Perdamaian merupakan fitrah dari agama Islam. Dan kekerasan adalah rasa yang tercipta melalui ego manusia. Jika kita menjaga perdamaian, sama hal menjaga nama baik Islam itu sendiri. Kini, fitrah yang suci itu dinodai beberapa orang yang mengatasnamakan agama Islam itu sendiri.
Banyak kasus yang terekam dalam sejarah bagaimana tindakan mereka sebenarnya merugikan Islam, tetapi dengan mengatasnamakan Islam dan kesucian itu sendiri. Yang teranyar dalam kasus pembubaran kebaktian teman-teman Nasrani di Bandung beberapa waktu yang lalu. Jika menelisik lebih jauh, banyak sejarah dan perkembangan Islam dilahirkan dalam keadaan damai bagai siapapun, tanpa mengenal agama, suku maupun ras.
Semasa Rasulullah, sewaktu Beliau tinggal di Yathrib tidak memikirkan bagaimana membangun kerajaan Islam, harta-benda atau perniagaan. Siang malam Rasulullah memikirkan bagaimana memberikan ketenangan jiwa bagi mereka yang menganut ajarannya dengan jaminan kebebasan bagi mereka dalam menganut kepercayaan agama masing-masing.
Baik bagi seorang Muslim, seorang Yahudi, seorang Kristen bahkan agama Majusi, masing-masing mempunyai kebebasan yang sama dalam menganut kepercayaan. Kebebasan yang sama menyatakan pendapat dan kebebasan yang sama pula menjalankan proganda agama. Hanya kebebasanlah yang akan menjamin dunia ini mencapai kebenaran dan kemajuan dalam menunjuk kesatuan yang integral dan terhormat (Muhammad Husen Haikal, 2001).
Setiap tindakan yang menentang kebebasan berarti memperkuat kebatilan, berarti menyebarkan kegelapan yang akhirnya mengikis habis percikan cahaya yang berkedip dalam hati nurani manusia. Percikan cahaya ini yang akan menghubungkan hati nurani manusia dengan alam semesta ini, dari awal yang azali sampai pada akhirnya yang abadi, suatu hubungan yang menjalin rasa kasih sayang dan persatuan, bukan rasa kebencian dan kehancuran.
Tindakan menjunjung kebebasan dalam keyakinan, juga tertulis dalam naskah perjanjian dengan cap tangan Rasulullah, Berikut bunyinya yang secara utuh dari Dr. Muqtader Khan, Direktur Program Studi Islam di University of Delaware:
“Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, yang berfungsi sebagai perjanjian dengan mereka yang memeluk agama Kristen, di sini dan di manapun mereka berada, kami bersama mereka. Bahwasanya aku, para pembantuku, dan para pengikutku sungguh membela mereka, karena orang Kristen juga rakyatku; dan demi Allah, aku akan menentang apa pun yang tidak menyenangkan mereka. Tidak boleh ada paksa atas mereka. Tidak boleh ada hakim Kristen yang dicopot dari jabatannya, demikian juga pendeta dan biaranya. Tidak boleh ada seorang pun yang menghancurkan rumah ibadah mereka, merusaknya, atau memindahkan apa pun darinya ke rumah kaum muslim.
Bila ada yang melakukan hal-hal tersebut, maka ia melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya. Bahwasanya sesungguhnya mereka adalah sekutuku dan mereka aku jamin untuk tidak mengalami yang tidak mereka sukai. Tidak boleh ada yang memaksa mereka pergi atau mewajibkan mereka berperang. Muslimlah yang harus berperang untuk mereka. Bila seorang perempuan Kristen menikahi lelaki muslim, pernikahan itu harus dilakukan atas persetujuannya. Ia tak boleh dilarang untuk mengunjungi gereja untuk berdoa. Gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang untuk memperbaiki gereja mereka dan tidak boleh pula ditolak haknya atas perjanjian ini. Tidak boleh ada umat muslim yang melanggar perjanjian ini hingga hari penghabisan (kiamat).”
Sayang, naskah perjanjian yang asli sudah tidak ada lagi. Ini bagian yang sering dijadikan pertanyaan oleh banyak kalangan. Namun, salinannya masih tersimpan di Biara St. Chaterine, yang telah diverifikasi oleh banyak cendekiawan muslim dan non muslim untuk meneliti keotentikannya. Di antara peneliti itu adalah Aziz Suryal Atiya dengan bukuThe Monastery of St. Catherine and the Mount Sinai Expedition(1952), juga J. Hobbs dengan bukuMount Sinai(1995), dan K.A. Manaphis dengan bukuSinai: Treasures of the Monastery of Saint Catherine(1990), dan tentu Dr. Muqtader Khan sendiri (Edi Mulyono: 2013).
Dari beberapa rangkuman sejarah ini, membuktikan bahwa Rasulullah secara tegas bahwa perbedaan dan keberagaman tidak menyurutkan untuk saling menghargai, menghormati bahkan menjaga satu sama lain. Tindakan yang menganggu orang, baik sesama muslim, berbeda agama dan sejenis, merupakan tindakan yang melanggar perjuangan Rasulullah dalam menyebarkan Islam yang suci ini.