Radikalisme itu bagian tak terpisahkan dari realitas manusia. Ia adalah akumulasi dari kegelisahan, keputusasaan, permusuhan, ketidakpuasan, dan ketidakadilan yang dialami oleh manusia. Roxane L. Euben (1999) menyebut radikalisme itu sebagai enemy of the mirror, musuh cermin. Laiknya bayangan cermin, maka yang diperbaiki itu bukan cermin atau bayangannya, melainkan sesuatu yang memantulkan bayangan itu.
Sesuatu yang memantulkan itu adalah sebab-musabab dan faktor yang melatarbelakangi munculnya radikalisme. Kedua poin inilah yang disebut sebagai akar dari radikalisme. Dalam konteks ini, hal yang pertama dicari adalah: Apa sebab-musabab yang membuat seseorang radikal? Faktor apa saja yang menyebabkan seseorang menjadi radikal?
Para ahli mengatakan, sebab utama –kapan dan di mana pun –adanya radikalisme tidak lepas dari ketidakadilan. Ketidakadilan dalam kebijakan negara, geopolitik internasional yang membuat kelompok tertentu menjadi terpinggirkan, tereksploitasi, dianaktirikan, dan termarjinalkan, yang pada puncaknya terakumulasi sehingga menimbulkan aksi-aksi terror dan tindakan-tindakan anarkis dan radikal.
Ketidakadilan ini merupakan muara dari faktor-faktor di sekelilingnya. Faktor-faktor itu adalah sosial, agama, dan psikologi. Ketiganya berkait-kelindan membentuk suatu sistem yang berusaha melakukan perubahan secara drastis disertai kekerasan. Tidak jarang, cara-cara kekerasan dilakukan demi terwujudnya tujuan ideologi kelompok. Dalam konteks radikalisme Islam, puncak dari tujuan itu adalah Negara Islam dan penerapan syariat.
Pertama, faktor sosial lahir dari ketimpangan ekonomi, sosial, dan politik. Ketimpangan ini melahirkan deprivasi efektif, yakni perasaan diperlakukan tidak adil. Ketimpangan sangat efektif dijadikan bahan oleh pihak-pihak tertentu untuk memprovokasi melakukan tindakan radikal, terror, perusakan fasilitas umum.
Baca juga :Golden Rule: Melawan Kebencian dengan Ajaran Universal Agama
Gerakan-gerakan pemberontakan dalam sejarah Indonesia sampai sekarang timbul sebab terjadi ketimpangan yang mereka terima, baik dalam sektor ekonomi, sosial, terlebih-lebih dalam politik. Itulah sebabnya, mengapa pemberontakan –di mana pun itu –kebanyakan selalu muncul dari pinggir, sebab wilayah inilah yang paling sering mendapatkan ketimpangan dan ketidakadilan.
Kedua, faktor agama. Provokasi yang dilakukan oleh oknum-oknum yang memprotes ketimpangan sosial itu menjadikan agama sebagai legitimasi. Agama adalah sentimen yang paling ampuh dalam merangsang tindakan anarkis.
Dalam agama ada term-term tertentu yang pada awalnya netral difungsikan oleh kaum radikal sebagai sarana perjuangan. Term itu adalah jihad dan amar ma’ruf-nahi mungkar. Jihad direduksi sebagai perang (qital). Perang melawan pihak yang dianggap musuh. Urgensitas jihad ini diembel-embeli sebagai perintah untuk menebarkan kebenaran dan menghentikan kemungkaran.
Narasi-narasi anti-Islam, anti-ulama, anti-bendera tauhid didengungkan sedemikian rupa. Mem-branding tujuan politis mereka dengan agama bisa membius audiens untuk bergerak. Media sosial, penuh dengan ini: dramatisasi, pemelintiran, play victim. Semuanya dilakukan dalam bungkus agama.
Ketiga, faktor psikologis. Perjuangan untuk memprotes ketimpangan sosial yang dibungkus dengan agama pada akhirnya melibatkan proses psikologis dan kognitif tertentu. Proses psikologis yang dimaksud adalah perubahan jiwa seseorang dalam melihat sesuatu yang dulunya hina dianggap sebagai perjuangan moral.
Membunuh umpamanya adalah perbuatan yang hina, akan tetapi demi perjuangan dan tercapainya tujuan ideologis, itu dianggap sebagai perjuangan moral dan pelakunya adalah pahlawan. Mencaci, hoax, ujaran kebencian dan segala turunannya, dulu dianggap hina, akan tetapi kerana tujuan perjuangan, ia dianggap biasa-biasa, bahkan tak jarang sebagai bagian dari pahala.
Penjelasan di atas memperlihatkan kepada kita, bahwa sebab dan faktor radikalisme itu sejatinya tidak lepas dari diri dan sekitar kita. Maka upaya perlawanan terhadapnya harus ditempuh dengan mempertimbangkan semua aspek dengan lintas pendekatan.
Pemerintah harus sekuat tenaga mewujudkan keadilan sosial itu. Dengan adanya rasa adil bisa meminimalasir gerakan-gerakan yang berusaha merongrong kedaulatan negeri ini. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dengan semboyan membangun dari pinggir, merupakan strategi yang tepat. Terutama dalam kondisi sekarang situasi Papua masih belum reda.
Organisasi masyarakat bisa difungsikan untuk memberikan kontra-wacana bahwa agama dengan titik penekanan kekerasan bukanlah ajaran dari agama. Narasi bahwa jihad bukan perang, membom, dan membunuh. Jihad adalah seluruh totalitas hidup demi memperjuangakan kebaikan.
Intinya semua lapisan masyarakat, semua lini profesi harus berpartisipasi aktif dalam kerja-kerja melawan radikalisme. Perlawanan ini bukan melawan musuh yang jauh di sana, melainkan dekat dan bagian dari diri dan masyarakat kita. Untuk itu kerja-kerja kolektif, aktif, partisipatif perlu digalakkan. Sebab, seperti yang sudah disebutkan di atas, radikalisme adalah bayangan dan cermin dari realitas hidup kita. Mari kita hadapi dengan cara sebaik-baiknya, dan serapi-rapinya.