Menjadi Millennial Berjiwa Pancasila

Menjadi Millennial Berjiwa Pancasila

- in Narasi
2535
0
Menjadi Millennial Berjiwa Pancasila

Membumikan Pancasila di tanah penuh dengan keragaman tidak semudah membalikan telapak tangan. Serangan demi serangan politik terarah ke Pancasila. Ini terlihat setelah satu dasawarsa setelah proklamasi kemerdekaan, cara pandangan warga bangsa terhadap Pancasila masih tercerai-berai. Bahkan tafsir satu sama lain saling menyalahkan. Saling mencurigai mengenai tafsir demi kepentingan individual atau kelompok semata. Sidang-sidang Konstituante (dewan pembentuk undang-undang) berhari-hari dihangatkan dengan pertentangan pendapat, memilih falsafah Pancasila atau falsafah Pancasila yang bernuansa keagamaan.

Melalui sidang serta musyawarah yang demokratis, tafsir-tafsir Pancasila mulai menemukan titik terang serta memahami cita-cita universal Pancasila. Meskipun pemahaman itu mulai terlihat selaras, tetapi beberapa golongan masih mempertanyakan konsistensi dan relevan mengenai Pancasila sebagai falsafah masyarakat. Terlebih masyarakat kekinian. Masyarakat modern, masyarakat yang melihat semua kacamata secara material.

Dengan perubahan masa itu, Pancasila sebagai falsafah kehidupan manusia lambat laun mengalami pendewasaan. Salah satu yang dihadapi dalam pendewasaan Pancasila sebagai falsafah kehidupan masyarakat Indonesia adalah cara berpikir prakmatis, realitis dan agamis. Tantangan ini harus dijawab, terutama harus diformulasikan oleh generasi milenial yang akan menjadi penerus bangsa ini untuk 50 tahun ke depan. Oleh sebab itu, komunikasi yang konstruktif, dialogis, dan sesuai dengan zaman antargenerasi adalah syarat penting.Ini agar Pancasila dapat beradaptasi dengan lingkungan-lingkungan baru yang berbeda dengan situasi ketika Pancasila dicetuskan.

Demi menjaga marwah dan ruang hidup Pancasila dalam kehidupan masyarakat Indonesia kekinian, setidaknya ada pemahaman Pancasila yang kekinian tidak meninggalkan nilai-nilai dan tujuan universal Pancasila sebagai falsafah kehidupan masyarakat luas. Tanpa adanya pembaruan dalam pemahaman Pancasila, maka Pancasila dapat tenggelam dalam falsafah impor yang mengancam keberagaman serta keragaman yang ada di Indonesia.

Semisal memasukkan nilai-nilai falsafah Pancasila dalam kehidupan sehari-hari yang mudah dijumpai oleh masyarakat Indonesia. Seperti musisi pada zaman Soeharto memberikan seni pertunjukan tradisional untuk masyarakat yang di dalamnya terselip nilai-nilai universal Pancasila. Publik mulai ”dipatuhkan” sebagai konsumen atau apresiator Pancasila melalui wayang kulit, ketoprak, macapat, ludruk, lagu, novel, puisi, film, dan teater.

Berseni Pancasila menjadi kerja kolosal dan paling sukses selama masa Orde Baru. Seni tanpa Pancasila bisa menghasilkan pembakaran buku, pelarangan pentas teater, sensor film, dan pemenjaraan. Berseni Pancasila malah mulai disajikan ke bocah-bocah. Pembuatan inpres pengadaan buku bacaan anak pada masa 1970-an menjadikan sastra anak semakin berbobot dan bercap Pancasila. Berseni harus Pancasila.

Berseni yang memasukkan nilai-nilai universal falsafah Pancasila sangat terasa tatkala masuk dalam seni musik dan suara. Pada 1991, Amris Cipta Sarana menerbitkan buku berjudul Irama dan Lagu sebagai Upaya Melestarikan Pancasila. Propaganda penerbit: ”Diharapkan melalui keikutsertaan masyarakat, khususnya kalangan generasi muda, secara aktif turut mendendangkan lagu-lagu bernafaskan P-4 ini, maka usaha pemasyarakatan P-4 dapat lebih ditingkatkan penyebarluasannya.” Buku memuat 25 lagu.

Sosialisasi nilai Pancasila lewat seni, terutama musik dapat menjadi alternatif dari kecenderungan yang terlalu menekankan dimensi kognitif-normatif dengan pendekatan intelektualistis yang kering. Kekuatan suatu ideologi bukan hanya terletak relevansi ide-idenya, melainkan juga pada kapasitasnya untuk memberikan inspirasi dan membangkitkan gairah (passion) untuk bertindak (Yudi Latif: 2017).

Membumikan Pancasila memerlukan pendekatan interaktif antara dimensi kognitif-saintifik, ekspresif-estetik, dan praktis-moral. Ketiga dimensi itu bernilai setara sehingga kehilangan salah satunya berisiko kesenjangan dalam praksis Pancasila, seperti ketidakbersambungan antara pikiran (kognitif), perasaan (afektif), dan tindakan (konatif).Gejala-gejala rentannya mudahnya generasi penerus bangsa ini masuk dalam pemahaman radikal merupakan kesalahan dalam menyebarkan Pancasila. Secara garis besar, Pancasila hanya dihafalkan dalam bangku-bangku sekolah tanpa memperlihatkan tiga komponen sebelumnya.

Penanaman-penanaman nilai Pancasila dalam bahwa sadar melalui kegiatan yang kreatif dan menyenangkan akan membangkitkan para generasi kekinian merasakan hadirnya Pancasila secara nyata. Tidak hanya itu, rasa bersyukur memiliki keragaman melalui tangan Tuhan berupa Pancasila yang secara nyata telah mempersatukan dalam keragaman, ras serta bermartabat, bahkan penulis bisa katakan bahwa Pancasila lebih dari demokrasi. Pancasila adalah ideologi masa depan yang sudah ada pada masa lalu dan masa kini. Dalam menghadapi krisis ideologi besar saat ini, yang perlu dilakukan adalah me wujud kan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila menjadi realitas.

Pancasila harus bermakna bagi petani, buruh, perempuan, kaum miskin, intelektual, dan ekonomi rakyat. Akhirnya, masa depan Pancasila tidak bisa hanya tergantung pada negara dan pemerintah. Pancasila harus menjadi realitas yang mampu menjawab tantangan kehidupan masyarakat secara nyata. Pancasila sebagai pandangan hidup memberi arah, motivasi, dan energi untuk pencapaian keberkahan hidup. Memosisikan Pancasila sebagai pandangan hidup akan menghasilkan kekuatan lahir-batin sehingga manusia mampu menembus dimensi wujud, membuka pintu-pintu rezeki, meningkatkan harkat-martabat hidupnya.

Facebook Comments