Gusti Mangkunegara VII Mendidik Remaja

Gusti Mangkunegara VII Mendidik Remaja

- in Narasi
519
0
Gusti Mangkunegara VII Mendidik Remaja

Semasa menahkodai Kota Surakarta, Pak Jokowi memakai (baca: meniru) pola kerja yang diterapkan Gusti Mangkunegara VII (1916-1944), yakni mider praja. Saban Jumat, ia bersepeda bersama jajarannya dan bersemuka dengan warga kampung dalam program mider praja. Kenyataannya memang bagus, mantan juragan mebel tersebut dekat dengan masyarakat akar rumput dan mengetahui segudang persoalan di tingkat akar rumput.

Dewasa ini perlu dihidangkan sepucuk kisah Mangkunegara VII yang menarik untuk dijadikan inspirasi Presiden Jokowi bersama menteri pendidikan dalam membangun kualitas manusia Indonesia, yaitu perhatian besar terhadap kaum remaja. Kala itu, pembesar istana Mangkunegaran itu sadar betul bahwa lapisan remaja inilah yang menjadi tulang punggung negara di kemudian hari. Di pundak merekalah, masa depan bangsa (Jawa) ditentukan. Maka, mau tak mau kudu dipersiapkan sedari dini.

Tahun 1916, dibentuk Javaansche Padvinders Organisatie (JPO) alias perkumpulan kepanduan Jawa yang bikin pemerintah kolonial Belanda terkejut. Mencuat gagasan bahwa di luar rumah dan sekolah, remaja dibebaskan bermain dan berinteraksi. Tersurat sebuah artikel dalam majalah terbitan Praja Mangkunegaran bernama Kepandoean edisi Februari 1936. Dijelaskan bahwa tempat pendidikan dan arena bermain bocah selain di rumah dan sekolah, juga di luar sekolah, yakni berorganisasi. Periode itu, ternyata kesadaran akan perubahan masa mulai membenak di lingkungan budaya Jawa yang cenderung konservatif. Barisan remaja di Jawa diajak menyongsong zaman baru dengan segala pengaruhnya. Serta, situasi demikian ini perlu dimengerti oleh seluruh orangtua untuk mengikuti laju perubahan. Redaksi majalah meniup peluit peringatan: bagi siapa yang emoh menatap lebih jauh zaman yang akan datang, bakal terseok-seok dan mengunduh penyesalan di kemudian hari pada anaknya, karena boleh dikatakan dipermalukan.

Baca Juga :Kaum Muda, Radikalisme dan Dekonstruksi Pendidikan Agama

Dalam JPO, para remaja punya pengalaman dan pengenalan bersama tentang lingkungan dan kawan-kawannya. Dengan kepolosannya, mereka bakal menemukan sendiri jalan mencintai alam dan memahami karakter antarsesama. Mereka di sini dikenalkan aspek kesosialan, kebersamaan, kegotongroyongan, di samping dilatih kepekaan sosial. Mereka juga kaya secara batin lantaran menikmati nilai-nilai kemanusiaan beserta kebahagiaan dan kegembiraannya.

Umumnya bermain tapi melalui organisasi ini mereka diajari pula aneka dolanan. Begini salah satu alur permainannya: anak ditata berbaris sesuai urut kacang dua baris, jaraknya sekitar 10-15 meter. Bila pemimpin sudah meniup peluit, anak-anak yang ada di belakang engklek melewati depan barisannya, berkeliling melalui belakang barisan, kembali lagi ke tempatnya masing-masing, nyablek (memukul pelan) anak di depannya di barisnya sendiri. Yang dipukul lantas engklek, mengelilingi barisan seperti anak nomor 1 tadi. Yang lebih duluan habis, dialah yang menang.

Dikupas lebih jauh, permainan Staartformatie ini bersifat kompetitif, namun tidak ada hukuman bagi yang kalah. Atas dasar itu, maka para pemainnya pun tidak memiliki rasa takut bila kalah. Gerak engklek ini mengandung unsur-unsur melatih ketrampilan dan ketangkasan seperti olahraga pada umumnya. Selain itu, permainan ini juga bermanfaat untuk memupuk persahabatan antatra sesama anak-anak.

Bermain sekaligus menghargai dan memanfaatkan waktu tidak lupa diajarkan kepada para remaja dengan tajuk “Belajar Jam”. Begini aturan mainnya: seluruh anggota meletakkan topi, kacu leher, isi saku, blouse dan lainnya di suatu tempat, lantas kembali ke tempatnya semula. Pemimpin meniup peluit. Semua ke tempat pakaian masing-masing dan dipakainya lagi dengan tutup mulut (tidak bicara). Siapa yang mengeluarkan suara, tidak boleh ikut lagi. Anggota yang selesai dan beres pakaiannya lebih dulu, itu yang menang. Supaya lebih gayeng, bisa dikerjakan dengan mata ditutup.

Fakta menarik lainnya, hati anak-anak turut dilembutkan dengan wahana bahasa. Mereka diajari permainan rima dan irama dalam sebuah pantun. Pantun memuat keindahan, perpaduan yang harmonis antara penggambaran realitas yang begitu dekat dengan anak dan bunyinya. Saya kutipkan pantun yang terdokumentasi dalam majalah Kepandoean Agustus 1936: Sinar biroe boenga selasih/ Tjahaja merah boenga machota/ Pandoe J.P.O. itu kekasih/ Kepada Toehan semata-mata// Menghela kereta pergi ke kota/ Koedanja mati di tepi kali/ Pada bangsa haroeslah tjinta/ Seisi alam sama sekali// Disini radja disitoe radja/ Anak pandoe bermain kitiran/ Hari Minggoe ingatlah sadja/ Sitoe tempat membaikkan fikiran.

Penggal cerita ini tepat diangkat mengingatkan Presiden Jokowi begitu berani menunjuk Menteri Pendidikan yang relatif muda guna menyiapkan kualitas remaja demi merengkuh masa depan bangsa Indonesia yang cerah. Masih segar dalam ingatan, insiden anak-anak STM ikut demonstrasi dan sempat bentrok dengan aparat keamanan. Harus ada perhatian terhadap mental dan karakter remaja, terlebih mereka hidup di era distrupsi. Tiada salahnya berkaca pada masa lalu bahwa barisan remaja telah memperoleh perhatian dari leluhur untuk dipupuk dan disiram hatinya dengan kelembutan dan keriangan, juga keberpihakan terhadap rakyat kecil.

Facebook Comments