Agama memiliki banyak wajah. Satu sisi, ia dianggap sebagai sumber harmoni. Di sisi lain, ia sering juga dituduh sebagai biang permusuhan, peperangan, dan sumber konflik. Sebagian kalangan, ada yang bersikap apologis, agama tak pernah salah, yang salah adalah pemeluk agama, kerana “mungkin” salah memahami agama. Ada yang bersikap kritis, bahwa boleh jadi dalam agama juga pada pemeluk agama sama-sama ada yang salah.
Terlepas dari semua itu. Agama memang sesuatu yang kompleks untuk dikaji. Faktanya, baik dalam tingkat lokal, nasional, maupun global, agama sering –sengaja atau tidak – dibawa-bawa untuk melegitimasi kepentingan manusia, yang menimbulkan bencana, berupa permusuhan dan peperangan.
Dalam konteks inilah, kita patut bertanya, kapan agama menjadi bencana? Adalah Charles Kimball dalam bukunya Whe Religion become Evil, mencoba memberikan jawaban terhadap pertanyaan mendasar ini.
Diagnosa Kimball menunjukkan, setidaknya ada lima yang menyebabkan agama menjadi sumber konflik, permusuhan, dan peperangan. Pertama, adanya truth claim (klaim kebenaran). Ketika agama dan pemeluk agama mendaku satu-satunya pemilik kebenaran. Kedua, adanya ketaatan yang membabi-buta kepada pemimpin keagamaan.
Ketiga, agama mulai gandrung merindukan zaman ideal, lalu bertekad merealisasikan zaman tersebut ke dalam zaman sekarang.Keempat, agama membenarkan dan membiarkan terjadinya tujuan yang membenarkan segala cara.Kelima, adanya seruan perang suci demi mencapai tujuan.
Ketika salah satu kelima di atas terjadi. Agama tidak lagi berfungsi menjadi petunjuk kedamaian bagi manusia, melainkan menjadi sumber bencana, alat pemecah belah bagi persatuan manusia.
Keberagamaan di Indonesia
Jika kita memakai diagnosa Kimball itu untuk melihat agama dan keberagamaan di Indonesia, kita akan mendapati –kalau meminjam istilah ilmu kodektoran –hasil yang positif. Positif di sini maksudnya, apa yang diungkapkan Kimball di atas, terkonfismasi dalam praktek beragama di Indonesia.
Kita lihat saja, bagaimana truth claim (klaim kebenaran) berseliweran di ruang publik. Agama kamilah yang paling benar, yang lain salah, sesat, dan masuk neraka. Agama dirinya dan kelompoknya dijadikan sebagai satu-satunya standar kebenaran.
Bahkan bukan sekadar dijadikan standar kebenaran, agama diri/kelompoknya dipaksakan untuk dijadikan sebagai ukuran kebenaran. Terkadang pemaksaan itu dilakukan dengan cara-cara kekerasan.
Fenomena yang muncul juga adalah pendewaan yang luar biasa terhadap tokoh agama. Dengan dalih bahwa tokoh agama itu keturunan Nabi, seolah-olah ia bersifat ma’sum,tidak berdosa, dan kebal hukum.
Tokoh agama bak Tuhan. Dipuja sedemikian rupa. Tidak boleh langsung menyebut namanya. Harus ada embel-embel “Habib” dan “Imam Besar.” Jika ada yang langsung menyebut namanya, dituduh tak berakhlak, bahkan sering pelakunya dicaci dan dihina.
Pemujaan kepada tokoh agama yang kebablasan sering menghilangkan akal sehat. Apa pun yang keluar dari tokoh itu, meski itu kata-kata kotor, kasar, dan fitnah, selalu ditelan mentah-mentah dan diyakini sebagai kebenaran mutlak.
Gerakan merindukan masa lalu pun bertumbuhan di Indonesia. Dengan slogan kembali ke masa keemasan Islam, banyak anak muda yang tergoda. Ide Khilafah dilemparkan ke publik. Tidak sedikit yang terhipnotis, apalagi cara pemasaran khilafah itu sangat milenial sekali.
Masa lalu dijadikan tujuan bukan sebagai sumber pembelajaran. Masa lalu dijadikan sebagai ukuran kebenaran. Akibatnya sering terjadi paradoks. Satu sisi ingin menggapai kemajuan, tapi otak, pemikiran, dan paradigma yang dipakai, masih tinggal ribuan tahun lalu di belakang.
Tidak sedikit gerakan keagamaan di Indonesia demi tercapainya tujuan kelomponya menghalallkan segala cara meski itu dengan cara-cara kekerasan. Aksi pengebomam, teror, provokasi, dan persekusi kepada pihak yang dianggap sebagai musuh adalah wujud nyata mengahalalkan segala cara.
Pada akhirnya, demi misi suci kelompok, demi menyenangkan tokoh agama yang diidolakan, dan demi menegakkan kejayaan masa lalu, perang suci dalam berbagai bentuknya, mulai dari menyebar hoax, ujaran kebencian, aksi teror, semuanya atas nama agama –sering dilakukan.
Refleksi Keberagamaan Kita
Kondisi di atas perlu kita refleksikan kembali. Refleksi di sini adalah gerak ganda, yakni kritis ke dalam (agama dan pemeluk agama) dan kritis ke luar (kondisi sosial-ekonomi-politik saat ini). Dengan dua gerak inilah, kita bisa –setidaknya meminimalisir –agama sbagai sumber konflik dan bencana.
Gerak ke dalam di sini dilakukan dengan cara kita mengakui bahwa dalam beragama memang telah terjadi penyimpangan. Agama sering dibawa-bawa sebagai alat legitemasi. Agama dijadikan alat untuk membunuh. Semua itu harus kita akui, tak perlu bersifat apologis dan mencari kambing hitam.
Kesalahan kita selama ini adalah kita menutup-nutupi kondisi riil ini. Seolah-olah agama yang kita anut bersih dari semua tuduhan itu. Kita akui untuk kemudian kita perbaiki.
Cara memperbaikinya dengan menampilkan wajah agama yang lebih teduh, damai, dan akomodatif. Nilai-nilai agama yang bersifat universal dijadikan sebagai titik temu dalam membangun persaudaraan dan persatuan.
Gerakan nyata dengan program radikalisasi serta menyodorkan moderasi agama ke khalayak umum, harus menjadi program utama semua lini. Jangan hanya dikerjakan oleh lembaga tertentu, dan seolah-olah itu sudah cukup.
Geraka ke luar di sini dengan cara membenahi kelemahan umat beragama pade level ekonomi, politik, pendidikan, serta pembangunannya. Ummat beragama harus saling memberdayakan satu sama lain. kerja sama dalam bidang ekonomi dan pendidikan perlu dilakukan. Selama ini, kita hanya sibuk dengan agama kita masing-masing. Kerjasama ke luar, dengan kelompok dan agama lain –sangat penting untuk dilakukan.Biar agama tidak menjadi sumber bencana, kerjasama semua pihak adalah kuncinya.