Demokrasi dan kritik layaknya dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Keduanya manunggal dan saling mendukung. Di satu sisi, demokrasi membutuhkan kritik sebagai vitamin dan suplemen yang memastikan pemerintahan berjalan di atas jalur yang benar. Di sisi lain, kritik membutuhkan demokrasi sebagai ruang aktualisasi. Tanpa demokrasi, kritik akan membentur tembok kekuasaan yang tebal. Di zaman ketika demokrasi menjadi barang mahal, kritik harus dikemas sedemikian rupa agar tidak membuat kuping penguasa panas. Salah satunya ialah melalui humor.
Membincangkan humor kritis tidak sah tanpa menyebut kiprah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Semasa hidupnya, ia lihai mengemas kritik sosial-politik ke dalam humor cerdas, menyegarkan sekaligus tepat sasaran. Mengkritik melalui humor ini telah dipraktikkan Gus Dur sejak di era Orde Baru. Seperti kita tahu, Orde Baru merupakan rezim otoriter yang cenderung anti-kritik. Kanal dan saluran untuk menyampaikan aspirasi di muka publik pun dibatasi. Bagi Gus Dur itu semua bukan alasan untuk tidak melawan. Ia melawan kekuasaan ototitarian Suharto bukan dengan cara barbar; mencaci maki, mengerahkan massa atau playing victim. Alih-alih itu, Gus Dur memilih untuk melawan melalui humor.
Hairus Salim dalam esainya “Humor Gus Dur dalam Semangkok Soto Pak Soleh yang Menyenangkan dan Mengenyangkan” menyebutkan bahwa Gus Dur mampu menghadirkan humor yang kerap membuat lawan (politik) kehabisan akal untuk menyangkal. Dikisahkan, pada tahun 1990-an, Gus Dur rajin mengajak Megawati bersafari politik. Penguasa Orde Baru pun gerah, karena keduanya dianggap sebagai simbol oposisi. Letjend Syarwan Hamid, Kepala Katsospol ABRI kala itu, menyindir perilaku keduanya dengan ucapan “ada yang mencoba menjadi Qurazon Aquino dan Kardinal Jim Sin di negeri ini”. Sindiran itu tentu mengarah ke Gus Gur dan Megawati, lantaran seperti kita tahu, Qurazon dan Jim Sin merupakan dua tokoh oposisi terkenal di Filipina.
Megawati tersinggung atas pernyataan itu dan menuntut Syarwan ke pengadilan. Sebaliknya, Gus Dur ketika ditanya wartawan apakah akan mengikuti jejak Megawati dengan santai menjawab “Kalau Syarwan menganggap saya Kardinal Jim Sin dan Mega sebagai Qurazon Aquino, lantas siapa yang jadi Marcos-nya?”. Bagi yang paham konteks perpolitikan Filipina di era tahun 1990-an, tentu akan memahami ke mana kalimat Gus Dur itu mengarah. Itu adalah jawaban tercerdas sekaligus terlucu yang mematahkan sindiran Syarwan terkait manuver Gus Dur dan Megawati.
Demikian lah humor Gus Dur; tajam, tepat sasaran tapi jauh dari cacimaki dan nuansa kebencian apalagi kekerasan. Melawan melalui humor ialah jalan perjuangan yang dipilih Gus Dur secara elegan. Ironisnya, ketika era demokrasi yang diperjuangkan para pendahulu kini nisbi sudah tercapai, corak kritisisme elegan berbasis lawakan justru mengalami defisit yang memprihatinkan. Ketika ruang publik dibuka lebar dan kebebasan sipil ditegakkan, yang muncul ke permukaan ialah justru kritik yang menjurus pada kebencian, cacimaki, provokasi dan perpecahan. Sebagian masyarakat seolah kehilangan cara bagaimana menyampaikan kritik secara santun dan bermartabat.
Humor Sebagai Medium Kritik
Maraknya kritik berbalut kebencian dan fitnah itu bisa jadi merupakan ekses dari dinamika demokrasi. Bangsa Indonesia hari ini tengah berjalan di era transisi, dari otoritarianisme ke demokrasi. Maka, wajar jika terjadi berbagai turbulensi sosial-politik. Salah satunya mewuju pada fenomena maraknya kritik berbasis kebencian. Ibaratnya, kita saat ini seperti kuda yang baru saja lepas dari tali kekang dan diberikan kebebasan untuk melakukan apa saja. Meski demikian, patut diingat bahwa kritik yang bercorak destruktif akan berdampak negatif pada demokrasi dan bangsa secara keseluruhan. Di titik inilah, kita membutuhkan spirit Gus Dur yang memilih humor sebagai jalan perlawanan.
Di tengah situasi demokrasi yang belakangan kian keruh oleh kritik bernuansa kebencian dan perpecahan, membudayakan humor sebagai medium kritik bisa menjadi alternatif yang bisa dikembangkan. Sejarah membuktikan bahwa humor berperan penting dalam membangun iklim demokrasi yang sehat. Melalui humor, kritik bisa disampaikan tanpa harus merendahkan martabat pihak yang dikritik apalagi sampai menimbulkan perpecahan. Bahkan, pada titik tertentu kritik yang dibalut humor itu bisa menyegarkan perspektif masyarakat dalam melihat keadaan. Seperti kita lihat dalam fenomena stand-up comedy yang belakangan ini tengah populer di kalangan anak muda.
Stand-up comedy sebagai katakanlah genre sub-budaya populer baru di ranah industri lawakan telah menghadirkan perspektif dalam melihat dan mengomentari persoalan sosial-politik maupun keagamaan. Stand-up comedy memadukan antara sarkasme dan satire dalam sebuah monolog pendek atau panjang yang kerapkali secara lugas mengkritik pemerintah atau pihak tertentu, namun disampaikan dengan cara yang segar dan menyenangkan. Di panggung stand-up comedy, persoalan pelik seperti pelanggaran HAM, korupsi, intoleransi agama disajikan sebagai sebuah materi lawakan yang menyentil syaraf tertawa kita, sekaligus juga menyentuh alam bawah sadar kita.
Sebagai sebuah produk budaya, humor tentu tidak lahir dari ruang kosong, alih-alih muncul dari permenungan mendalam dan refleksi atas kondisi sekitar. Maka, para pelawak legendaris yang cerdas umumnya merupakan sosok yang jenaka di panggung, namun kritis dan reflektif dalam dunia nyata. Di bawah panggung, mereka melihat kondisi sekitar, mencatatnya, dan meramunya menjadi premis-premis yang segar, baru dan tentunya menggelitik. Kerapkali kita mengira bahwa para pelawak ialah sosok yang konyol, padahal sebenarnya mereka ialah manusia jenius, setidaknya dalam caranya memandang persoalan. Gaya pemikiran ala pelawak cerdas yang out of the box inilah yang hari-hari ini sangat kita butuhkan untuk meredam banjir ujaran kebencian yang diklaim sebagai kritik sosial-politik.
Membangun budaya kritis di tengah masyarakat ialah hal penting yang harus ditunaikan. Namun, jauh lebih penting dari itu ialah bagaimana membudayakan kritisisme yang jauh dari tendensi merendahkan, apalagi menghina dan menyerang sisi personal. Kita perlu menaikkan standar kualitas kita dalam menyampaikan kritik di muka publik. Kritik yang dibalut kebencian, provokasi dan perpecahan hanyalah produk budaya rendahan yang seharusnya sudah ditinggalkan oleh masyarakat yang mengaku beradab. Sudah saatnya kita mencari alternatif lain dalam menyampaikan aspirasi dan kritik atas kondisi sosial-politik yang serba centang-perenang ini. Dalam konteks inilah, humor sebagai medium pemikiran kritis kiranya bisa menjadi jawaban alternatif yang layak diperhitungkan.