Pada 1979, seorang pemikir berkebangsaan Prancis, Jean-Francois Lyotard, mempublikasikan hasil analisanya tentang sepotong zaman yang ia namakan zaman postmodern di mana apa yang ia sebut sebagai kematian metanarasi menjadi salah satu penandanya. Metanarasi merupakan “cerita-cerita agung” yang sekilas ambisius, progresif, emansipatif, optimistis, dst. Metanarasi tersebut tampak nyata pada apa yang orang kenal sebagai ideologi. Dalam perjalanan sejarah, berbagai macam ideologi lahir dan saling berkontestasi seolah lebih tahu mana yang terbaik bagi manusia. Maka, karena watak yang pretensius sekaligus ambisius tersebut ideologi seperti khas menjadi produk modernisme.
Merujuk pada angka waktu, modernisme resmi lahir pada abad ke-17. Dalam jagat filsafat ia ditandai oleh pretensius Rene Descartes: “cogito ergo sum.” Modernisme pada dasarnya adalah sebersit semangat yang menolak kejumudan abad pertengahan di mana iman dan agama telah menyisihkan nalar. Karena itu modernisme memang identik dengan semangat keagamaan tertentu: lahirnya kalangan Protestan atas dominasi gereja (Katholik) di Eropa.
Pada titik inilah Foucault akhirnya membekap kapitalisme dan komunisme, meskipun secara sekilas saling berkontestasi, berpijak pada episteme yang satu dan sama. Kedua bentuk ideologi tersebut merupakan anak kandung modernitas yang sarat dengan karakter yang sok-sokan: sama-sama ingin menghadirkan sepetak surga di dunia. Karena itulah salah satu “eyang” ilmu sosiologi, Max Weber, pernah mendamik etika protestan sebagai salah satu pemicu lahirnya kapitalisme.
Tapi, berbagai angan dan harapan tentang surga yang hilang tersebut runtuh seiring gagalnya berbagai proyek ambisius modernisme: kesejahteraan (kapitalisme), tegaknya hak-hak (liberalisme), masyarakat tanpa kelas (komunisme), kesetaraan (demokrasi), dan bahkan rasionalitas dan kesucian akidah (puritanisme agama-agama pembaharuan). Secara sosial-politik, akhir watak sok-sokan modernisme tersebut adalah rubuhnya tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet. Apakah dengan demikian hal itu menandakan kemenangan kapitalisme-liberalisme ataupun sistem demokrasi mengingat tembok Berlin dan Uni Soviet identik dengan tata kuasa komunisme?
Baca juga :Guru Sumber Inspirasi dan Toleransi
Tak juga, sebab sejak saat itu sampai kini berbagai pendekatan politik identitas dan ekspresi radikal serta teroristik justru mencuat seiring dengan tak lagi dapat dibendungnya modal (capital) dan omong besar kesetaraan dalam sistem demokrasi. Dengan kata lain, modernisme telah ramai digugat dan divonis gagal dalam memenuhi segala mimpi dan janjinya. Justru, ia ditengarai menjadi penyebab berbagai krisis kemanusiaan dan ekologis yang pernah mendera di sepanjang sejarah manusia.
Atas dasar itu semua, maka saya tak akan mendekati ideologi sebagai sebuah metanarasi. Tapi, secara rendah hati, saya akan mendekatinya sebagai sebentuk “kerangka nalar.” Bagi saya pribadi, Pancasila sebenarnya adalah sebuah kerangka nalar di mana, paling tidak, orang tak akan terjebak pada ekstrimitas. Dan jelas, secara logis, segala bentuk ekstrimitas pada akhirnya akan membunuh dirinya sendiri. Andaikata dirunut, sila-sila yang terdapat pada Pancasila merupakan sebentuk logika organik di mana ketika yang satu menisbikan yang lain akan menyebabkan sebentuk cacat pikir yang otomatis cacat kebijakan pula. Seumpamanya, pengakuan terhadap hak-hak individual (sila II) tak harus menyisihkan kepentingan sosial (sila V) dan sebaliknya, persatuan (sila III) tak harus melumatkan perbedaan dan negosiasi (sila IV), humanisme (sila II) dan sosialisme (sila V) tak harus mengenyampingkan Tuhan (sila I). Dengan demikian, secara logis, ketika moderasi sudah menjadi bagian dari kerangka nalar dalam kehidupan sehari-hari, maka dengan sendirinya wawasan kebangsaan, nasionalisme, toleransi, dst., akan tertata dengan sendirinya.