Sebuah capaian yang menggembirakan ketika bangsa Indonesia mampu melalui tahun 2018 dengan baik. Bahwa sepanjang tahun 2018, masyarakat Indonesia diuji dengan ujian yang bertubi-tubi, mulai dari intoleransi yang menguat, bom bunuh diri di tempat ibadah, hingga bencana-bencana alam yang dipolitisir hanya untuk kepentingan politik praktis. Kita bisa dikatakan berhasil melalui tahun 2018 dengan segenap tantangannya, dibuktikan dengan keutuhan negara-bangsa NKRI.
Akan tetapi, sisa-sisa konflik di tahun 2018 tidak menutup kemungkinan akan terbawa di tahun 2019. Cukup mudah untuk menemukan contoh konkrit dari terjadinya kemungkinan tersebut. Misalnya paska kriminalisasi Ahok lantaran dianggap telah menista ayat al-Qur’an. Meskipun secara teologis ia tidak terbukti bersalah, tapi nyatanya iklim politik waktu itu memaksanya untuk masuk ke jeruji besi. Adapun dampak dari hal tersebut adalah semakin menguatnya politik identitas di kalangan akar-rumput. Bahwa Islam yang dalam konteks bernegara di Indonesia dijadikan spirit untuk merumuskan dasar-dasar negara dan segenap rumusan hukum, lambat laun berubah dan ada kecenderungan formalisasi syariat.
Kita menyadari bahwa begitu memasuki tahun 2018, ada banyak kasus intoleransi terutama seputar isu-isu agama. Sebagaimana diwartakan dalam kontan.co.id, bahwa Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) mencatat setidaknya ada empat aksi intoleran yang terjadi pada awal 2018. Keempat aksi intoleran tersebut diawali dengan serangan yang ditujukan kepada Kyai Umar Basri, pimpinan Ponpes Al-Hidayah, Jawa Barat.
Selanjutnya, pembubaran aksi sosial yang diadakan Gereja Santo Paulus, Bantul, Yogyakarta. Lalu, persekusi terhadap pemuka agama Budha Biksu Mulyanto Nurhalim di wilayah Legok, Tangerang. Sementara terakhir, adalah penyerangan membabi buta yang dialami oleh Pater KE Prier SJ, sejumlah umat, dan perusakan ornamen di kapel Stasi Lidwina, Bedog, Yogyakarta.
Kekerasan-kekerasan tersebut boleh jadi muncul dari perspektif cupet seseorang dalam memandang kebhinekaan. Tentu saja, kekerasan tersebut muncul dari paradigma intoleran, lalu tumbuh dalam diri orang tersebut membeci kelompok di luarnya. Kebencian ini lalu disalurkan melalui media sosial dan puncaknya adalah secara fisik.
Waktu terus berjalan dan ternyata intoleransi kian menguat. Memasuki pertengahan tahun 2018, bom-bom meletus di Surabaya, yang menyasar gereja-gereja dan kantor polisi. Ironisnya, hal tersebut terjadi jelang ramadhan, bulan suci yang diharap-harapkan umat Islam.
Baca juga :Mewujudkan Indonesia Damai dengan Konsep Hari Bebas Kebencian
Lalu, di akhir tahun, kita disuguhkan ‘tontonan’ yang tidak mengenakkan berupa pemotongan nisan salib di salah satu pekuburan di Yogyakarta. Dengan dalih kesepakatan, keluarga jenazah sebagai minoritas Kristiani di lingkungan tersebut (terpaksa) rela memotong nisan salib sehingga berbentuk T dan tidak melaksanakan doa arwah di kediamannya. Soal salib yang dipotong belum usang, muncul lagi permasalahan baru, yakni pemasangan baliho provokatif yang berisi tentang klaim bahwa Yesus adalah muslim, karenanya banyak yang mencintai. Menurut pihak yang bertanggung jawab atas pemasangan baliho tersebut, kalimat itu semata bertujuan agar umat Islam tidak ikut merayakan Natal. Hal ini tentu amat menyakitkan bagi umat kristiani.
Rentetan konflik tersebut, yang ternyata tidak jauh-jauh dari isu agama (dan politik), menjadi pelajaran berharga buat kita, supaya di tahun mendatang bisa lebih dewasa lagi dalam merespon perbedaan. Bukti sudah ada di depan mata, bahwa kekerasan yang muncul dari paradigma intoleran, hanya akan merugikan sesama.
Salah satu kunci terbaik untuk mengikis konflik tersebut adalah dengan menghilangkan rasa benci dalam diri. Usir rasa benci itu, lalu gantilah dengan kasih sayang kepada sesama. Apapun agama yang dianut, nilai universalnya selalu seiya sekata dengan misi-misi kemanusiaan.
Untuk menghilangkan rasa benci dalam diri, terutama ketika melihat perbedaan yang ada di sekitar, agaknya kita perlu berguru pada Ibnu Hajar al-Haitami. Ia berkata, “Mazhab kami benar, tetapi mengandung kekeliruan. Dan mazhab selain kami keliru, tetapi mengandung kebenaran.” (Rahmat: 2009)
Hidar Bagir juga pernah menjelaskan hal yang senada dengan pernyataan Ibnu Hajar al-Haitami. Ia berkata, terkait dengan prinsip-prinsip yang aku junjung tinggi itu, aku akan selalu menghargai atau mengapresiasi pendapat orang atau kelompok lain, betapapun pendapat itu segera tampak tak aku sepakati, asing, atau bahkan terdengar ofensif bagiku. (Rahmat: 2009)
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa perbedaan pendapat, termasuk juga keyakinan, tidaklah jadi soal dalam hal bersosial. Beda bukan berarti tidak boleh bersama, melainkan memperkaya khazanah keilmuan dan pengetahuan. Haidar Bagir secara teoritis telah menegaskan bahwa dirinya memiliki prinsip menerima perbedaan sebagai rahmat, sekalipun perbedaan itu sangat bertentangan dengannya. Karena menganggap sebagai rahmat, mustahil akan menjadikan perebdaan sebagai alasan untuk saling membenci dan mengumbar kebencian di dunia maya maupun nyata, demi mendapat simpati orang lain.
Maka, dengan prinsip semacam inilah kita bisa hidup berdampingan dengan sesama. Maka, melihat kondisi Indonesia sepanjang 2018 yang dipenuhi intoleransi –kerap juga memakan korban jiwa, seperti terorisme-, kita mesti membawa misi untuk meminimalisir kebencian dan harapannya bisa dihapus sama sekali. Apalagi, kita akan menyambut pemilihan Presiden 2019; menghapus ujaran kebencian dari dunia maya dan nyata, dengan begitu, sangatlah mendesak untuk dilakukan.
Jadikanlah tahun 2019 menjadi tahun zonder kebencian, demi indonesia yang lebih kondusif dan kehidupan masyarakat yang kian membaik