“Sesungguhnya yang dapat memakmurkan masjid-masjid Allah itu hanyalah:orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari yang akhir orang-orang yang menegakkan shalat dan menunaikan zakat dia tidak takut melainkan hanya kepada Allah, maka mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. At-Taubah (9):18).
Ayat ini, selain menjelaskan mereka yang teguh memakmurkan masjid, secara langsung ayat ini juga bicara bahwa masjid ada tempat kemakmuran. Kemakmuran di dalam masjid, seringkai dipahami makmur dalam ibadah saja. Kalau di dalam masjid terdapat keramaian ibadah, di sana seolah masjid sebagai sumber kemakmuran. Ini sangat lazim dipahami publik. Padahal, kemakmuran yang dimksud tentu saja secara universal,bukan sebatas terkait ibadah ritual (mahdoh) semata. Lihat jejak Nabi Muhammad dengan masjidnya. Di sana lahir kemakmuran, bukan saja untuk ibadah, tetapi juga untuk pendidikan,sosial, dan ekonomi.
Sayang, akhir-akhir ini masjid hanya diramaikan dengan ritual ibadah saja. Akhirnya, banyak konflik di sekitar pengelolaan masjid. Masjid kemudian menjadi rebutan posisi imam dan khatib. Ini sangat berbahaya, karena seringkali masjid kemudian dikuasai untuk meneguhkan wabah radikalisme. Banyak sekali masjid yang justru menjadi tempat tersebarnya radikalisme. Anak-anak dan kaum muda yang seharusnya tumbuh dengan tradisi dan spirit lokalnya, malah banyak yang terjaring menjadi aktivis gerakan radikal, karena masjid di wilayahnya menjemput mereka sebagain bagian gerakan radikal tersebut.
Laporan Forum Kerukunan Umat Beragama, FKUB (2014), di Malang, menegaskan bahwa ada lima masjid yang diindikasikan menjadi pusat gerakan radikalisme. Masjid dijadikan sebagai basecamp untuk merekrut kader-kader muda, bahkan anak-anak, untuk menjadi generasi yang siap berjihad dengan berbagai model kekerasan. Demikian juga laporan Center for The Studi of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta yang menjelaskan bahwa masjid di Solo banyak digunakan sebagai kendaraan untuk menyebarkan ideologi radikal. Laporan dari Aliansi Remaja Masjid (ARM) Bantul (2017) juga menjelaskan bahwa kelompok radikal banyak yang mendirikan masjid baru untuk menguatkan jaringan mereka. Masjid baru yang didirikan bersifat eksklusif, hanya untuk ibadah dan kegiatan kelompok mereka saja. Bahkan masjid mereka tak pernah melibatkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatannya.
Fakta ini sangat menyedihkan. Padahal, masjid adalah ruang rekreasi bagi anak-anak yang sangat murah dan menyenangkan. Dalam masyarakat yang pemukiman penduduknya padat, masjid justru menjadi ruang rekreasi anak untuk saling bertegur sapa dengan sesamanya. Sayangnya, dari berbagai riset tadi, masjid sangat dibatasi bagi anak-anak. Kalau ada anak ramai di masjid, seringkali dimarahi dan disuruh pulang. Padahal, begitulah naluri anak dalam bermain dan meluapkan kreativitasnya. Anak-anak sekarang ini kehilangan masjidnya. Masjid makin menjauh dengan rekreasi anak-anak. Masjid hanya untuk ibadah saja, dan penguatan jaringan gerakan radikal, anak-anak dijauhkan.
Dari sini, kemakmuran masjid seringkali mengabaikan ruang rekreasi anak. Padahal, anak-anak itu seharusnya didesain sedemikian rupa, sehingga mereka bisa menikmati masjid sebagai ruang untuk mengaji, belajar, sekaligus tempat rekreasi yang menyenangkan antar sesama anak. Seramai-ramainya anak di masjid, mereka masih mendapatkan asupan air wudlu. Berkah air wudlu sangat penting untuk masa depan anak. Hal ini seringkali diabaikan, sehingga anak-anak sekarang sibuk dengan gadget, televisi, dan game online. Anak-anak yang jauh dari kemakmuran masjid ini, seringkali di kemudian hari gampang terjebak dalam gerakan radikalisme. Anak-anak itu kelak akan sangat mudah direkrut menjadi aktivitas radikal, karena pikiran mereka kosong dari makmurnya masjid, baik secara jasmani dan ruhani.
Kembalikan Ruang Rekreasi Anak!
Sudah saatnya masjid dikembalikan kepada fungsinya bagi anak-anak. Selain ngaji dan belajar, masjid harus menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak. Wabah radikalisme sering muncul dari masjid karena masjid kehilangan ruang yang menggembirakan bagi anak-anak. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan.
Pertama, masjid harus bisa membuat kegiatan yang menyenangkan anak. Bisa dengan kursus budaya, atau juga kegiatan dongeng yang mendidik. Anak-anak sangat suka dengan dongeng, sehingga masjid harus bisa mendatangkan para pendongeng yang cocok dengan usia anak. Acara dongeng bisa dilakukan hari libur, sehingga anak-anak bisa ditemani orang tuanya. Dalam dongeng itu, selain ada hiburan yang menyenangkan, juga harus diselipkan pesan ajaran agama yang bisa dimengerti anak. Di sini, anak akan gembira dengan masjid. Masjid menjadi ruang rekreasi anak, sekaligus media pendidikan dan sosial. S
Kedua, pemerintah, khususnya pemerintah desa, harus bisa mendesain jaringan gerakan antar masjid dalam ruang yang meyenangkan. Banyak program desa terkait ibu dan anak bisa dikerjasamakan dengan masjid. Ini sangat penting, sehingga masjid berfungsi secara sosial. Pemerintah desa juga bisa menciptakan kegiatan-kegiatan edukatif di berbagai masjid, sehingga anak-anak makin dekat masjid, dan akhirnya mempunyai karakter yang tangguh, sesuai yang ditegaskan dalam keseharian masjid.
Dari sini, masjid dan anak adalah ruang kegembiraan, ruang kemakmuran. Kalau masjidnya makmur, maka anak-anak itu akan menjadi generasi yang beriman, menegakkan sholat, menunaikan zakat, dan tidak mudah takluk dengan tantangan. Anak-anak di masjid adalah generasi yang total bergerak untuk kemakmuran semuanya. Wabah radikalisme di berbagai masjid, dengan sendirinya lenyap dan kembali kepada spirit Islam Nusantara.