Satu ketika dalam pengajian di sebuah komplek perumahan guru saya pernah ditanya, “Ustadz, kenapa tidak sedikit orang yang baru belajar Islam dan mengenal agama justru menjadi ‘garis keras’?” Dalam benak saya saat itu ada banyak jawaban ilmiah-sosiologis yang bisa diungkapkan. Namun, saya berfikir untuk menjawab pertanyaan itu dengan hal yang sudah akrab di telinga audiens kala itu. Ya, karena audiens saya itu para guru sekolah, maka saya akan menjawab dari sisi kurikulum.
Sebelum menjawab, pertanyaan kecil saya lemparkan, “ada yang pernah ikut pengajian bla-bla-bla?,” sambil merujuk pada pengajian yang sedang booming di kota-kota yang berasal dari organisasi tertentu. Sebagian besar menjawab pernah. Lalu saya tanya kembali, “pertama kali anda ikut liqo’ (sebutan mereka untuk pengajian itu) pelajaran apa yang disampaikan kepada anda?”.
Ada tiga versi kelompok berbeda yang menjelaskan kepada saya. Kata yang pertama, “kalau di liqo’ anu materi pertama adalah ‘Pembebasan Al Quds (Palestina)’”. Kata yang kedua, “kalau di liqo’ ini materi pertama adalah ‘Khilafah dan Syariat Islam’”. Kata yang ketiga, “kalau di liqo’ itu materi pertama adalah ‘jihad dan qital’”. Materi berikutnya setelah itu, masih menurut pengakuan jamaah, adalah kekeliruan penerapan Islam yang terjadi di masyarakat. Hal ini menyinggung pola-pola keagamaan yang sudah berlangsung selama berabad-abad.
Tiga pengakuan jamaah tersebut bagi saya sudah clear. Kenapa radikalisme, atau paham garis keras seperti bahasa yang digunakan jamaah saya tadi, tumbuh subur merupakan akibat dari kesalahan kurikulum yang diterapkan dalam pengajian tersebut. Bagaimana tidak keliru, mereka yang baru saja tergerak mendalami keislaman sudah disodorkan materi-materi yang rumit. Hal itu seperti mengajarkan rumus algoritma komputer kepada anak sekolah dasar yang baru tahu 1 + 1 = 2.
Pembebasan Al Quds pada ujungnya adalah menyoal konsep jihad dan qital (perang). Sementara materi ‘Khilafah’ lebih jauh lagi, menyoal persoalan konsepsi bernegara dan tahkim (berhukum), dalam bahasa pesantren dikenal dengan fiqh as-Siyasi (fikih politik/ fikih ketatanegaraan). Di pesantren-pesantren sekalipun materi-materi tersebut bukan hal mudah untuk dipelajari. Santri yang ingin mempelajarinya diwajibkan memiliki dasar keagamaan yang cukup dan berjenjang sesuai dengan kurikulum baku di dunia Islam.
Konsep jihad dan qital adalah pembahasan paling akhir dalam pembahasan ilmu fikih (yurispudensi Islam). Dalam kurikulum Islam yang sudah baku selama berabad-abad materi ibadah adalah bagian pertama pembahasan hukum agama. Materi ini menyangkut persoalan thaharah (bersuci dari hadats besar, kecil, dan najis), shalat, zakat, puasa, dan haji-‘umrah. Setelah itu dilanjutkan dengan materi mu’amalah yang meliputi soal transaksi perdagangan dan hubungan ekonomi antar manusia, termasuk di dalamnya persoalan waris.
Setelah dua materi besar ini dipelajari baru pembelajar Islam masuk pada pembahasan soal hukum seputar pernikahan dan perceraian. Lalu dilanjutkan dengan materi makanan dan minuman yang diperbolehkan, termasuk di dalamnya tata cara menyembelih hewan ternak agar halal dimakan.
Mereka yang sudah memahami hukum-hukum di atas pun masih ‘belum diizinkan’ mendapat materi jihad dan qital. Karena harus terlebih dahulu mendalami soal hukum-hukum pidana seperti pencurian, pembegalan, pembunuhan, dan sebagainya. Lalu dilanjutkan dengan hukum perbudakan yang di dalamnya mencakup arahan penghapusan dan pembebasan perbudakan di dunia. Setelah semua ini dikuasai materi jihad dan qital baru diberikan.
Sementara materi khilafah masuk dalam nomenklatur fiqh siyasiy (fikih politik) memiliki posisi tersendiri dalam keilmuan Islam. Abu al-Hasan al-Mawardi (w. 450 H/sekitar 1072 M), seorang ulama besar ahli hukum dari Irak, menempatkan pembahasan fiqh siyasiy dalam pembahasan terpisah dari keilmuan fikih islam sebagaimana dijelaskan di atas.
Hal ini menunjukkan bahwa keilmuan ini adalah materi bagi mereka yang telah cukup syarat dan kualifikasinya. Bahkan, bahasa dan terminologi yang dipergunakan al-Mawardi tidak mudah dipahami bagi orang-orang yang masih ‘baru belajar’. Dalam tradisi pesantren pembelajar materi ini adalah mereka yang telah duduk di jenjang ma’had ‘aliy atau marhalatul ‘ulya (setingkat perguruan tinggi), yang setidaknya telah mempelajari hukum-hukum Islam selama minimal 6 tahun.
Upaya simplifikasi atas kurikulum Islam itulah yang pada akhirnya mengantarkan pada aksi radikalisme. Padahal, materi-materi itu sudah baku dan lama dipraktekan di dunia Islam jauh sebelum ada radikallisme terorisme. Materi-materi di atas baru bagian kecil dari materi dalam kurikulum Islam. Masih banyak lagi materi dasar yang harus dipahami sebelum masuk pada persoalan-persoalan ‘berat’.
Ilmu akidah (menyangkut keimanan) dasar kini pun terlupakan. Orang tua kita dulu sering mengajari anak-anak mereka berdendang di Surau soal sifat dua puluh yang dimiliki Tuhan. Kearifan beragama seperti inilah yang mulai pudar di generasi sekarang. Semoga kita bisa menyelamatkannya. Amin.