“Perdamaian di rumah adalah perdamaian negara. Perdamaian negara adalah perdamaian dunia.”
(Mustafa Kemal Ataturk)
Setiap tanggal 21 September, berbagai negara memperingati hari perdamaian dunia. Peringatan yang dimulai tahun 1980-an ini, membawa asa berupa dunia yang damai tanpa kekerasan, peperangan, dan hal lain yang menyeleweng dari kemanusiaan. Kenyataan ini mestinya bisa kita jadikan refleksi, bahwa warga Indonesia adalah bagian dari warga Internasional, yang tentu memiliki tugas bersama, yakni mencipta perdamaian.
Mencipta perdamaian antar umat manusia semakin mendesak, mengingat banyaknya kasus intoleran yang pecah menjadi konflik terbuka. Di berbagai pelosok negeri negara-dunia, kita bisa menemukan banyak kasus kekerasan terjadi, hanya karena truth claim, klaim kebenaran. Hanya karena kelompok atau individu berbeda dengan keumuman, lalu dituduh sesat dan difatwa halal darahnya.
Satu hal yang mesti kita pahami adalah, perbedaan bukanlah musibah. Justru sebaliknya, perbedaan menempa kita untuk bisa berpikir dan bertindak dewasa. Menggempur egoisme dan individualisme tidak bakal terjadi tanpa adanya perbedaan. Karenanya, perbedaan yang selalu mewarnai kehidupan kita, mestinya disyukuri dan dijadikan batu pijakan menuju kedewasaan diri. Sehingga pada akhirnya, kita akan menjadi bangsa besar, yang merangkul semua golongan dengan pelukan yang penuh kehangatan.
Begitu juga dalam memberikan pendidikan kepada generasi penerus kita, dalam hal ini adalah anak-anak di usia dini. Namun, untuk mendidik mereka, kita sebagai manusia dewasa mesti membereskan persoalan kita dulu, kaitannya dengan toleransi. Kita mesti menjadi pribadi yang toleran, bukan hanya dalam teori, tapi juga praktik. Sehingga, dalam mewariskan konsep toleransi kepada generasi penerus bisa lebih kaffah dan meresap menjadi laku hidup mereka. Umur manusia boleh terbatas, tapi selama masih ada pewarisan tradisi (toleransi), maka kedamaian hidup manusia akan terjaga –atau minimal, kekerasan atas nama egoisme pribadi maupun kelompok berkurang.
Merujuk pada Undang-undang RI No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) Bab II Pasal 2, dikatakan bahwa tujuan pendidikan nasional, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Pada UU Sisdiknas tersebut, dikatakan bahwa generasi penerus Indonesia mesti merasa bertanggungjawab dalam mengelola masyarakat dan bangsa. Artinya, model pendidikan seperti apapun, tujuannya tak lain adalah untuk membentuk pribadi yang mampu dan mau berkontribusi dalam masyarakat dan bangsa. Menjaga nilai-nilai luhur warisan leluhur, dan terus berinovasi demi kemajuan Indonesia. Merawat kehidupan masyarakat-bangsa supaya tetap harmonis, sembari mengupayakan kesejahteraan mereka, misalnya dalam aspek ekonomi.
Bicara mengenai pendidikan, agaknya ingatan kolektif kita akan ‘menumbuk’ seorang tokoh Nasional bernama Ki Hajar Dewantara. Melalui lembaga pendidikannya yang bernama Taman Siswa, ia mengupayakan ide-ide pendidikan yang khas dan tidak terlepas dari budaya setempat –sebagai antitesis dari pendidikan ala Barat yang telah berhasil mencerabut pribumi dari akar budayanya.
Selain itu, Ki Hajar Dewantara juga melihat potensi lingkungan untuk dioptimalkan sebagai pusat pendidikan, agar anak didik bisa tumbuh-kembang menjadi insan kamil, pribadi paripurna. Sehingga, bisa membangun peradaban Indonesia ke arah yang lebih baik.
Ki Hajar Dewantara berkata, “Di dalam hidupnya anak-anak, ada tiga tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan yang amat penting baginya, yaitu alam keluarga, alam perguruan, dan alam pergerakan pemuda (masyarakat).”
Tripusat pendidikan paparan Ki Hajar Dewantara inilah yang mesti kita optimalkan fungsinya. Bahwa dalam mendidik anak, tidak cukup dengan hanya mengandalkan sekolah, yang sebenarnya lebih berfungsi pada olah pikir –intelektual. Dalam hidup, anak didik juga perlu memiliki bekal rasa dan karsa, sehingga hidupnya tidak gersang.
Tripusat pendidikan yang pertama adalah keluarga. Institusi keluarga mesti mampu memberikan teladan-teladan baik, sehingga akan mempengaruhi karakter anak. Karena, pembentukan karakter yang paling efektif adalah melalui teladan. Keluargalah lingkungan utama dan pertama yang bisa menyediakan keteladanan tiada henti, karena sebagian besar waktu yang dihabiskan anak adalah di rumah.
Adapun sekolah, adalah institusi pendidikan yang lebih mengarah pada pengembangan kemampuan anak dari aspek kognitif dan keterampilan. Kebutuhan pendidikan anak yang tidak bisa dipenuhi oleh orang tua, kemudian diakomodir oleh sekolah, sehingga anak memiliki pengetahuan dan wawasan luas. Dengan kata lain, sekolah ‘hanya’ mengasah kecerdasan akal anak didik.
Sementara masyarakat bertindak sebagai laboratorium anak didik, sehingga mereka menyadari bahwa tidak ada individu yang bisa hidup sendiri, melainkan butuh orang lain. Anak didik sadar, bahwa mereka adalah satu kesatuan dalam hidup bermasyarakat, sehingga egoisme merupakan sikap yang menyalahi kodrat sebagai manusia.
Melalui tripusat pendidikan inilah, kita bisa mendidik anak usia dini untuk berlaku toleran. Keluarga sebagai pusat pendidikan pertama dan utama bisa memberikan keteladanan yang berkaitan dengan toleransi; misal membudayakan dialog antar anggota keluarga untuk memecahkan persoalan. Sekolah mengenalkan konsep sederhana toleransi, sehingga anak didik memiliki pengetahuan mengenai urgensi penerimaan atas perbedaan. Sementara masyarakat, menyediakan lahan basah untuk aplikasi nilai-nilai etika-moral yang didapat anak didik dalam keluarga dan juga pengetahuan kognitif di sekolah. Dengan begitu, tidak hanya dalam lingkup kecil dan tataran teoritis saja anak itu bisa mengenal toleransi, melainkan bisa menggali pengalaman sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya di masyarakat.