Homo Pancasilais: Sikap Preventif Terhadap Radikalisme

Homo Pancasilais: Sikap Preventif Terhadap Radikalisme

- in Narasi
734
0
Homo Pancasilais: Sikap Preventif Terhadap Radikalisme

Radikalisme menjadi momok bagi bangsa Indonesia. Berbagai link tentang radikalisme dewasa ini sering mendominasi berita harian di media massa. Media online seperti Jawapos.com misalnya, sejak 14 Juni 2020, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan jika terjadi pasang surut kasus anak yang menjadi korban dokrinisasi terhadap radikalisme dan terorisme. Mereka cenderung menggunakan pola-pola berbasis cyber. Selain itu, Nahar (Deputi Perlindungan Anak Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) menyatakan bahwa Youtobe sebagai media yang lebih bebas dibandingkan televisi juga tidak menyaring berbagai konten yang berbau radikal. Youtobe sebagai media yang banyak digunakan anak-anak karena cukup menarik dengan audio dan visualnya. Ia menambahkan bahwa anak di usia 5-12 cukup riskan untuk mendapatkan informasi tanpa terlebih dahulu mengkrosceknya.

Bahkan anak-anak tidak hanya menikmatiya saja, mereka juga ikut-ikutan dalam membuat konten Youtobe yang berisi ajakan untuk menerapkan sistem Islami seperti yang terjadi di masa Rasulullah. (lihat pada channel Youtobe Agama Akal TV). Bayangkan saja apabila mereka sebagai masa depan bangsa malah berpotensi untuk mengikis bangsanya sendiri. Jika ini terjadi secara terus-menerus, maka dalam bayangan saya, Bonus Demografi yang akan di alami Indonesia di tahun 2030-2040 malah melahirkan manusia-manusia yang radikal. Anak-anak usia produktif (15-64 tahun) dapat menyebarkan konten-konten yang berbau radikalisme dengan bebas bukan malah menjadi generasi penerus yang menciptakkan ketahanan negara.

Idealnya, manusia yang hidup di Indonesia tentu harus hidup sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan yang sudah lama di bangun oleh masyarakatnya. Bukan malah menyebarkan konten-konten yang jauh dari nuansa keindonesiaan. Keindonesiaan dimaksudkan tetap berpegang teguh pada dasar dan ideologi bangsa Indonesia, menyelami dan menghayati berbagai konteks kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Menghargai budaya, agama, suku dan lain sebagainya. Fenomena tindak radikalisme bahkan dalam ruang lingkup media sosial memang tidak melambangkan manusia sebagai makhluk yang berpedoman dengan nilai-nilai yang tercantum dalam pancasila. Hal ini menentang sila-sila yang ada dalam pancasila.

Kita tidak bisa menyalahkan manusia yang berideologi sepenuhnya. Pada dasarnya manusia tidak terlepas dari ideologi. Untuk mempertahankan diri dengan derasnya arus globalisasi, manusia membutuhkan ideologi agar tidak mudah terombang-ambing. Radikalisme yang juga menjadi salah satu ideologi yang dapat mengancam ideologi pancasila. Bahkan anak-anak sudah dituntun untuk menjadi homo radikalis. Homo radikalis ialah mereka yang memegang ajaran Islam radikal.

Manusia sebagai Homo Pancasilais

Kecenderungan manusia adalah mendekatkan diri kepada Tuhannya dengan meganut satu agama tertentu. Agama, menjadi sarana untuk menenagkan diri dari problema hidup yang cukup pelik. Alih-alih untuk menenagkan diri, tidak sedikit dari kalangan mereka yang malah menjadi sangat ektrimis terhadap agama mereka sehingga malah menjadi radikalis.

Baca Juga : Khilafahisme dan Manusia Tuna Budi di Tengah Pandemi

Manusia, sejak asal usul penciptaannya, is dinobatkan sebagai khalifah di bumi. Sesuai dengan surat al-Baqarah ayat 30-33, Allah berfirman, “Aku hendak menjadikanmu khalifah di Bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan daeah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu”. Lalu Tuhan menjawab tuduhan mereka dengan berkata, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Menurut Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Misbah, ia mendefinisikan khalifah. khalifah berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Dengan itu, khalifah diartikan dalam ard yang menggantikan makhluk lain dalam menghuni bumi. (lihat dalam Quraish Shihab: Tafsir Al-Misbah Vol I, 173). Abu Bakar menjadi khalifah sebagai pengganti nabi, Umar menjadi khalifah pengganti Abu Bakar, Usman sebagai pengganti Umar, Ali menggantikan Usman, dan seterusnya. Hingga dalam konteks keindonesiaan “khalifah fil ard” diartikan sebagai manusia yang nantinya akan menggantikan manusia lain untuk menghuni bumi yakni para pendiri dan leluhur negara Republik Indonesia yang sudah lenyap dari bumi.

Mereka dapat diartikan sebagai manusia-manusia yang gugur dalam membela negara. Seperti, presiden (the fauding father) yang telah gugur memperjuangkan keutuhan negara NKRI. Sukarno sebagai khalifah di bumi Indonesia digantikan dengan Suharto, Suharto digantikan oleh Habibi, dan seterusnya hingga sekarang. Pendek kata, kita (sebagai manusia) menjadi pengganti para leluhur. Sejalan dengan itu, Franz Magnis Suseno juga berkata, “Seluruh bangsa Indonesia harus bisa mengambil teladan dari pahlawan untuk menjaga RI yang telah diperjuangkan dulu. Apalagi dengan adanya ancaman radikalisme dan terorisme yang nyata-nyata ingin memecah belah NKRI”.

Para pendiri bangsa yang lebih dahulu menjadi khalifah di bumi Indonesia ini, sudah barang tentu mereka menjadi homo pancasilais. Homo pacasilais diambil dari Bahasa Latin, Homo berarti manusia, dan pancasilais saya maknai sendiri dengan kepancasilaan. Jadi, homo pancasilais adalah manusia dengan unsur kepancasilaan. Sukarno, sebagai salah satu khalifah sekaligus salah satu anggota panitia yang memberikan amunisi gagasan tentang penamaan Pancasiladan ikut serta dalam perumusan sila-sila yang terkandung dalam pancasila,sudah barang tentu memiliki sikap yang mencerminkan seorang pancasilais. Berkaitan dengan wacana radikalisme, ia mengkritik umat Islam anti pada pemikiran progresif-moderat dengan menamakannya dengan “Islam Sontoloyo”. Secara tidak langsung, kritik Bung Karno sudah membumikan nilai-nilai pancasila.

Kedua, Gusdur. Sebagai sosok khalifah di muka bumi yang menggantikan Habibi, juga telah mengemban tugasnya sebagai khalifah di bumi Indonesia. Gerakan akar rumput ala Gus Dur dengan misi kemanusiaannya adalah salah satu bentuk “deradikalisasi”. Ia mampu menggiring, paling tidak mayoritas agama Islam (NU) dengan gaya berfikir yang bernuansa kemanusiaan dengan tidak membedakan ras, agama, kultur, dalam kehidupan bersosial dalam konteks kemanusiaan pada umumnya dan khususnya di bumi Indonesia. Jargonnya yang terkenal, “tidak penting agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik buat semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Singkatnya, sebagai khalifah di bumi, Gus Dur telah menerapkan sila-sila pancasila terutama sila pertama, kedua, dan kelima serta memberikan pondasi tentang sikap toleransi. Melihat berbagai teladan khalifah di atas, maka menjadi homo pancasilais menjadi solusi alternatif ditengah gencarnya isu-isu tentang radikalisme. Maka, menjadi homo pancasilais harus ditekankan sejak dini. Penerapan nilai-nilai pancasila kepada anak-anak dapat menggiring mental mereka untuk tetap pro terhadap pancasila. Anak-anak dapat belajar dari kedua khalifah di bumi Indonesia tersebut. Lalu bagaimana caranya? Sikap-sikap pancasilais dan sejarah para khalifah di bumi hanya terdapat dalam buku-buku sejarah. Suguhan buku bacaan tentang para khalifah di bumi Indonesia, dapat menggiring anak-anak untuk memiliki sikap seperti mereka. Namun, di era sekarang dengan sedikitnya minat baca anak-anak terhadap buku-buku, maka kajian sejarah para pendiri bangsa sudah seharusnya dihadirkan dalam konten-konten Youtobe dengan media audio visual agar dapat dinikmati anak-anak.

Facebook Comments