Belajar dari Kerusuhan di Inggris dan Bangladesh: Kenapa Minoritas Selalu Menjadi Korban?

Belajar dari Kerusuhan di Inggris dan Bangladesh: Kenapa Minoritas Selalu Menjadi Korban?

- in Narasi
100
0
Belajar dari Kerusuhan di Inggris dan Bangladesh: Kenapa Minoritas Selalu Menjadi Korban?

Konflik dan kerusuhan yang terjadi di berbagai belahan dunia sering kali menjadi cermin bagi negara lain untuk mengambil pelajaran. Dua peristiwa yang relevan adalah kerusuhan di Inggris baru-baru ini yang dipicu oleh pembunuhan tiga anak yang berujung pada aksi xenofobia dan anti-imigran, serta gejolak politik di Bangladesh pasca mundurnya Perdana Menteri Sheikh Hasina.

Kedua peristiwa ini menunjukkan betapa rentannya kelompok minoritas ketika konflik terjadi. Minoritas menjadi tumbal dari proses politik yang ganas dan barbar. Indonesia juga mempunyai sejarah kelam persekusi, kekerasan dan tragedi yang menimpa minoritas Tionghoa pada kerusahan politik pada awal reformasi. Tentu ini menjadi pelajaran berharga yang harus dicegah dan diantisipasi ke depan.

Kerusuhan di Inggris : Hoaks dan Kebencian

Kerusuhan terbaru di Inggris berawal dari penikaman tragis yang menyebabkan tiga anak perempuan meninggal dunia di Souhport, Inggris Barat Laut, 29 Juli silam. Kejadian ini memicu gelombang aksi bela sungkawa dengan karangan bunga yang berjejer di sudut kota.

Namun, aksi ini dengan cepat berubah menjadi aksi kekerasan dengan nuansa kebencian yang ditujukan kepada komunitas imigran, terutama mereka yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda. Di dunia maya beredar rumor pelaku penikaman adalah imigran muslim. Padahal, diketahui belakangan, pelakunya adalah Axel Rudakubana yang berasal dari Cardiff.

Pengalihan isu dari kasus sebenarnya berubah menjadi isu anti imigran khususnya muslim di Inggris dipicu oleh penyebaran berita hoaks dan propaganda negatif yang sekejap menggerakan massa. Kelompok radikal kanan yang konservatif memainkan isu anti imigran menjadi ladang subur bagi propaganda mereka.

Mereka yang terprovokasi dan termakan hoaks berkumpul dan meneriakkan jargon anti islam dan imigran. Ketika emosi tidak bisa dibendung, bentrok pun tak terhindarkan. Aksi ini mendorong kekerasan dan pengrusakan lainnya terhadap fasilitas yang diidentifikasi milik muslim dan imigran.

Gelombang protes yang semula didasarkan pada rasa duka atas kematian anak-anak tersebut, dengan cepat bergeser menjadi aksi xenofobia, islamofobia di mana imigran dan kelompok minoritas lainnya menjadi sasaran kekerasan. Banyak kelompok minoritas yang merasa ketakutan dengan situasi yang sangat mencekam.

Sara Khan dalam wawancara di The Guradian mengatakan penyebab utama dari kekerasan ini adalah narasi hoaks berisi hasutan dan kebencian terhadap imigran yang digemakan politisi partai konservatif. Hasutan dan kebencian telah menyuburkan ekstremisme di akar rumput yang berujung kekerasan terhadap kelompok minoritas terutama imigran muslim.

Akar masalah dari kerusuhan ini tidak hanya terletak pada insiden pembunuhan itu sendiri, tetapi juga pada kerentanan masyarakat Inggris dengan pra sangka terhadap imigran dan muslim. Inggris, seperti banyak negara Eropa lainnya, telah menghadapi peningkatan ketegangan terkait kebijakan imigrasi, dengan banyak masyarakat lokal merasa “terancam” oleh kehadiran imigran yang mereka anggap sebagai penyebab berbagai masalah sosial dan ekonomi.

Sentimen anti-imigran yang semakin kuat di kalangan kelompok tertentu didorong pula oleh retorika politik partai dan kelompok konservatif ekstrem yang cenderung menyalahkan imigran atas berbagai kesulitan ekonomi. Media sosial juga memainkan peran besar dalam menyebarkan informasi yang menyesatkan dan memperkuat kebencian terhadap imigran, membuat situasi semakin sulit untuk dikendalikan.

Bangladesh Mencekam : Benang Kusut Relasi Agama

Di Bangladesh, gejolak politik besar terjadi setelah Perdana Menteri Sheikh Hasina mengumumkan pengunduran dirinya. Pengunduran diri ini memicu ketidakstabilan politik yang mendalam, dengan berbagai kelompok politik dan agama bersaing untuk mengisi kekosongan kekuasaan. Situasi ini diperburuk oleh ketegangan sosial yang sudah ada, terutama terkait dengan isu-isu agama dan etnis.

Masalah di Bangladesh sangat terkait dengan politik identitas, di mana kelompok mayoritas sering kali menggunakan isu agama sebagai alat politik. Ketika Sheikh Hasina, yang selama ini dianggap sebagai pemimpin yang kuat dan kontroversial, mundur, terjadi kekosongan kepemimpinan yang memicu konflik antar kelompok. Ketidakstabilan politik ini memperburuk situasi bagi komunitas minoritas, seperti Hindu dan Buddha, yang sering menjadi sasaran kekerasan ketika situasi politik memanas.

Konsekuensi dari gejolak ini sangat besar, terutama bagi komunitas minoritas yang merasa semakin terpinggirkan dan terancam. Kekerasan terhadap minoritas agama meningkat, dengan banyak laporan tentang serangan terhadap tempat ibadah dan rumah-rumah milik minoritas. Selain itu, ketidakstabilan politik juga memperburuk kondisi ekonomi, yang pada gilirannya meningkatkan ketegangan sosial dan memperdalam jurang antara kelompok mayoritas dan minoritas.

Bahaya Ancaman Terhadap Minoritas Saat Konflik Terjadi

Dari kedua peristiwa di Inggris dan Bangladesh, terlihat jelas bahwa minoritas sering kali menjadi korban utama dalam situasi konflik dan ketegangan sosial. Baik di Inggris maupun Bangladesh, kelompok minoritas menjadi target kekerasan dan persekusi, baik karena alasan etnis, agama, maupun kebangsaan. Ini menunjukkan betapa rentannya posisi minoritas dalam masyarakat yang sedang dilanda ketegangan dan konflik.

Ancaman terhadap minoritas ini bukan hanya ancaman fisik, tetapi juga ancaman terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar mereka. Dalam banyak kasus, minoritas diperlakukan sebagai “kambing hitam” untuk berbagai masalah sosial dan ekonomi, yang memperburuk situasi mereka dalam jangka panjang.

Indonesia, sebagai negara dengan keragaman etnis, agama, dan budaya yang sangat besar, harus belajar dari kasus-kasus di Inggris dan Bangladesh. Indonesia juga memiliki sejarah kelam terkait kekerasan terhadap minoritas, terutama pada masa Reformasi 1998, di mana terjadi kekerasan massal terhadap etnis Tionghoa.

Agar kejadian serupa tidak terjadi di Indonesia, ada beberapa langkah yang perlu diambil. Penguatan pendidikan toleransi mutlak dilakukan. Toleransi bukan basa-basi, tetapi ia diuji dalam situasi yang tidak kondusif. Toleran bukan hanya menghargai, tetapi memberikan peluang dan kesempatan yang sa,a.

Berikutnya, membangun dialog Antar komunitas yang berbeda harus menjadi budaya. Upaya segregasi sosial harus dihindari karena dapat menyuburkan pra sangka. Perjumpaan dan pertemuan secara langsung akan memberikan kesan pengetahuan yang berbeda dari pada saling mengisolasi diri.

Masyarakat tidak perlu alergi dengan perbedaan. Dialog terbuka dan konstruktif antara kelompok mayoritas dan minoritas perlu digalakkan untuk mengurangi ketegangan dan kesalahpahaman. Ini bisa dilakukan melalui forum-forum masyarakat, diskusi publik, dan inisiatif lintas agama.

Terakhir penegakan hukum yang tegas dan pengawasan ketat terhadap kelompok eskstrem. Kelompok ini akan selalu menunggu memontum dari sebuah keributan sosial. Jika ada konflik dan chaos mereka akan menyuburkan dengan narasi hasutan dan kebencian. Kelompok-kelompok ekstremis yang sering memicu konflik dan kekerasan harus diawasi dan ditindak dengan tegas. Pemerintah harus proaktif dalam mencegah penyebaran ideologi radikal yang dapat merusak harmoni sosial.

Facebook Comments