Kemerdekaan yang Tak Mengasingkan

Kemerdekaan yang Tak Mengasingkan

- in Narasi
599
0

Beberapa hari yang lalu saya iseng mengamati sayuran liar yang tumbuh di halaman belakang rumah. Sebermulanya tak ada kesengajaan untuk menanamnya dengan secara khusus menyiapkan benih dan menyebarkannya. Karena, selain saat ini musim kemarau, tanah di halaman belakang rumah seperti tak layak untuk ditanami tanaman-tanaman yang produktif.

Tapi tak dinyana, tanaman itu banyak yang berbuah dan kualitas buahnya juga tak kalah dengan hasil tanaman sawah. Padahal, tak pernah saya menyiangi, memupuk dan menyemprotnya untuk mengobati dan menjaganya dari hama. Barangkali, pikir saya, Bumi tengah meremajakan dirinya sendiri saat wabah corona memaksa para manusia untuk menjeda rutinitas mereka.

Saya pun ingat akan prinsip dan paradigma autochthony yang beberapa kali pernah saya petakan (Pancasila dan Paradigma Autochthony NU, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Secara sederhana, prinsip dan paradigma autochthony adalah serupa pohon beringin yang secara kebudayaan akan lebih bermakna ketika tegak menjulang di tengah alon-alon di kota-kota nusantara daripada di halaman depan gedung Pentagon ataupun di sekitar Piramida Mesir.

Baca juga : Merdeka Beragama

Hal-hal seperti itu pada dasarnya memang dimungkinkan, tapi akankah secara kebudayaan nilainya menjadi lebih dari sekedar pengayom dari terik dan hujan serta penetralisir polusi udara? Di sinilah pada akhirnya pengertian autochthonymendapatkan kegamblangannya: kesesuaian antara ruang dan isinya. Barangkali, wabah corona yang selama ini kita alami membukakan mata sebagian dari kita pada mekanisme pertahanan diri dari sesuatu yang sudah melampaui batas. Bumi dan alam pun memiliki sistem seperti itu yang berjalan dengan caranya sendiri.

Berkaca pada sejarah, prinsip dan paradigma autochthony tersebut kentara dihormati dan dipakai sebagai bentuk pendekatan Walisongo, dan khususnya Sunan Kalijaga, pada masa Demak. Hal inilah yang menyebabkan, merujuk pada sejarawan Ricklefs (Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions [c. 1830-1930], 2007), kenapa habitus Islam pada waktu itu dapat dengan mudahnya dihidupi oleh orang-orang Nusantara adalah karena terdapat kontinuitas-mistis dalam prosesnya.

Demikian pula dengan paham kebangsaan yang secara sekilas lahir karena kolonialisme dan imperialisme, yang karenanya pula adalah salah satu produk modernisme. Sebagaimana yang diketahui, salah satu mitos modernisme adalah manusia sebagai subyek yang merdeka, rasional dan otonom. Saya kira pandangan seperti ini terlalu dangkal dalam melihat sejarah. Sebab, dari berbagai pendapat yang ada, mulai dari filsafat dan sains kontemporer, membuktikan bahwa manusia bukanlah sebagaimana yang diangankan. Ia tak seheroik itu.

Taruhlah Ronggawarsita dimana nama dan karya-karyanya seperti menjadi mantra tersendiri bagi para pejuang kemerdekaan. Tapi fakta membuktikan bahwa ia juga memiliki seorang murid kesusastraan Jawa yang merupakan orang Belanda, C.F. Winter, dimana makamnya juga ikut dipindah menyusul gurunya di Palar, Trucuk, Klaten (Ronggawarsita, Palang Kebudayaan Jawa yang Terbuang, Heru Harjo Hutomo, https://www.berdikarionline.com). Dengan kata lain, secara diskursif, figur dan karya-karya Ronggawarsita yang dianggap sangat memengaruhi para pejuang kemerdekaan menjelang tahun ‘45, tak luput pula dari besutan para sarjana Belanda. Bahkan, status renaissance kesusaatraan Jawa yang disematkan pada masa Ronggawarsita pun adalah juga berkat para sarjana Belanda yang berkelindan dengan kepentingan rezim kolonialis. Dengan demikian, masihkan pekik merdeka yang secara asosiatif merujuk pada mitos modernisme memiliki makna di hari ini?

Saya kira orang mesti kembali lagi pada prinsip dan paradigma autochthony bahkan pun ketika terkait dengan problem kebangsaan dan kemerdekaan. Sebagaimana aspirasi dan habitus keislaman pada masa Walisongo, saya kira aspirasi dan habitus kebangsaan yang secara asosiatif mengacu pada semangat kemerdekaan mestilah juga memperhatikan kesesuaian dengan ruang dan waktunya berpijak. Jangan sampai berapi-api laiknya para pendamba Ronggawarsita menjelang peristiwa ’45, tapi lalai pada kedekatan sang pujangga dengan para sarjana Belanda.

Problem mendasar poskolonialisme di Indonesia selama ini adalah pada bagaimana kita sebagai orang Nusantara membicarakan, menulis, meneliti, mendefinisikan, dan memproyeksikan diri kita sendiri. Sebab sederhana saja, yang tahu mana yang terbaik bagi kita adalah diri kita sendiri. Karena itulah prinsip dan paradigma autochthony juga mengandung pengertian otonomi. Ada sebuah ungkapan Nusantara yang mencerminkan hal ini: “Arabe diwaca, Jawane digawa.” Akankah paham kebangsaan dan kemerdekaan selama ini, yang notabene berasal dari Barat-Modern, juga bersifat autochthonous sehingga tak asing dan tak terkesan menjajah Buminya berpijak?

Facebook Comments