Gagalnya Kontekstualisasi Jiwa Kepahlawanan oleh Generasi Muda

Gagalnya Kontekstualisasi Jiwa Kepahlawanan oleh Generasi Muda

- in Narasi
1408
0

“Tokoh sejarah dan pahlawan sejati harus kita temukan kembali di antara kaum rakyat biasa yang sehari-hari, yang barangkali kecil dalam harta maupun kuasa, namun besar dalam kesetiaannya demi kehidupan.”

― Y.B. Mangunwijaya, Impian dari Yogyakarta: Kumpulan Esai Masalah Pendidikan

Sudah barang tentu bahwa pahlawan dalam sejarah perjuangan Indonesia yang kita kenal kebanyakan adalah sosok yang mengangkat senjata, menikam musuh dan meneriakkan perlawanan. Namun pada hari ini, jika generasi muda ingin dikatakan sebagai manusia yang berjiwa pahlawan, apakah mereka harus berteriak, menikam dan mementung? Untuk menjadi yang dikenang, menjadi sosok yang benar dan besar adalah naluri manusia, serta menjadi pahlawan adalah hal yang telah ditanamkan sejak kecil. Namun yang menjadi masalah adalah ketika jiwa kepahlawanan yang ditanamkan lewat pendidikan sedari kecil belum bisa dikontekstualisasikan secara benar oleh generasi muda untuk bisa menghadapi tantangan zaman ini. Akhirnya, heroisme berubah menjadi kata kasar, teriakkan dan kekerasan untuk membela kelompoknya sendiri. Kepahlawanan belum menemukan maknanya pada era sekarang.

Setiap peristiwa besar akan memunculkan pahlawan besar. Tepat 71 tahun yang lalu, pada tanggal 10 november 1945 terjadi peristiwa besar dimana arek-arek suroboyo melakukan perlawaan terhadap tentara Inggris. Oleh karena itu tanggal 10 november diperingati sebagai hari pahlawan. Pada hari tersebut bangsa Indonesia mendapat ancaman dari kekuatan asing yang ingin menjajah kembali Indonesia. Segenap rakyat Indonesia dan generasi muda menjawabnya dengan perlawanan dan mengangkat senjata. Pada masa itu, dimana harga diri bangsa ditindas dengan bedil dan tank, jiwa kepahlawanan akan meresponnya dengan pengorbanan jiwa raga di dalam pertempuran.

Setiap kata punya maknanya sendiri di dalam zamannya. Pahwalan pada masa peperangan adalah ia yang berjuang mengangkat senjata. Ketika peperangan berakhir, makna pahlawan akan berkontenstasi menemukan maknanya yang sesuai dengan konteks zamannya.

Pahlawan yang tidak sesuai dengan konteks zamannya lebih tepat dikatakan sebagai “pahlawan kesiangan”. Pahlawan yang tidak tahu harus berbuat apa, yang tidak menyadari siapa musuhnya, dan tidak paham atas apa yang diperjuangkan. Sosok seperti itu gagal mengartikan jiwa kepahlawannan dalam konteks kehidupannya. Terjebak dalam definisi masa lalu yang menafsirkan pahlawan sebagai serdadu perang. Akhirnya, dengan pemahamannya yang usang tersebut, sosok seperti ini berhalusinasi bahwa masa sekarang adalah masa perang, masa dimana musuh harus dipentung dan ditikam.

Mereka menciptakan perang, kekerasan dan perpecahan seperti apa yang mereka imajinasikan. Heroisme yang meneror adalah heroisme yang muncul dari “gagal paham” dan aktualisasi kepahlawanan yang tidak mengindahkan konteks zaman.

Kontekstualisasi jiwa kepahlawanan yang relevan perlu ditanamkan dalam pendidikan di indonesia pada generasi muda. Sehingga memunculkan pahlawan-pahlawan baru yang bisa memartabatkan bangsanya. Pahlawan yang bisa memunculkan nasionalisme yang tengah terkikis oleh hedonisme dan primordialisme. Pahlawan yang bisa melawan gagasan dengan gagasan, melawan ide dengan ide, melawan inovasi dengan inovasi. Kita memerlukan jiwa kepahlawanan yang berani, tidak takut mati, dan bergelora. Namun bukan berani dalam meneror dan mementung sesamanya. Kita perlu generasi muda dengan jiwa pahlawan yang berani melawan korupsi, tidak takut mati melawan korporasi, dan bergelora dalam menebar cinta.

Facebook Comments