Pola insurgensi ke terorisme merupakan strategi paling transparan dalam merobek NKRI yang tidak bisa kita anggap remeh. Narasi insurgensi disebar dalam bentuk hoax dan fitnah terhadap sistem/situasi pemerintahan yang sah. Pola ini, secara perlahan melahirkan yang namanya “civil distrust” hingga membuat rasa kebangsaan kita menjadi pudar.
Ketika masyarakat berada dalam perasaan penuh kebencian dan ingin memberontak. Maka, dari sinilah (nalar terorisme) diberikan sebagai pelampiasan. Dibungkus dengan legitimasi keagamaan seperti jihad/amaliah tegaknya negara Islam/khilafah.
Pola insurgensi ke terorisme kerap melahirkan tindakan-tindakan ekstrimisme tanpa pertimbangan akal sehat. Seperti meledakkan diri (bom bunuh diri). Hingga melakukan aksi teror yang menyasar aparat/umat agama lain. Maka, bagaimana cara mencegah insurgensi sebelum menjadi terorisme?
Strategi Pentahelix Memutus Sel Insurgensi Sebelum Menjadi Terorisme
Menjaga stabilitas kebangsaan dari para perusak-nya tidak bisa hanya dipasrahkan pada satu pihak saja. Kita harus bergerak secara kolektif, bersifat holistik dengan metode (pentahelix). Yaitu kerja-sama multi-pihak dalam memutus sel insurgensi sebelum menjadi terorisme.
Pertama, peran Pemerintah tentu dengan membangun beberapa kebijakan dan mekanisme imbauan yang sifatnya edukatif. Seperti mencerdaskan masyarakat agar tidak terjebak ke dalam narasi-narasi insurgensi di media sosial seperti hoax, provokasi atau-pun fitnah-fitnah.
Pengenalan terhadap ciri dan karakter narasi insurgensi yang tersebar di media sosial. Serta menjelaskan efek dan motif yang dibangun di balik narasi insurgensi itu. Sehingga, dengan peran pemerintah semacam ini, niscaya masyarakat tidak mudah terjebak ke dalam narasi-narasi insurgensi yang membuat dirinya menjadi perusak atas tanah airnya sendiri.
Kedua, peran Lembaga Keamanan. Sebagaimana, narasi insurgensi dalam motif kebencian, fitnah dan provokasi pemecah-belah bukan kebebasan dalam ber-demokrasi. Upaya peran lembaga keamanan perlu menindak tegas oknum-oknum yang menjadi aktor intelektual dalam meracuni cara berpikir masyarakat.
Memberantas kaum budhat provokator anti-pemerintahan merupakan satu tindakan yang sangat tepat sekali. Jadi, lembaga penegak keamanan seperti Densus 88 perlu kita dukung bersama untuk terus berkomitmen dalam mencegah sekaligus menangkap orang-orang yang menjadi dalam penyebar insurgensi lalu menjadi nalar terorisme itu.
Ketiga, peran Lembaga Pendidikan atau Akademisi. Lembaga pendidikan dan para akademisi sangatlah dibutuhkan. Upaya ini demi mencerdaskan masyarakat dan utamanya generasi bangsa. Secara paradigmatis, peran akademisi dapat memberi kontribusi secara pengetahuan akan bahaya pola insurgensi dan mengembangkan penelitian yang paradigmatis dalam memahami modus dan pola penyebaran insurgensi sebelum menjadi terorisme.
Keempat, peran masyarakat sipil. Masyarakat sipil memiliki peran yang sangat vital di dalam memutus sel insurgensi. Karena, sasaran paling dominan narasi insurgensi kerap menyasar masyarakat agar menjadi penuh kebencian dan gemar membangkang.
Jadi, peran masyarakat sipil adalah mencegah diri secara emosionalitas. Agar tidak mudah terjebak ke dalam narasi-narasi yang menjerumuskan dirinya ke dalam narasi-narasi yang bisa membuat dirinya emosi dan anti-pemerintahan. Cobalah untuk selalu teliti dan telusuri fakta yang sebenarnya sebelum menyimpulkan tanpa tahu yang sebenarnya. .
Kelima, peran pemuka Agama sangatlah penting. Utamanya dalam memberi wawasan-wawasan keagamaan dalam membangun semangat cinta negara. Membawa kesadaran umat tentang bagaimana hukumnya membangkang dan tidak taat pada pemerintah.
Paradigma peran pemuka agama yang semacam ini harus dibangun. Demi menanamkan kesadaran beragama umat yang cenderung semakin menumbuhkan rasa kebangsaan dan semangat kepedulian untuk berjuang demi kebaikan bangsa, bukan ingin menghancurkan tatanan bangsa dengan berbagai alasan apa-pun. Karena sel insurgensi berupaya mencuci pola-pikir masyarakat lalu begitu mudah diarahkan ke dalam jaringan kontaminasi terorisme.