Membaca Ulang Ayat “ANTI TOLERANSI”

Membaca Ulang Ayat “ANTI TOLERANSI”

- in Narasi
2247
0

Tak terkecuali di bulan Ramadhan di mana setiap muslim harus menahan emosi dan merayakan kesabaran, praktik intoleransi agama terus marak digelar. Warung nasi yang buka di siang hari pada bulan ini dituduh sebagai upaya orang-orang Yahudi dan Nashrani anti terhadap Islam. Bahwa Yahudi dan Nashrani dengan berbagai alasan akan selalu melakukan kerja-kerja kristenisasi hingga umat Islam tidak tersisa. Termasuk juga, kasus terakhir, adalah adanya mukena berbentuk salib yang dituduhkan sebagai kristenisasi.

Dalil al Qur’an yang seringkali dijadikan hujjah untuk menuduh Kristen dan Yahudi yang berada di balik gonjang ganjing keberIslaman adalah “Orang Yahudi dan Nashrani tidak akan pernah rela atau ridho kepada kalian sampai mengikuti millah mereka”, (QS: 2;120). Demikian terjemah ayat tersebut. Dalam beberapa tafsir klasik ditemui berbagai penjelasan seputar ayat ini. Dari tafsir yang ramah soal Yahudi dan Nashrani hingga yang paling radikal. Beberapa mufassir misalnya, menyebutkan bahwa ayat ini tidak berbicara seluruh kaum Yahudi dan Nashrani melainkan hanya sebagian saja Yahudi yang dimaksud, demikian mufassir seperti Hayy bin Akhthab, Abu Yasir, dan lain-lain.

Dalih lain untuk memperkuat argumen ini bahwa Muhammad ketika masih kecil sudah akrab dengan pendeta Yahudi bernama Buhaira yang, konon, beliaulah yang mengakui kenabian Muhammad. Begitu juga ketika Muhammad sudah diangkat menjadi Nabi, tidak sedikit Pendeta Yahudi yang ditemui yang sangat akrab dengan Nabi. Sebaliknya, Pendeta Yahudi dan Nashrani yang memihak dan menolong Nabi Muhammad tidaklah sedikit. Sebut saja misalnya, Mukhairiq yang siap mewariskan hartanya kelak ketika meninggal dunia. Hujjah inilah yang dijadikan dasar bahwa Yahudi dan Nashrani dalam ayat itu hanyalah sebagian kecil bukan semuanya.

Sementara di pihak mufassir lain, ayat ini memang berbicara tentang Yahudi dan Nashrani secara umum tanpa terkecuali. Bahwa tak satu pun orang Yahudi dan Nashrani yang baik. Ayat al Qur’an QS;2:109 telah menjelaskan betapa upaya orang Yahudi dan Nashrani tak henti-hentinya melakukan berbagai upaya untuk mengembalikan umat Islam ke dalam kekafiran. “Banyak dari ahlil kitab yang menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kalian kepada kekafiran setelah beriman, karena dengki yang timbul dari diri mereka sendiri setelah nyata bagi mereka kebenaran”, demikian terjemah ayat itu.

Terus terang saja, tafsir baik kalsik maupun kekinian atau pemikir-pemikir muslim progresif masih disibukkan dengan penjelasan siapa Yahudi dan Nashrani yang dimaksud. Menurut saya, memperdebatkan siapakah Yahudi dan Nashrani yang dimaksud dalam ayat itu tidak menyelesaikan masalah. Baik yang mencoba menjelaskan objek Yahudi dan Nashrani untuk tidak mengenalisir orang Yahudi dan Nashrani atau mufassir yang mengatakan bahwa semua Yahudi dan Nashrani memiliki sifat dengki dan iri terhadap umat Islampun tetaplah mendudukkan orang yang berbeda agama sebagai tertuduh. Karenanya perlu cara pandang lain untuk melerai polemik tafsir tersebut.

Perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa al Qur’an merupakan panduan moral dan sikap setiap seseorang (af’al al mukallafin). Penghukumun terhadap seseorang pun tidak berdasarkan agama, ras, dan sukunya, melainkan pada sikap dan perbuatan seseorang. Fiqh dibangun atas pondasi ini. Apalagi menghakimi seseorang karena faktor agamanya tidaklah adil dan tentu bertentangan dengan ruh Islam itu sendiri.

Selain itu, sebagaimana dimaklumi, ayat-ayat al Qur’an pun tidak statis melainkan selalu berkelindan dengan kondisi dan situasi (shalih likulli zaman wa makan). Al Qur’an tidak berjalan mundur tetapi maju. Tentu saja, kurang tepat jika menghukum Yahudi dan Nashrani dari aspek agamanya, karena Yahudi dan Nashrani, sebagai manusia memiliki kemampuan untuk berubah. Jika ternyata Yahudi dan Nashrani saat ini tidak seperti itu dan tidak sama dengan apa yang digambarkan oleh al Qur’an di atas, siapakah yang harus dikoreksi? Al Qur’an atau cara pandang kita tentang ayat tersebut.

Karenanya menurut hemat saya, ayat ini terfokus pada fi’il atau kata kerjanya bukan kepada fa’il atau pelakunya saat itu. Kata kerja merupakan bentuk prilaku dari seseorang. Sementara objek bisa berubah kapan saja. Artinya, al Qur’an dalam ayat ini hendak menyasar perilaku “lan tardha” atau “ketidakrelaan” seseorang terhadap agama lain. Sebagaimana kalimat “A mencuri pisang”. Pada kalimat itu sasarannya kala itu memang A tetapi seruan moralnya adalah larangan mencuri.

Demikian juga ayat di atas, sasarannya adalah Yahudi dan Nashrani kala itu. Tetapi seruan moral dari al Qur’an adalah kerelaan dan kesiapan umat Islam untuk menerima agama lain bukan sebaliknya. Pelaku ketidakrelaan bisa saja dilakukan oleh Yahudi, Nashrani, atau agama apapun. Bahkan bisa jadi, justru umat Islamlah yang mendesak agama lain agar masuk ke agama Islam. Dan, perbuatan ini ditentang oleh al Qur’an yang menghendaki agar tidak ada pemaksaan beragama dalam bentuk apapun, baik lembut maupun kasar. Maka membiarkan dan merelakan orang lain beragama sesuai dengan keyakinannya masing-masing merupakan anjuran dari al Qur’an sebagaimana gaya tafsir di atas. Wallahu a’lam.

Facebook Comments