“Tidak seorang pun yang menghitung-hitung: berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya,” seru Bung Karno dalam pidato Proklamasi, 17 Agustus 1956.
Seruan Bung Karno ini menjadi penanda serius bahwa dalam gerak hidupnya diwakafkan sepenuhnya untuk perjuangan menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bung Karno tidak pernah menghitung untung atau rugi, karena ia sangat yakin bahwa NKRI ini berkah dari Tuhan yang luar biasa bagi bangsa. Pancasila menjadi titik temu semua kelompok dan golongan. Apapun ideologi yang dipegangi, tetaplah Pancasila sebagai ideologi negara.
Seruan Bung Karno ini disampaikan dalam momentum hiruk-pikuk negara dalam merumuskan ulang ideologi dalam Majlis Konstituante, hasil Pemilu 1955. Saat itu, terjadi pertentangan ideologi yang sangat hebat antara kelompok Islam, nasionalis, dan komunisme. Semua berdebat sangat ilmiah dalam Majlis Konstituante. Walaupun Majlis Konstituante akhirnya dibubarkan Bung Karno pada 5 Juli 1959, tetapi perdebatan dalam majlis tersebut menjadi pondasi sejarah bangsa ini dalam menegakkan masa depannya.
Sisa-sisa perdebatan dalam gerak pasca 5 Juli 1959 tentu saja masih ada, bahkan tidak jarang dipolitisasi untuk saling dibenturkan. Antara ideologi Pancasila, Islam, komunisme, dan lainnya masih saja dipertentangkan untuk kepentingan sesaat. Tidak ada salahnya seruan Bung Karno pada 17 Agustus 1956 menjadi refleksi bahwa Pancasila dan NKRI terbukti mampu menyatukan bangsa ini dari keretakan akibat egoisme sektoral dalam berbangsa dan bernegara.
Sebelum kemerdekaan Indonesia, Bung karno sudah bersuara lantang menentang penjajah. Pada 18 Agustus 1930, Bung karno bersama Gatot Mangkupraja, Maskun Sumadireja, dan Soepriadinata diadili di Gedung Landraad, Bandung, karena dituduh memberontak. Di ruang pengadilan rezim kolonial Belanda itulah, Bung Karno yang saat itu berusia 29 tahun membacakan pembelaannya yang terkenal berjudul Indonesia Menggugat, seperti dikutip dari buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams.
Dalam ruang sidang itu, Bung Karno bersuara amat lantang: “Semangat perjuangan rakyat yang berkobar-kobar akan dapat menghancurkan manusia lebih cepat daripada ribuan armada perang yang dipersenjatai lengkap. Suatu negara dapat berdiri tanpa tank dan meriam. Akan tetapi, suatu bangsa tidak mungkin bertahan tanpa kepercayaan,” ujar Bung Karno berapi-api di Gedung Landraad, Bandung, tahun 1930.
Dari dalam ruang pengadilan yang sempit itu, suara Bung Karno seolah menembus dinding-dinding gedung yang tebal, membahana ke seantero Nusantara, menggelorakan rakyat Indonesia untuk berjuang lebih keras mengusir penjajahan dari muka bumi.
Bung Karno dan kawan-kawan akhirnya dipenjarakan. “Jikalau sudah menjadi Kehendak Yang Maha Kuasa bahwa gerakan yang saya pimpin akan memperoleh kemajuan yang lebih pesat dengan penderitaan saya daripada dengan kebebasan saya, maka saya menyerahkan diri dengan pengabdian yang setinggi-tingginya ke hadapan Ibu lndonesia dan mudah-mudahan ia menerima nasib saya sebagai pengorbanan yang harum semerbak di atas pangkuan persadanya,” seru Bung Karno mengakhiri pembelaannya.
Menegakkan Ideologi Bangsa
Dalam menegakkan ideologi bangsa, Bung Karno menggugah semangat nasionalisme bangsanya dengan penuh kesungguhan. Karena bagi dia, ada perbedaan antara nasionalisme borjuis di eropa dan nasionalisme yang dianut oleh pejuang anti-kolonial di dunia ketiga: Gandhi dan Sun Yat Sen. Bung karno melihat nasionalisme di eropa itu nasionalisme borjuis, yaitu suatu ‘nasionalisme yang bersifat serang-menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi’.
Sedangkan nasionalisme Indonesia, yang disebutnya sosio-nasionalisme, adalah nasionalisme masyarakat atau nasionalisme yang mencari keberesan dalam kepincangan masyarakat, sehingga tidak ada lagi kaum yang sengsara dan ditindas. Pancasila merupakan saripati rumusan nasionalisme dalam membangun bangsa Indonesia. Dengan Pancasila itulah, bangsa Indonesia telah membuktikan dirinya bisa berdiri tegak secara berdaulat.
Dalam menegakkan nasionalisme, bagi Bung Karno, bangsa ini harus percaya diri. Baginya, kalau Indonesia mau menjadi bangsa besar, maka harus percaya diri. “Apakah Kelemahan kita: Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong,” ujar Bung Karno dalam pidato Proklamasi, 17 Agustus 1966.
SpiritPengorbanan
Apapun yang sudah dilakukan Bung karno, dengan berbagai kontroversi yang menyelimutinya, adalah sebuah pengorbanan untuk Indonesia. Bung Karno tak pernah menghitung untung dan rugi dalam pengabdiannya. Semua itu diberikan untuk Indonesia. Karena pengabdian tanpa memperhartikan untung dan rugi, maka kekuasaan yang diraih bukanlah untuk dirinya sendiri. Kekuasan yang sejati adalah milik rakyat, dan di atas rakyat adalah kekuasan Tuhan. Tak ada niat dalam diri Bung Karno untuk menjadi penguasa sepanjang hayat. Walaupun akhir sejarah kuasanya penuh tragedi, tetapi dalam dirinya kekuasaan rakyatlah yang langgeng, bukan dirinya. “Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa,” ujar Bung Karno.
Di tengah terpaan beragam ideologi “asing” yang dihembuskan sepanjang waktu, etos perjuangan dan pengorbanan Bung Karno menjadi inspirasi sangat tepat untuk membangun kesaktian Pancasila. Terlepas dari kontroversi yang mengitarinya, jejak hidup Soekarno sangat penting maknanya bagi Indonesia di tengah pergulatan sosial di abad ke-21 ini. Jalan hidup yang dilalui Soekarno bisa menjadi pelajaran penting bagi generasi Indonesia abad ke-21 untuk merumuskan arah Indonesia masa depan.