Deradikalisasi Mulai dari Dekonstruksi Paham Mayoritas vs Minoritas

Deradikalisasi Mulai dari Dekonstruksi Paham Mayoritas vs Minoritas

- in Narasi
57
0
Deradikalisasi Mulai dari Dekonstruksi Paham Mayoritas vs Minoritas

Istilah “mayoritas-minoritas” perlu didekonstruksi, apalagi dalam hal radikalisasi. Dua istilah itu bukan saja bermasalah secara sosially constructed, tetapi juga berdampak serius ketika dipahami secara banal oleh (calon) agen teroris.

Paham mayoritarianisme bisa menjangkiti siapa saja, apalagi dalam iklim demokrasi Indonesia. Mayoritarianisme seringkali menciptakan diskriminasi terhadap mereka yang dianggap minoritas. Logikanya kurang lebih begini: karena kelompok Nganu adalah mayoritas, maka kelompok Nganu-lah yang berhak menentukan peraturan di tempat ini. Pokoknya suka-suka Nganu. Ini tentu saja merupakan problem mendasar yang menyebabkan mayoritarianisme itu semakin membiak.

Dan, parahnya, mayoritarianisme semakin menguat ketika mendapat legitimasi aturan-aturan daerah (Perda) dan aturan turunan lainnya di tingkat lokal yang justru bersifat diskriminatif. Ada banyak sekali contoh kasus ini, terutama yang menyangkut perempuan, kelompok rentan, dan minoritas keagamaan. Kebijakan semacam ini tidak hanya membatasi kebebasan individu, tetapi juga memperkuat narasi bahwa kelompok mayoritas memiliki hak istimewa untuk mendikte cara hidup kelompok lain.

Kita vs Mereka

Mayoritarianisme, dalam konteks masyarakat demokratis seperti Indonesia, sering kali dipahami sebagai kekuasaan atau dominasi kelompok mayoritas atas kelompok-kelompok minoritas. Namun, pemahaman ini bukan hanya salah kaprah, tetapi juga sangat berbahaya, terutama ketika kita melihat dampaknya pada proses radikalisasi individu dan kelompok.

Mayoritarianisme, pada dasarnya, adalah bentuk eksklusivitas yang menyiratkan bahwa kelompok mayoritas memiliki hak istimewa untuk mendefinisikan aturan, norma, dan nilai-nilai sosial yang mengatur kehidupan bersama. Ini menciptakan ilusi bahwa keadilan sosial dapat dicapai dengan menyesuaikan diri dengan norma-norma mayoritas, mengabaikan keragaman yang ada.

Dalam kenyataannya, mayoritarianisme sering kali melahirkan ketidakadilan struktural, di mana kelompok minoritas menjadi sasaran diskriminasi, marginalisasi, dan kekerasan simbolis.

Proses radikalisasi sering kali berakar dari perasaan ketidakpuasan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh individu atau kelompok. Ketika mayoritarianisme menjadi landasan politik dan sosial, individu-individu dalam kelompok minoritas mungkin merasa bahwa identitas dan hak-hak mereka terus-menerus diabaikan atau direndahkan. Dalam situasi ini, narasi radikal yang menawarkan solusi instan dan identitas yang kuat menjadi sangat menarik.

Kelompok radikal sering kali mengeksploitasi ketegangan antara mayoritas dan minoritas untuk memobilisasi dukungan. Mereka menciptakan narasi “kita vs mereka” yang memperdalam polarisasi sosial dan memperkuat stereotip negatif terhadap kelompok yang dianggap berbeda. Dalam narasi ini, kelompok mayoritas digambarkan sebagai penjaga moral dan kebenaran, sementara kelompok minoritas dianggap sebagai ancaman yang harus dilawan.

Narasi banalitas di atas bukan hanya menguatkan sikap intoleran, tetapi juga dapat mendorong individu untuk melakukan tindakan kekerasan sebagai bentuk “perlawanan” terhadap ancaman yang dibayangkan.

(De)Radikalisasi Paham Mayoritas

Ketika mayoritarianisme terinternalisasi dalam struktur sosial, ia menciptakan lingkungan yang subur bagi radikalisasi. Ini karena struktur sosial yang didasarkan pada mayoritarianisme sering kali menormalisasi kekerasan simbolis dan fisik terhadap minoritas, membuat tindakan diskriminatif menjadi hal yang diterima dan bahkan dibenarkan. Dalam konteks ini, individu yang merasa dirugikan atau terpinggirkan mungkin melihat radikalisme sebagai satu-satunya jalan untuk mendapatkan pengakuan dan membela hak-hak mereka.

Sebagai contoh, kasus-kasus radikalisasi di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa banyak individu yang terlibat dalam aksi ekstrem berasal dari kelompok yang merasa atau menganggap dirinya terpinggirkan secara sosial, ekonomi, atau politik. Belum lagi jika hal ini ditambah dengan masalah misinformasi online, seperti yang terjadi di Inggris dan Irlandia Utara beberapa waktu lalu.

Penganut paham mayoritarianisme ini sering kali mengadopsi ideologi radikal sebagai alat untuk mengekspresikan rasa frustrasi mereka terhadap sistem (sosial) yang mereka anggap tidak adil. Dalam banyak kasus, radikalisasi ini dipercepat oleh narasi mayoritarianisme yang mendiskreditkan identitas mereka dan membuat mereka merasa tidak diinginkan dalam masyarakat.

Dengan demikian, mayoritarianisme tidak hanya merusak tatanan sosial, tetapi juga menciptakan kondisi yang memungkinkan berkembangnya ekstremisme dan radikalisme. Untuk melawan radikalisasi, penting bagi kita untuk mengakui dan menghormati keragaman sebagai kekuatan, bukan ancaman.

Kita perlu mempromosikan inklusivitas dan menghentikan praktik-praktik yang mendukung mayoritarianisme dalam bentuk apa pun. Pendidikan yang mendorong toleransi, penghargaan terhadap perbedaan, dan pemahaman yang mendalam tentang keragaman budaya adalah kunci untuk mencegah radikalisasi dan membangun masyarakat yang lebih adil dan damai.

Dalam konteks ini, kita juga perlu menantang narasi mayoritarianisme yang mengakar dalam media dan wacana publik. Media harus berhenti mempromosikan stereotip mayoritas-minoritas dan mulai menampilkan cerita-cerita yang lebih beragam dan inklusif. Wacana publik juga harus fokus pada bagaimana kita dapat membangun persatuan yang didasarkan pada pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman, bukan pada dominasi mayoritas atas minoritas.

Facebook Comments