Sejak Presiden Jokowi mengumumkan kasus positif corona 02 Maret 2020, selang 27 hari ia kembali memutuskan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Darurat Kesehatan. Bahkan dalam pernyataannya tersebut, ia juga menyebutkan tentang Darurat Sipil. Beberapa pilihan kebijakan ini didasarkan pada, terutama, UU Kekarantinaan Kesehatan.
Dari semua payung hukum atas kebijakan-kebijakan itu, saya kira, banyak orang yang masih bingung tentang istilah “dugaan” dan “kemungkinan.” Taruhlah kebijakan PSBB, apa kriteria “dugaan” maupun “kemungkinan” itu? Seperti di wilayah Jawa Timur yang mayoritas kabupaten dan kota sudah berstatus zona merah dengan ukuran adanya orang yang secara positif terjangkit wabah corona.
Apakah kebijakan PSBB tersebut mesti diterapkan pada semua zona, baik hijau, kuning maupun merah? Tapi, dengan mengingat baik UU Kekarantinaan Kesehatan maupun kebijakan PSBB di mana ia didasarkan, bahasa-bahasa hukumnya yang bersifat pencegahan seperti misalnya “dugaan” dan “kemungkinan,” lantas apakah semua kebijakan itu akan bersifat efektif mengingat wilayah dengan status zona merah seperti di Jawa Timur sudah terkonfirmasi ada yang positif terjangkit wabah corona? Andaikata dipandang efektif, lantas bagaimana dengan penerapan pada wilayah yang berstatus zona kuning dan hijau?
Taruhlah pula semua kepala daerah mesti mengusulkan terlebih dahulu pada presiden untuk menerapkan kebijakan PSBB seperti yang tercantum dalam ps. 2 dan 5 PP PSBB. Tapi mesti berapa lama keputusan presiden terhadap usulan masing-masing kepala daerah tersebut rampung mengingat korban wabah corona makin bertambah tiap hari—bahkan prosentase yang meninggal dunia lebih banyak daripada yang sembuh?
Wabah, tak seperti ancaman perang dan bencana alam yang dapat dengan mudah dideteksi, seperti yang dilukiskan dalam pocapan adegan gara-gara dalam pertunjukan wayang kulit, “esuk lara sore mati,” kehadirannya tak dapat ditangkap oleh indera. Ia hanya dapat dikenali sesudah terkena. Karena itu apakah akan cukup efektif kebijakan PSBB tersebut?
Saya kira, sebagai seorang yang tinggal di wilayah Jawa Timur yang sudah jelas peta zona-zona wilayahnya, PSBB akan efektif diterapkan pada wilayah-wilayah yang berstatus zona hijau dan kuning mengingat sifat kebijakan itu adalah pencegahan. Adapun wilayah-wilayah dengan status zona merah sepertinya bukan lagi memerlukan kebijakan PSBB karena sudah jelas statusnya.
Baca Juga : Media Distancing dan Model Literasi Media Berbasis Keluarga
Dengan melihat itu semua, haruskah pemerintah menerapkan kebijakan Darurat Sipil pada wilayah yang berzonma merah sebagaimana di Jawa Timur—atau bahkan semua wilayah mengingat hari ini, 05/04/’20, ada satu kabupaten lagi yang ditetapkan sebagai zona merah di Jawa Timur—di mana sudah pasti ia perlu meyakinkan publik yang luas terkait kemungkinan pelanggaran HAM sebagaimana yang diperdebatkan sebagian masyarakat?
Darurat Sipil dan Konsep HAM
Saya pribadi tak pernah mengaitkan Darurat Sipil dengan kekhawatiran akan pelanggaran HAM sebagaimana yang menjadi keberatan sebagian masyarakat. Hanya saja, dari sudut pandang logika, andaikata sistem nilai keagamaan sekaligus bentuk peribadatannya saja, yang diyakini pengikutnya sebagai “sakral,” dapat berubah sesuai dengan konteksnya maupun karena kondisi darurat. Lantas kenapa perlu berkeberatan atas penerapan Darurat Sipil itu dengan mengatasnamakan HAM yang notabene tersistematisasikan oleh konsepsi Barat yang terkenal sekular?
Andaikata sebagian orang beragama saja, karena kondisi darurat, tak khawatir akan konsekuensi hukum keagamaannya yang bersifat “akhirat,” sekali lagi karena kondisi darurat, lantas kenapa orang perlu ribut atas kebijakan Darurat Sipil dengan dalih kemungkinan pelanggaran HAM? Saya tak mengatakan bahwa agama nihil akan nilai-nilai HAM, tapi penafsiran dan penemuan nilai-nilai HAM dalam agama sudah pasti tak dapat lepas dari kerangka pikir Barat yang sekularistik.
Orang pun sesungguhnya patut bertanya kembali, andaikata orang Indonesia yang terkenal religius dan menganggap bahwa perkara agama adalah hal yang sensitif—sampai di negara ini ada pasal penistaan agama segala—dapat menafsirkan dan melakukan apa yang menjadi keharusan agama sesuai dengan konteksnya, kenapa tak secara adil mulai juga berpikir kontekstual terkait dengan nilai-nilai HAM? Padahal, sebagaimana yang kita tahu, tradisi pemikiran Barat enggan atau bahkan sama sekali tak mau, setelah keruntuhan komunisme, menjadikan pemikiran tertentu sebagai sebentuk ideologi yang bersifat tertutup dan li kulli zaman wa al-makan? Sehingga sampai di sini orang pun patut bertanya lagi, lantas siapakah di antara kita yang sesungguhnya “radikal”?
Saya kira, dalam hal ini, dan terutamanya kawan-kawan dari LSM, perlu juga belajar semangat ijtihad dari para agamawan. Terkadang, niat mulia harus berbenturan dengan keadaan yang tak selalu sesuai dengan niatan kita. Itulah kenapa revolusi selalu saja berakhir dengan menelan anak kandungnya sendiri. Tak terhitung mulai dari Lenin, Mao Tse Tung, Taliban di Afghanistan, Abu Bakar al-Baghdadi (IS), revolusi mahasiswa ’98 yang justru melahirkan ekspresi kebablasan politik identitas yang pada akhirnya kontra terhadap gerakan-gerakan demokrasi dan progresif itu sendiri, dst. Dalam kancah pemikiran Barat, kita mengenal yang namanya metode falsifikasi yang dapat pula digunakan pada ranah-ranah yang tak ilmiah. Falsifikasi Popperian mengajarkan kita satu hal: bahwa kebenaran adalah kebenaran sampai kita dapat membuktikannya salah. Maka, untuk keselamatan publik yang luas, sebagaimana yang juga diperintahkan oleh agama, apapun dapat dan perlu ditempuh.