Meneguhkan Inklusi Sosial di Tengah Jebakan Radikalisme

Meneguhkan Inklusi Sosial di Tengah Jebakan Radikalisme

- in Narasi
1584
0

Radikalisme dan terorisme menjadi paham dan gerakan yang tidak bisa dianggap pepesan kosong. Di tengah iklim demokrasi di Indonesia, semua ideologi bisa berkembang secara nyaman. Kaum radikal memiliki kebebasan menyebarluaskan paham ideologinya, bahkan dilakukan secara terbuka dan transparan. Terbukti mereka begitu mudahnya menyebarkan propaganda kebencian, hoax, dan fitnah di luar kelompoknya. Simpati publik juga bisa mereka rebut, dengan dalih kondisi ekonomi umat, terdzalimi, terkalahkan, dan cara-cara lainnya.

Dalil agama menjadi rujukan utama di dalam penyebaran paham radikal. Atas nama ayat al-Quran dan hadits nabi, paham radikalisme menyebar luas biasa. Kapolri, Jenderal Tito Karnavian (2017) sampai menegaskan bahwa unsur terpenting dari radikalisasi adalah adanya proses transfer ideologi. Proses itu sebenarnya memiliki dampak positif dan negatif terhadap pola pikir seseorang dalam memandang sebuah ajaran atau pemahaman. Radikalisasi bisa berdampak negatif jika meyakini cara kekerasan dalam menyebarkan suatu pemahaman.

Karena itu, radikalisme adalah jebakan. Mereka yang masuk dalam lingkaran radikal, akhirnya terjebak dan kesulitan untuk keluar. Kita lihat saja fakta yang terjadi akhir-akhir ini. Sepanjang Januari-Juni 2017, 161 orang atau 52 keluarga WNI yang dideportasi dari Turki karena hendak bergabung dengan al-Dawla al-Islamiya fi al-Iraq wa al-Sham (Daesh) telah kembali ke Indonesia. Mereka berasal dari 12 provinsi di nusantara. Berdasarkan data LSM C-SAVE (Juli 2017), provinsi dengan pengikut terbanyak adalah Jawa Barat, dengan jumlah 13 keluarga. Disusul Jawa Timur dengan 10 keluarga, Jawa Tengah 8 keluarga, Lampung 5 keluarga, DKI Jakarta dan Banten masing-masing 4 keluarga. Juga Sumatera Barat, Jambi, Kalimantan Barat, Aceh, Batam dan Sumatera Selatan masing-masing 1 keluarga.

Meneguhkan Inklusi Sosial

Untuk membentengi negara tercinta ini, harus dihadirkan inklusi sosial yang bersumber dari Pancasila. Jangan sampai Pancasila dibenturkan dengan dalil agama, karena nilai-nilai dalam Pancasila sejatinya bersumber dari nilai-nilai ajaran semua agama di Indonesia. Dalam konteks ini, menurut Syaiful Arif (2017), perlu kiranya menguatkan Pancasila sebagai agama publik. Arif merujuk pada Benyamin F. Intan dalam Public Religion and the Pancasila Based-State of Indonesia (2006) yang menyatakan, Pancasila merupakan “agama publik” di Indonesia. Di sebut “agama publik”, karena ia mewakili nilai-nilai kepublikan (kebaikan publik) dari agama. Sejak ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan merupakan perintah agama. Persoalannya terletak di dalam definisi agama di dalam “agama publik” tersebut.

Dalam kaitan ini, lanjut Arif, perlu dipahami dua macam definisi agama. Pertama, definisi eksistensial. Kedua, definisi fungsional. Dalam definisi pertama, agama merupakan nilai yang memiliki prasyarat eksistensialnya sendiri. Prasyarat ini berisi teologi, kitab suci, rasul, ritus dan umat. Sedangkan dalam definisi kedua, agama dilihat dari sisi kemanfaatannya, baik personal maupun sosial. Setiap agama memiliki eksistensi dan fungsi. Dan istilah “agama publik” merujuk pada fungsi sosial (publik) dari agama. Artinya, setiap agama memiliki nilai-nilai tentang kehidupan masyarakat yang baik, yang berguna untuk membuat masyarakat menjadi baik. Dalam konteks ini, Pancasila memang bukan agama dalam arti agama personal, namun ia merupakan “agama publik” karena mewakili nilai-nilai sosial agama-agama.

Nilai-nilai kepublikan dari agama-agama ini harus hadir untuk meneguhkan inklusi sosial. Bagi Yudi Latif (2017), Pancasila merupakan ideologi komprehensif tentang inklusi sosial yang ingin menyertakan keragaman agama dan kepercayaan, asal usul manusia, ragam etnis dan adat istiadat, serta aliran politik dan kelas sosial dalam kehidupan publik. Dari sudut pandang paradigma Pancasila, meningkatnya kecenderungan eksklusi sosial yang menampakkan diri dalam aneka bentuk kekerasan sosial berbasis fundamentalisme keagamaan, tribalisme, premanisme, serta sentimen kelas sosial mencerminkan lemahnya proses institusionalisasi dan implementasi nilai-nilai Pancasila.

Dalam konteks inklusi sosial, sila pertama masih pondasi utama. Inklusi sosial haruslah mencermikan semangat “ketuhanan yang berkebudayaan”, yang lapang dada dan toleran. Banyak orang beragama tidak mengembangkan sifat ketuhanan (meniru sifat rahman-rahim/welas-asih Tuhan). Modus beragama berhenti sebagai pemujaan eksterioritas formalisme peribadatan, tanpa kesanggupan menggali interioritas nilaispiritualitas dan moralitas ketuhanan. Ini akan menjadi penghancuran ke dalam dan ancaman ke luar.

Penegasan Yudi ini menegaskan ketuhanan dalam Pancasila sebagai “ketuhanan yang welas asih dan lapang dada”. Ini merupakan pengamalan nilai-nilai ketuhanan melalui sifat welas asih (kemanusiaan) dan lapang dada (toleransi persatuan bangsa). Mengembangkan sifat welas asih ini, ketuhanan Pancasila diamalkan melalui keterlibatan umat beragama dalam proses demokratisasi demi tercipatnya keadilan sosial bagi kehidupan bersama.

Dengan demikian, bagi Arif (2017), Pancasila tidak hanya mengajarkan teologi inklusif, tetapi praksis dan transformatif. Inklusif karena ia hadir dengan penghormatan kepada ragam konsep teologi antar-agama. Praksis karena mengandaikan umat, tidak hanya sibuk dalam seremoni ibadah individual, melainkan terlibat dalam praksis politik demi terwujudnya masyarakat demokratis. Dengan demikian, teologi Pancasila ialah teologi politik, yang menggeser identitas individu dari sebatas umat beragama yang saling berbeda, menjadi rakyat yang bersatu demi terwujudnya cita-cita kerakyatan. Inilah yang dimaksud Koentowijoyo sebagai teo-demokrasi. Kita mempraktikkan demokrasi karena perintah Tuhan. Oleh karena itu, alih-alih bertentangan dengan agama, Pancasila justru merupakan rumusan teologis yang menjadi pancaran nilai-nilai agama.

Semua anak bangsa harus meneguhkan inklusi sosial bersumberkan Pancasila, sehingga jebakan radikalisme mudah diwaspadai dan Indonesia tegak kembali sebagai negara, yang bahasa Bung Karno, “bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu.”

Facebook Comments