Upaya membangun toleransi antar umat beragama sejauh ini lumrah dilakukan dengan cara saling belajar dalam ruang-ruang formal agar dapat saling memahami satu sama lain. Kendati demikian, upaya dialog tersebut sering kali tidak tepat guna. Narasi-narasi eksklusif klaim kebenaran sepihak dan mengutuk kelompok di luar dirinya justru lebih sering ditemukan dalam perjumpaan informal, seperti di percakapan sehari-hari atau di media sosial.
Dalam kerangka ini, upaya membangun toleransi dari akar rumput menjadi penting. Alih-alih saling mempelajari konsep teologis agama lain, ruang-ruang kultural bisa menjadi locus efektif untuk membangun kesepahaman itu. Faktanya, peluang ini sudah tinubuh melalui nilai-nilai dalam agama lokal yang ada di Nusantara. Nilai-nilai ini sudah hadir bahkan sebelum Indonesia merdeka, kemudian turut merawat kultur dan nilai Nusantara hingga masa kini.
Kearifan budaya lokal menjadi daya rekat dan sumber kontrol moral yang dianggap mampu membangun sikap yang baik layaknya seorang yang berbudaya. Karena itu, perlu rasanya bercermin pada bagaimana laku hidup masyarakat adat di Indonesia sebagai upaya melahirkan peradaban yang pluralis dan toleran.
Indonesia pada dasarnya adalah sebuah etalase besar yang menyimpan nilai-nilai lokalitas dan tradisi kebudayaan. Artinya, sekali lagi, sumber daya moral itu sudah tinubuh dalam kebangsaan Indonesia itu sendiri.
Nilai perdamaian dan toleransi itu, misalnya, terlihat di desa Watu Asa, Sumba Tengah. Di desa tersebut, orang Kristen, Marapu, dan Muslim hidup berdampingan dalam harmoni dan perdamaian.
Marapu adalah agama lokal masyarakat setempat. Basis relasi lintas agama di tempat ini adalah hubungan kekerabatan yang berakar pada kearifan lokal. Masyarakat ini, terlepas dari perbedaan agamanya, sebenarnya berasal dari silsilah keluarga yang sama. Nilai kekeluargaan ini mereka jaga di dalam berelasi dengan yang lain. Ketika salah satu kelompok agama tertentu, misalnya, mengadakan acara keagamaan, mereka akan saling mengundang satu sama lain.
Bahkan dalam acara-acara tertentu, bila ada penyembelihan hewan, seorang Muslim akan diminta untuk melakukan penyembelihan tersebut dengan membacakan doa, sehingga makanan yang nanti disajikan dapat dinikmati bersama-sama. Hal ini juga sebagai bentuk penghargaan antara yang satu dengan yang lain.
Di Desa Wee Limbu, Sumba Barat Daya, orang Kristen, Katolik, Marapu, dan Islam hidup berdampingan bahkan di bawah satu atap yang sama. Hampir semua rumah di desa ini isinya adalah orang-orang dengan agama yang berbeda.
Sama seperti desa Watu Asa, ekosistem ini terbentuk karena mereka sebenarnya adalah satu keluarga, namun ada anggota keluarga yang memilih untuk menjadi Kristen atau Katolik atau Islam, tetapi ada juga yang memilih tetap menjadi Marapu. Meski demikian, perbedaan keyakinan ini tidak mengganggu relasi mereka.
Dalam hal ritual peribadatan bahkan, orang Marapu sangat sering ikut menghadiri ibadah-ibadah orang Kristen dan ikut memberikan persembahan. Hal ini menurut mereka tidak akan mengganggu keimanan mereka, sebab berbuat baik tidak selalu harus berdalih atas nama agama.
Yang menarik adalah orang Marapu datang lebih subuh dari pada orang Kristen itu sendiri. Dalam hal pertanian, beternak, membangun rumah, dan beragam kegiatan lainnya, relasi yang demikianlah yang selalu muncul. Perbedaan agama sama sekali tidak menjadi sekat bagi mereka untuk terus menjaga ikatan kekerabatan.
Ikatan kekerabatan dan nilai-nilai kebudayaan lokal menjadi faktor penting dalam mengikat komunitas lintas agama. Karenanya, toleransi berbasis kearifan lokal dibutuhkan sebagai sebuah pengikat bagi kelompok-kelompok lintas agama. Kearifan lokal menjadi identitas bersama yang dimiliki dan dipegang oleh umat lintas agama.
Semangat penerimaan, keterbukaan, dan toleransi lahir dari nilai-nilai tradisi lokal tersebut. Hal inilah yang membuat masyarakat Sumba mampu berjumpa dengan orang lain di luar komunitas mereka. Orang non-Sumba akan dengan mudah diterima dalam relasi kekerabatan itu.
Orang Sumba biasanya akan memberi kain Sumba kepada pendatang non-Sumba sebagai tanda penghormatan dan penerimaan. Jadi ikatan-ikatan kekerabatan yang dipelihara bukan hanya ikatan hubungan darah. Keterbukaan itu sudah melampaui garis keturunan. Akhirnya, semua orang dilihat sebagai saudara.
Nilai-nilai kearifan lokal yang ada juga menekankan keterhubungan dan keterikatan antara yang satu dengan yang lain. Ada kesadaran bahwa manusia yang satu tidak dapat hidup sendiri tanpa yang lain. Keberhasilan atau kegagalan, permasalahan atau pencapaian, adalah milik bersama. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut sebenarnya bersifat universal, namun diekspresikan melalui bahasa lokal.
Di sinilah kita dapat melihat bagaimana Sumba, yang sebenarnya juga menggambarkan Indonesia, memiliki modal berupa kearifan lokal sebagai bahasa bersama yang dapat mempertemukan orang-orang dengan beragam latar belakang etnis dan agama. Bahasa bersama lintas agama tidak melulu harus dicari dari doktrin atau kitab suci agama-agama.
Penghayat kepercayaan memiliki peran sentral dalam menciptakan kehidupan harmonis di Indonesia. Dengan memainkan peran sebagai pelindung budaya, promotor toleransi, penjaga lingkungan, perekat sosial, dan pendidik nilai-nilai moral, mereka membantu membangun masyarakat yang lebih inklusif dan berdampingan secara damai dalam keragaman.
Nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal ini menjadi penting untuk dikembangkan dalam konteks Indonesia. Apa yang terlihat dalam komunitas di Sumba tersebut sebenarnya adalah universal. Hanya saja, kita sering gagal saat menerjemahkannya ke dalam kultur yang lebih luas. Namun paling tidak di akar rumput, tradisi dan kearifan lokal yang ada di masing-masing tempat sudah dengan sendirinya menjadi bahasa bersama yang mudah dipahami dan diterima. Dari situlah, toleransi, keterbukaan, dan penerimaan dapat dibangun.