Miris memang membaca berita tentang maraknya intoleransi yang terjadi di instansi yang seharusnya menjadi tempat untuk membentuk pribadi yang menjunjung tinggi toleransi, bukan intoleransi. Ya. Kejadian yang viral beberapa waktu lalu mengenai prilaku rasial dan intoleransi di salah satu SMA Depok dan SMAN Jaktim, sangat menyentakkan publik sekaligus mencorong wajah sekolah di Indonesia secara umum.
Guru yang kerapkali menyuguhkan gagasan intoleran kepada siswa sudah menjadi fenomena yang seolah sudah merupakan hal biasa. Padahal, yang demikian itu sangat membahayakan eksistensi NKRI. Hal ini bukan berlebihan. Lihat saja, jika sekolah tak lagi menjadi tempat untuk menyemai benih kebaikan kepada siswa, tidak mengajarkan ajaran agama dan nenek moyang bangsa ini, niscaya kehidupan berbangsa dan bernegara akan goyah. Puncaknya bangsa ini akan terjungkur ke lembah yang ‘hina’.
Laku intoleran di ranah sekolah, dan di manapun itu, harus dicegah sejak dini. Sekolah harus menjadi garda terdepan dalam memberantas intoleransi jika tidak ingin masa depan toleransi di sekolah semakin buram. Toleransi dalam konteks negara yang komposisi penduduknya beragam menjadi pondasi dasar dalam mewujudkan kedamaian, persatuan dan kemajuan.
Jika toleransi sudah menjadi hal yang langka karena tidak menjadi perhatian dan karakter yang melekat pada diri seluruh bangsa ini, maka hidup harmonis, nyaman, rukun dan produktif bak menegakkan benang basah. Terlebih di ranah sekolah di mana anak-anak—generasi penerus—ditempa, sudah seyogyangya ditekankan laku toleran.
Mengapa Intoleransi Tak Pernah Mati
Secara umum, siswa yang bertindak intoleran sangat berkaitan dengan guru. Hal ini didasarkan pada sebuah fakta bahwa guru memiliki peran sentral dalam membentuk pola pikir siswa. Selain itu, guru juga menjadi sosok yang sangat dominan dalam mempengaruhi pemahaman siswa terhadap ajaran agama. Meskipun ada faktor lain yang menyebabkan siswa berlaku intoleran, seperti pengaruh lingkungan di luar sekolah dan media sosial.
Chat WA oknum guru yang viral di media sosial semakin mengkonfirmasi argumentasi di atas, bahwa guru mempunyai peran sentral dan strategis dalam membentuk pemahaman keagamaan dan perilaku siswa. Padahal, peran guru seharusnya mengidentifikasi sejak dini pemikiran-pemikiran intoleran siswa untuk kemudian diluruskan, bukan malah dipupuk.
Selain faktor-faktor di atas, kelompok muslim yang anti-kebhinekaan sudah mulai bergentayangan di mana-mana. Hal ini lagi-lagi terkonfirmasi dalam berbagai hal, salah satunya hasil survei. Misalkan survei yang digelar oleh Wahid Foundation pada 2016 silam. Survei yang menggandeng Kemenag itu menyebutkan bahwa 60% aktivis Rohis SMA/SMK di Indonesia bersedia jihad ke wilayah-wilayah konflik jika ada kesempatan. Dan ada 68% dari total responden (126) menyatakan bahwa mereka bersedia untuk berangkat jihad di masa akan datang. Yang mencengangkan, ada 6% yang secara terang-terangan mendukung gerakan kelompok radikal bar-bar seperti ISIS.
Benih-benih intoleransi sebagaimana diuraikan di atas masih menyelimuti sebagian sekolah di nusantara. Hal ini tentu saja semakin membuat masa depan wajah toleransi di sekolah buram. Dan inilah yang menjadi faktor mengapa intoleransi di sekolah seolah tidak pernah berhenti.
Sebuah PR Bersama
Di awal sudah disinggung bahwa sekolah harus menjadi tempat yang nyaman bagi seluruh generasi bangsa tanpa memandang golongan, agama, ras dan sejenisnya. Sikap gotong-royong, toleransi, persaudaraan dan persatuan harus menjadi sebuah tradisi yang mengakar dalam diri pelajar. Jadi, bukan lagi sekedar materi, namun nilai-nilai kebangsaan itu harus benar-benar sudah menjadi life style di dalam dan di luar sekolah. Inilah yang kemudian disebut dengan konsep ekosistem sekolah yang ramah dan toleran.
Ada beberapa cara untuk membentuk ekosistem sekolah yang ramah dan toleran. Pertama, menanamkan nilai-nilai toleransi kepada anak didik (pelajar). Nilai-nilai ini diperkuat dalam kurikulum pembelajaran, terutama dalam pendidikan agama. Nilai-nilai ini yang akan mengantarkan warga sekolah pada sebuah pemahaman, cara memandang suatu perbedaan dan bagaimana menyikap perbedaan itu.
Kedua, praktek dan lingkungan belajar yang merdeka. Sampai hari ini banyak sekolah yang tidak membuka diri terhadap siswa dari golongan, ras, dan agama lain. Praktek yang terjadi selama ini lebih banyak pada pola interaksi siswa antar agama, golongan dan ras saja. Sehingga, ketika dihadapkan dengan keragaman, siswa menjadi berubah.
Praktek dan lingkungan belajar yang merdeka menghendaki siswa berinteraksi, belajar, diskusi bahkan bekerja sama dengan siswa lain yang lain aqidah, golongan dan sejenisnya. Dengan pola belajar seperti ini, dengan sendirinya siswa akan mulai terbiasa dengan perbedaan.
Ketiga, pengajar yang inklusif, toleran dan ramah. Benih-benih intoleransi di sekolah menguat karena pengajar yang menentukan arah pemahaman keagamaan pelajar. Dalam konteks membentuk ekosistem sekolah yang ramah terhadap semua insan pelajar dan toleran, pengajar atau guru—terutama guru agama—patut menjadi perhatian utama.
Dan dalam konteks itu pula, pengajar harus mampu merefleksikan dan meninternalisasikan nilai-nilai agama dengan prinsip bernegara. Misalnya, pilar negara Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945 dan NKRI harus benar-benar dipahami secara komprehensif dan pengajar mampu menjelaskan dengan baik bahwa pilar-pilar negara itu juga merupakan ajaran dan perintah dalam agama sehingga harus diterapkan.
Dengan demikian, subtansi ekosistem sekolah yang ramah dan toleran adalah menyangkut perilaku, nilai-nilai sikap dan cara hidup warga sekolah, yang kesemuanya harus berjalan beriringan dan berkelanjutan. Jika nilai-nilai itu berjalan dengan baik, maka ekosistem sekolah yang ramah dan toleran yang menjadi dambaan seluruh elemen bangsa akan benar-benar terwujud. Semoga!