Meskipun pemerintah telah melakukan penanggulangan terhadap terorisme, tapi penyebaran ideologi terorisme di Indonesia sampai sekarang masih ada. Bahkan, kelompok teroris terus melakukan regenerasi dengan merekrut anggota-anggota baru yang disiapkan menjadi martir. Mereka merekrut anggota dengan berbagai cara. Mulai dari pertemuan-pertemuan tertutup hingga propaganda melalui dunia maya.
Kemajuan teknologi melalui media internet membuat program penyebaran paham terorisme makin mudah dan makin sulit dilacak. Pola radikalisasi menjadi kian modern dan menyebar tanpa banyak tatap muka. Tak jarang juga, ia juga melibatkan organisasi yang sebetulnya masih “abu-abu” keterikatannya dalam menanamkan ideologi terorisme. Akibatnya, sejumlah penduduk Indonesia bahkan rela melakukan bunuh diri dengan bom di tempat-tempat umum.
Faktor Penyebab
Melawan ideologi terorisme harus dimulai dengan memahami faktor yang menjadi penyebab kemunculannya. Dalam konteks ini, terdapat tiga teori yang dapat menjelaskan factor penyebab kemunculan ideologi terorisme.
Pertama, teori struktural. Teori ini mengaitkan terorisme dengan sebab-sebab eksternal seperti politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Faktor tersebut berupa akumulasi kekecewaan kelompok radikalis, terutama yang berkaitan dengan kegagalan elite dalam merealisasikan penegakan hukum (law enforcement) dan cita-cita politik Islam. Ini dapat dipahami karena gerakan keagamaan bercorak radikal selalu memiliki agenda politik seperti mendirikan negara Islam dan formalisasi syariah.
Kedua, teori psikologi. Teori ini menjelaskan motivasi seseorang sehingga terpesona dengan gerakan terorisme. Melalui penjelasan psikologi dapat diketahui latar belakang sosial dan kejiwaan pelaku terorisme, mulai proses rekrutmen, pengenalan, kepribadian, penanaman ideologi, hingga motivasi anggotanya. Misalnya, ditemukan fakta bahwa pelaku terorisme adalah mereka yang mengalami keterasingan sosial (alienasi). Dalam kondisi ini, tak heran para pelaku terorisme dengan sukarela mereka siap menjadi ”pengantin” untuk melakukan bom bunuh diri.
Ketiga, teori pilihan rasional. Teori ini menjelaskan adanya kalkulasi untung rugi yang menjadi pertimbangan pelaku terorisme. Artinya, dalam teori ini, diperoleh penjelasan bahwa faktor cost and benefit bisa juga menjadi pertimbangan pelaku. Fakta itu menunjukkan adanya alasan ekonomi di balik keberanian mereka bergabung dengan gerakan radikalisme. Meskipun, ada juga individu yang tergoda masuk jaringan terorisme dengan pertimbangan keagamaan (baca: keinginan masuk surga), misalnya ingin mati syahid.
Karakter Terorisme
Selain mengetahui faktor penyebab terorisme, mengetahui karakter terorisme juga termasuk hal yang penting. Hrair Dekmejian (1980) pernah menjelaskan bahwa gerakan teroris memiliki tiga sifat: merata (pervasiveness), memiliki banyak pusat (polycentrism), dan berjuang terus-menerus (persistence).
Pertama, merata (pervasiveness). Tidak hanya di Indonesia, tindakan terorisme juga sering mendeklarasikan dirinya di negara-negara lain di dunia. Dalam hal ini, terorisme memiliki karakter gerakan yang pervasiveness (merata). Sehingga, tidak mengherankan apabila gerakan terorisme dapat berjalan transnasional.
Kedua, polycentrism (memiliki banyak pusat). Karakter polycentrism ditunjukkan oleh banyaknya organisasi sosial keagamaan yang bercorak radikal. Uniknya, setiap organisasi radikal tidak saling berhubungan. Setiap organisasi memiliki pemimpin, program, strategi, dan taktik sendiri-sendiri. Meski begitu, umumnya organisasi-organisasi radikal memiliki kesamaan agenda. Salah satunya adalah mewujudkan negara Islam sebagaimana ditunjukkan kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau NIIS.
Ketiga, persistence (berjuang terus-menerus). Karakter persistence menjelaskan bahwa gerakan radikal berjuang secara terus-menerus, pantang menyerah, dan berani mengambil risiko apa pun asal tujuannya tercapai. Dengan karakter yang ”ngeyel” itulah, tokoh-tokoh terorisme terus melakukan kaderisasi. Mereka menggunakan berbagai cara agar orang-orang tertarik dengan ideologi terorisme. Sehingga, ia rela mengorbankan etika kemanusiaan yang ia miliki dan menjadi pengantin bom bunuh diri demi memperjuangkan ideologi terorismenya.
Tidak Memberikan Kesempatan
Berkaitan dengan keinginan untuk melawan penyebaran ideologi terorisme di negeri ini, hal yang harus dilakukan ialah tidak memberikan kesempatan terhadap munculnya tindakan radikal. Keinginan itu akan tercapai jika faktor-faktor yang menjadi pemicu terorisme berhasil diminimalkan. Termasuk persoalan ketidakadilan sosial, ekonomi, hukum, dan politik serta kepentingan elite.
Kita pahami, kondisi Indonesia saat ini sangat jauh dari terwujudnya keadilan dan kesejahteraan. Ini terlihat dari maraknya kasus korupsi oleh elite politik dan logika hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Di sisi lain, ekonomi Indonesia juga masih sangat jauh dari kondisi sejahtera. Oleh sebab itu, langkah pertama menangani terorisme adalah mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hanya saja, selain hal tersebut kita juga perlu menegakkan pilar-pilar civil society di lingkungan masyarakat. Dalam hal ini, kita bisa menanamkan sikap cinta damai dan toleransi (tasamuh) kepada generasi penerus bangsa secara terus menerus dan berkelanjutan. Dengan adanya pengamanan generasi masa depan dari ideologi teroris lewat penanaman sikap toleransi dan cinta damai, artinya kita tidak memberikan kesempatan bagi menyebarnya ideologi terorisme. Wallahu a’alam bish-shawaab.