Kalau kita teliti, ada sebagian para dai ada yang berceramah untuk memprovokasi kebencian kepada kelompok lain. Karena berbeda pandangan politik, bahkan berbeda cara mengamalkan cara beragamanya, kemudian mengajak jamaahnya untuk membenci satu kelompok. Rantai pertikaian tidak akan pernah berhenti apabila para dai untuk mengajar untuk memprovokasi jamaahnya untuk membenci kelompok-kelompok tertentu. Tidak sepakat dengan ideologinya, seharusnya tidak disertai dengan perlakuan tidak adil terhadapnya
Untuk mempersatukan antar kelompok agar tidak semakin menebalkan tembok keangkuhannya, mereka harus menceritakan kisah-kisah perdamaian. Kisah perdamaian dari kitab suci, dari Nabi Muhammad, sahabat atau perdamaian yang ada di sekitar kita. Kisah-kisah perdamaian yang tidak sebatas seremonial semacam doa bersama lintas iman, melainkan kisah yang benar-benar nyata ada di masyarakat. Kisah masyarakat yang berbeda agama, namun saling membantu. Ataukah hubungan antar teman yang berbeda agama, ras, atau suku namun tetap bersolidaritas dan menampilkan sikap persaudaraan.
Kisah Damai dari Temanggung
Nyadran di Dusun Kemiri, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung tidak hanya dilakukan oleh satu umat beragama. Di dusun tersebut ada kegiatan Nyadran Lintas Iman. Nyadran tidak hanya menjadi kegiatan keagamaan, melainkan jauh dari itu adalah kegiatan untuk menciptakan kerukunan di kalangan umat beragama. Walaupun setiap agama mempunyai cara tersendiri, namun ada satu kesamaan yaitu menciptakan perdamaian dan mendoakan bagi keluarga yang sudah meninggal.
Baca juga :Kurikulum Khutbah Berbasis Fenomena Sosial
Kisah perdamaian yang ada di Dusun Kemiri tidak hanya pada Nyadran lintas iman. Salah satu kegiatan di dusun tersebut adalah bakti sosial yang dilakukan oleh umat Budha kepada masyarakat umum yaitu berupa pembagian sembako, pengobatan gratis. Bakti sosial tidak hanya dinikmati oleh pemeluk agamanya sendiri, melainkan dinikmati oleh pemeluk agama Islam dan Kristen.
Dusun Kemiri dan Desa Getas merupakan dikenal sebagai desa pluralisme. Keberagaman dan toleransi di Desa Getas timbul karena budaya saling menghormati tertanam di masyarakat. Walaupun tempat ibadah di dusun tersebut saling berdekatan, yaitu gereja, masjid dan vihara, namun tidak ada pertikaian yang mengatasnamakan agama.
Kisah Kebhinekaan Dari Kendal
Selain Temanggung, ada sebuah dusun sebagai representatif semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Tepatnya di Dusun Kalipuru, Desa Kalirejo, Kabupaten Kendal. Dalam satu dusun terdapat 4 tempat ibadah, yaitu masjid, gereja, mushala dan vihara. Bahkan keempat tempat ibadah tersebut dalam satu jalan lurus sekitar 600 meter.
Begituhalnya di Temanggung, di Dusun Kalipuru tidak ada pertikaian yang mengatasnamakan agama. Mereka hidup rukun walaupun ada agama baru yang masuk yaitu Islam, Hindu dan Kristen. Berdasarkan keterangan sesepuh Dusun, tokoh agama Hindu yaitu Bapak Ponidjan, awalnya masyarakat sana adalah penganut agama kepercayaan.
Mereka memegang teguh kebudayaan yang diwariskan oleh orang pendahulu. Walaupun banyak mereka yang beragama Islam, Hindu, Kristen dan beberapa penganut kepercayaan lokal, mereka masih memegang teguh budaya persaudaraan dan keberagaman. Agama menurut mereka adalah layaknya sebagai sebuah baju. Anda memakai baju merah, putih, biru itu adalah hak setiap orang. Memaksakan memakai “baju” yang sama tidak menjadi budaya masyarakat yang sama. Hal itu tertuang dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, walaupun satu keluarga, orang tua tidak menuntut anaknya untuk ikut agamanya sendiri. Anak boleh menentukan agama yang ia percayai.
Saat ada pembangunan tempat ibadah, tanpa mempertanyakan agama, masyarakat berbondong-bondong untuk membantu. Bahkan saat perayaan hari besar salah satu agama, tokoh agama lain ikut serta hadir untuk memeriahkannya. Hal yang sama ketika ada salah satu warga yang meninggal, masyarakat ikut berbondong-bondong untuk bela sungkawa. Bahkan ketika yang meninggal orang Islam, yang menggali kuburnya adalah orang Kristen.
Menyuarakan Perdamaian
Kedua kisah dari Temanggung dan Kendal Jawa Tengah menjadi contoh kecil dari budaya toleransi yang ada di Indonesia. Masih banyak lagi kisah perdamaian yang tidak diketahui oleh banyak orang. Banyak orang ingin mendengarkan dan mengetahui kisah persaudaraan antar umat beragama.
Kita patut untuk mengubah budaya kita berkhutbah. Kita seharusnya lebih banyak menyebarkan narasi positif termasuk kisah perdamaian yang ada di sekitar, daripada mengutuk perbedaan pilihan politik dan sikap keberagamaan.
Banyak dari kita yang enggan untuk menyebarkan kisah-kisah perdamaian. Sedangkan beberapa segelintir kelompok dengan intens menampilkan sikap intoleransi dan menyuarakan di media sosial atau saat khutbah. Toleransi adalah buah dari pengalaman dan apa yang telah ia baca dan lihat. Apabila banyak generasi muda yang mengkonsumsi konten intoleransi atau negatif di sekitarnya, bisa jadi mereka ikut terpantik untuk melakukan tindakan intoleransi.