelumnya: perang informasi yang melibatkan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan media sosial.

Ya, AI tidak hanya mendorong kemajuan tetapi juga menjadi alat untuk menyebarkan narasi radikal dan menciptakan polarisasi di tengah masyarakat. Propaganda dan disinformasi kini menyebar dengan kecepatan luar biasa, berkat algoritma yang dapat menyasar kelompok-kelompok rentan, khususnya generasi muda yang secara historis selalu menjadi dirijen perubahan.

Militansi Digital dan Pengaruh Gerakan Radikal

Sebagaimana Sumpah Pemuda dulu menjadi wadah bagi kaum muda untuk mengukuhkan persatuan, teknologi saat ini seharusnya dapat menjadi alat untuk memperkuat narasi kebangsaan. Namun, tanpa kewaspadaan, teknologi juga membuka peluang bagi radikalisme untuk mengeksploitasi semangat juang pemuda.

Contoh paling jelas adalah gerakan ekstremis yang memanfaatkan AI untuk menyebarkan propaganda melalui media sosial, memanfaatkan algoritma untuk menargetkan individu-individu yang rentan terhadap radikalisasi.

ISIS, misalnya, adalah salah satu kelompok yang sangat piawai menggunakan teknologi ini. Melalui algoritma media sosial, mereka mampu menyebarkan narasi yang dirancang khusus untuk memikat pemuda yang merasa termarjinalkan, membentuk persepsi dan simpati atas nama perjuangan. Mereka berhasil mengemas narasi radikal menjadi seolah-olah bagian dari “perlawanan” yang sah, padahal jauh dari substansi perjuangan nasionalisme Sumpah Pemuda yang memperjuangkan persatuan.

Tantangan Keberagaman Indonesia

Indonesia adalah negara yang dibangun di atas kebhinekaan. Substansi Sumpah Pemuda yang menggaungkan persatuan pada dasarnya sangat relevan untuk menghadapi ancaman disintegrasi yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan AI dalam penyebaran narasi kebencian. Dalam beberapa tahun terakhir, AI telah digunakan untuk memperkuat polarisasi di antara masyarakat Indonesia, memanfaatkan isu agama, etnis, dan politik untuk menciptakan ketegangan. Algoritma media sosial bahkan memperkuat bias ini dengan menyajikan konten yang semakin memperkuat persepsi tertentu, membuat individu lebih mudah terpapar narasi yang sempit dan radikal.

Kenyataan ini memunculkan pertanyaan: bagaimana pemuda Indonesia dapat mengawal semangat aktivisme mereka agar tidak jatuh ke dalam militansi destruktif?

Persatuan yang ditekankan dalam Sumpah Pemuda menjadi relevan sebagai panduan dalam memilih dan membentuk narasi kebangsaan di era digital. Ketika semangat juang pemuda bertemu dengan kemajuan teknologi, tantangannya adalah bagaimana tetap setia pada idealisme nasionalis tanpa terjebak dalam polarisasi atau militansi yang berpotensi memecah belah.

Literasi Digital Saja Kurang Cukup

Langkah yang diperlukan untuk menghadapi tantangan ini adalah memperkuat literasi digital. Substansi Sumpah Pemuda tentang persatuan dapat diperkuat dengan kemampuan kritis dalam menilai informasi. Masyarakat, khususnya pemuda, perlu didorong untuk mengenali narasi radikal yang tersebar di media sosial dan tidak terbawa arus militansi yang merusak.

Literasi digital adalah bentuk modern dari kesadaran kebangsaan: sebuah pemahaman kritis tentang bagaimana teknologi mempengaruhi persepsi dan bagaimana informasi dapat memanipulasi opini. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat perlu berperan aktif dalam mengedukasi pemuda tentang bahaya radikalisme digital yang tersembunyi di balik kemajuan teknologi. Dengan mengembangkan kemampuan kritis terhadap informasi, pemuda dapat memainkan peran aktif dalam memperkuat persatuan dan menjaga substansi Sumpah Pemuda.

Namun itu saja tetap belum cukup. Agar aktivisme tetap dalam koridor positif, pemuda harus mampu membedakan antara perjuangan yang sah dan narasi yang memanfaatkan militansi sebagai alat perpecahan. Teknologi dapat menjadi jembatan bagi kolaborasi, menghidupkan kembali semangat Sumpah Pemuda dalam bentuk yang baru, lebih inklusif, dan relevan di era digital. Narasi yang memperkuat persatuan, toleransi, dan kedamaian dapat dikembangkan sebagai tandingan terhadap narasi destruktif.

Semangat Sumpah Pemuda tidak hanya relevan dalam bingkai sejarah, tetapi juga sebagai panduan bagi generasi muda dalam menghadapi tantangan radikalisme digital. Dengan menjadikan nilai-nilai persatuan sebagai basis dalam aktivisme digital, pemuda dapat mengawal semangat nasionalisme dan menjaga integritas bangsa di tengah derasnya arus informasi.

Facebook Comments