Pada 16 Oktober 2020 kemarin, tepatnya di Kota Conflans-Sainte-Horone, dekat dengan Barat Laut Paris Pusat sekitar 30 km jaraknya. Kelompok fundamentalisme Islam memenggal kepala seorang guru di Prancis yang bernama Samuel Paty. Alasan mereka (kaum fundamentalisme Islam) memenggal seorang guru tersebut, karena dianggap “melecehkan” umat Islam dengan menghidangkan pertunjukan kartun Nabi Muhammad SAW kepada murid-muridnya.
Tentu yang menjadi persoalan kita, bagaimana tindakan guru yang dibunuh tersebut bagi Presiden Prancis Emmanuel Macron, dianggap sebagai “kebebasan ekspresi”. Hal ini menjadi dasar alasan penguat untuk membela guru tersebut dan tidak akan berhenti di dalam melakukan cetakan ulang mengenai caricature Nabi Muhammad SAW yang diterbitkan oleh Majalah Satire Charlie Hebdo (CH) yang ada di Prancis tersebut.
Di satu sisi, memang sangatlah mutlak dalam Islam tidak membenarkan pembunuhan dengan alasan apa-pun. Kita wajib mengecam-nya. Akan tetapi yang menjadi persoalan kita adalah ketika Presiden Emmanuel Macron menyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan ekspresi kebebasan yang tidak perlu disesali. Ini akan menjadi sumbu api “provokasi” kepada umat Islam di seluruh dunia. Karena telah membangun semacam “penghinaan” terhadap Islam dan Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai “kebebasan ekspresi”.
Padahal, kebebasan ekspresi menurut Albert Camus adalah “Rasa tanggung jawab” baik secara moral, sosial dan kemanusiaan. Tentu “dilandasi oleh pengetahuan yang sangat objektif”. Artinya, sikap kebebasan tersebut membangun dasar kebenaran yang tidak hanya berkutik pada satu pihak. Dijadikan alat untuk membenci dan menyinggung pihak lain yang akan berdampak kepada perpecahan dan konflik.
Maka cukup relevan kiranya jika kita mengingat kembali ungkapan Plato dalam bukunya yang berjudul “Republik”. Bahwa“Kebebasan sejatinya memang merupakan (kebajikan) demokrasi yang terbaik. Tetapi demokrasi adalah keadaan yang hanya cocok untuk manusia yang sehat ruhaninya”.
Ungkapan ini memang tampak relevan sekali di tengah kondisi realitas kita yang sedang hidup di tengah “kebebasan ekspresi” yang membuat seseorang tampak liar, mudah menyinggung perasaan orang lain, penuh ujaran kebencian dan provokasi pemecah-belah. Semua sama-sama berlindung ke dalam wadah “kebebasan ekspresi”.
Ini kebebasan yang sangat patologis dan membangun semacam resonansi sosial yang membentangkan sentiment. Maka sangatlah benar jika kebebasan ekspresi akan lebih cocok dengan manusia yang bersih ruhaninya. Agar tiap-tiap orang memanfaatkan kebebasan sebagai platform untuk menguasai diri, berperan aktif menciptakan kebaikan dan menguasai diri secara ruhani meninggalkan keburukan secara mandiri.
Tentu kebebasan ekspresi di era digital seperti maraknya hoax, provokasi, sentiment sosial dan bahkan ujaran kebencian, lalu menamakan sebagai kebebasan ekspresi. Maka kondisi yang semacam ini saya kira mengarahkan diri untuk mengarungi kebebasan ekspresi ke dalam kesombongan dan keliaran untuk melakukan apa-pun sesuai dengan hasrat dan keinginan sendiri. Karena sebagaimana menurut Plato, bahwa kebebasan ekspresi hanya cocok untuk manusia yang memiliki kualitas ruhani yang baik.
Artinya ada counter diri dan pengikat perilaku di tengah kebebasan tersebut agar tidak terarah kepada tindakan yang merugikan, menyakiti orang lain dan berbuat perpecahan. Karena benteng ruhani dalam diri manusia akan selalu “memberikan baju” kebaikan untuk menjaga ekspresi kebebasan tersebut agar tetap berada dalam kemanfaatan, kebaikan dan maslahah bagi banyak umat manusia.
Maka jihad literasi yang paling terpenting di dunia digital saat ini adalah membentengi diri dengan ruhani yang sempurna. Dengan merekonstruksi nilai keruhanian diri ke dalam “kebebasan ekspresi” di era digital saat ini. Agar terbentuknya fungsi kebebasan tersebut tidak dijadikan sandaran untuk melakukan sentiment, provokasi dan menyinggung pihak lain. Sehingga terbentuknya perpecahan dan pertikaian antar kelompok satu dengan kelompok lainnya.
Karena sebagaimana menurut Albert Camus, bahwa kebebasan haruslah berdasarkan penguasaan diri untuk bertanggung jawab dan didasari oleh pengetahuan yang objektif. Tentu kembali ke Plato, bahwa hanya manusia yang memiliki ruhani sehat akan merealisasikan pengetahuan yang objektif dan penuh pertanggungjawaban. Baik secara moral, sosial dan kemanusiaan.