Corona, Ancaman Radikalisme, dan Masa Depan Demokrasi Deliberatif Indonesia

Corona, Ancaman Radikalisme, dan Masa Depan Demokrasi Deliberatif Indonesia

- in Narasi
1440
0
Corona, Ancaman Radikalisme, dan Masa Depan Demokrasi Deliberatif Indonesia

Pada 31 Maret 2020, presiden secara resmi menetapkan berlakunya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna menangani wabah corona. Ia menyinggung pula tentang wacana Darurat Sipil. Atas dasar keputusan presiden ini publik pun diramaikan oleh berbagai penolakan dari beberapa unsur masyarakat.

Apa yang pernah saya sebut sebagai pendekatan politik diskursif tiga tahun lalu menyingkapkan bahwa diskursus dapat membentuk realitas. Seperti penelitian Foucault tentang diskursus kegilaan, pada bidang psikiatri dan psikologi pada khususnya, yang akhirnya mengubah konfigurasi sosial, seumpamanya pemilahan yang normal dan yang abnormal dengan berdirinya asilum. Politik diskursif menyingkapkan pula tentang apa yang disebut sebagai episteme yang bekerja di suatu momen, yang secara sederhana dapat dimaknai sebagai hal yang membuat sesuatu dapat atau tak dapat dikatakan—pun dilakukan (Hikayat Kebohongan, Heru Harjo Hutomo, https://islami.co).

Epistemeinilah yang membuat semacam kekaburan yang jenaka antara spektrum “kanan” maupun “kiri,” “radikalisme keagamaan” maupun “nasionalisme,” “iman pada kerajaan Allah” maupun “khilafah islamiyah,” dan doktrin “kenosis” maupun “khumul.” Seperti di masa physical distancing hingga keputusan resmi presiden terkait penerapan PSBB, pada tataran diskursif, yang cenderung tak mentaati atau bahkan terkesan menentang himbauan pemerintah dengan membungkusnya dengan kepentingan agama adalah kalangan yang dikenal “radikal,”.

Namun, tapi pada kenyataannya di lapangan justru yang banyak melanggar himbauan itu datang dari kalangan yang secara berbusa mengklaim diri mereka sebagai para “nasionalis” (Parasit dan “Nasionalisme Masturbasif,” Heru Harjo Hutomo, https://www.harakatuna.com,Hikayat Binatang Beragama, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Dua kejadian penting atas bergeliatnya diskursus radikalisme dan terorisme di tengah wabah corona adalah penangkapan terduga teroris anggota JAD di Sidoarjo kemarin (bertopeng keagamaan) dan penangkapan kelompok anarko di Tangerang (bertopeng non-keagamaan).

Secara global, aksi-aksi terorisme memang berkurang atau bahkan hampir tak ada karena wabah corona. Tapi saya melihat, khususnya di Indonesia, diskursus radikalisme keagamaan tetap hidup dalam belitan perlawanan dengan mengatasnamakan agama atas wacana pemerintah untuk menerapkan Darurat Sipil seumpamanya.

Secara praktis sebenarnya wabah corona dan penanganan pemerintah terhadapnya dapat juga dipakai sebagai pengujian tentang diskursus yang mana yang lebih diikuti, yang otomatis hal ini menyangkut agenda politik 2024. Sejak 2014 pendekatan politik sektarian, atau apa yang saya sebut sebagai “episteme masturbasif,” tebal mewarnai perjalanan politik bangsa Indonesia.

epistememasturbasif” adalah episteme yang berpotensi mengancam ruang publik di mana hal ini merupakan syarat utama di mana kemajemukan dan perbedaan kepentingan mesti dinegosiasikan. Karena itulah, dalam demokrasi deliberatif, ruang publik mesti bersih dari elemen-elemen “masturbasif” agar ruang publik benar-benar menjadi milik publik dan bukannya milik perseorangan maupun golongan.

Demokrasi deliberatif pada dasarnya adalah sebentuk demokrasi yang menuntut adanya kecakapan logika dan retorika dalam upaya memperjuangkan agenda tertentu, soal bagaimana meyakinkan orang lainnya dan bahkan musuh sekali pun. Dalam negara yang majemuk seperti halnya Indonesia, memang tak mudah menyatukan kepentingan yang berbeda-beda, menyaring ataupun menerjemahkan kepentingan yang bersifat partikular dan individual agar bersifat universal dan sosial, menyangkut kepentingan orang lainnya pula.

Baca Juga : Mengenali Provokasi di Tengah Krisis Sosial Pandemi

Andaikata diseksamai bahasa Pancasila dan UUD 1945 tak secara khusus menunjuk golongan tertentu, meskipun apa pun golongannya selama tak menciderai ruang publik atau bersikap “masturbasif” terakomodasi di dalamnya. Sejauh ini Pancasila dan UUD 1945 adalah sebentuk nalar publik yang paling bersifat publik yang pernah dihasilkan oleh Indonesia. Ia mampu mengakomodasi kepentingan dari berbagai golongan—kecuali golongan-golongan “masturbasif” yang anti terhadapnya.

Seumpamnya, dari sudut pandang Islam, sila II sejatinya adalah wujud terakomodasinya liberalisme Barat yang menjunjung tinggi HAM sekaligus nilai martabat diri yang diajarkan oleh al-Qur’an dan Nabi Muhammad (Pancasila dalam Perspektif Islam Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Sedangkan sila V adalah wujud sosialisme Barat yang menjunjung tinggi keberadaan liyan sekaligus juga konsepsi Islam sebagai sebentuk sistem etik kepedulian dan tolong-menolong.

Tak hanya Islam, agama-agama dan kapitayan lainnya saya kira dapat pula menemukan ajarannya atau prinsip-prinsipnya dalam Pancasila tersebut (Membidik Tanpa Hardik, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org,Kawruh, Matahari dan Rembulan Kemanusiaan, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com). Ini semua membuktikan bahwa nalar publik secara historis sebenarnya sudah lama dipraktikkan oleh bangsa Indonesia di mana Pancasila adalah hasil dari sebentuk nalar publik yang terbaik tersebut, sekaligus mesti menjadi satu-satunya aturan dan rujukan nalar-nalar publik selanjutnya andaikata kemajemukan Indonesia tetap ingin terjaga.

Tapi wabah corona yang terjadi sekarang ini seperti menyingkapkan aspirasi lain yang sifatnya “masturbasif.” Dengan dalih-dalih agama, beberapa unsur masyarakat mencoba menentang kebijakan pemerintah terkait wabah yang beranjak dari Wuhan tersebut. Mereka selalu saja menyebarkan tafsir-tafsir keagamaan dan cara-cara beragama yang sifatnya, seandainya saya boleh menilai, “masturbasif” di mana dalam hal ini berarti tak hirau akan keselamatan orang lainnya. Atas nama Tuhan dan perintah-perintah agama yang ditafsirkan secara literal mereka seolah kebal terhadap himbauan yang kini sudah berwujud keputusan yang berkonsekuensi hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal, dalam tafsir keagamaan yang moderat, karena konteks tertentu ataupun kondisi darurat, hal-hal yang sifatnya keagamaan pun dapat berubah (Nilai Agama di Tengah Wabah Corona, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Sehingga, atas semua itu, orang patut bertanya di sini, untuk apa sebenarnya ke-ngeyel-an dan kenekatan yang sekilas tampak “agamis” tersebut?

Facebook Comments