Pancasila dan Tantangan Keragaman Kita

Pancasila dan Tantangan Keragaman Kita

- in Narasi
3645
0

Keanekaragaman yang melekat dalam diri bangsa Indonesia adalah bersifat “given”. Sebagai sesuatu yang terberi, manusia Indonesia tidaklah mengusakan terjadinya perbedaan, karena perbedaan itu sudah melekat sejak lahir dan harus diterima apa adanya. Dimanapun dan dalam kondisi apapun, perbedaan itu akan tetap ada, baik pada level sosiologis, politik, antropologis, psikologis, dan lain sebagainya. Keragaman di sini termasuk latar belakang, gaya hidup, jabatan dan organisasi, status, mental, dan lainnya. Semua sudah melekat, terberi tanpa pernah meminta dan mengusahakan.

Di alam demokrasi ala Indonesia, keragaman menjadi potensi sekaligus menjadi ancaman. Berpotensi untuk membangun peradaban bangsa lebih maju dan sejahteran, tetapi juga ancaman disintegrasi dan konflik horisontal yang mudah disulut, apalagi disulut aspek sentimen agama. Bagi Chantal Mouffe dalam The Democratic Paradox (2000), membangun demokrasi tanpa adanya “lawan” merupakan hal yang berbahaya, sebab kondisi tersebut justru akan melemahkan demokrasi dan memperkuat pemerintahan yang otoriter.

Dilema yang diketengahkan Mouffe sangat menarik dalam konteks keragaman di Indonesia, terlebih di tengah isu primordial agama yang didemonstrasikan dalam berbagai media. Konflik politik dari Pilkada yang dibumbui dengan isu SARA menjadikan keragaman di Indonesia menjadi celah konflik yang sangat berbahaya. Di sisi lain, bangsa ini harus tetap menguatkan integrasi kebangsaan dan melakukan konsolidasi demokrasi berdasarkan pada potensi keragaman yang dimiliki warga bangsanya.

Di sinilah, peran Pancasila sangat krusial. Para pendiri bangsa sebenarnya sudah melakukan diskusi dan pendalaman serius terkait problem ini, sehingga melahirkan Pancasila sebagai dasar negara. Bung Karno menggali pancasila bukan dari dirinya sendiri, melainkan dari nilai luhur bangsa berdasarkan kekayaan tradisi, budaya, adat, dan agama. Pancasila adalah saripati kekayaan bangsa ini yang dituangkan para pendiri bangsa untuk merekatkan keragaman dalam kesatuan berbangsa dan bernegara.

Sebagai dasar pandangan hidup bernegara dan sistem nilai kemasyarakatan, Prof. Notonagoro (1975) melihat Pancasila setidak-tidaknya mengandung empat pokok pikiran. Pertama, negara Indonesia merupakan negara persatuan, yang Bhinneka Tunggal Ika. Persatuan tidak berarti penyeragaman, tetapi mengakui kebhinnekaan yang mengacu pada nilai-nilai universal ketuhanan, kemanusiaan, rasa keadilan dan seterusnya. Kedua, negara Indonesia didirikan dengan maksud mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan berkewajiban pula mewujudkkan kesejahteraan serta mencerdaskan kehidupan bangsa.

Ketiga, negara Indonesia didirikan di atas asas kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat tidak bisa dibangun hanya berdasarkan demokrasi di bidang politik. Demokrasi harus juga dilaksanakan di bidang ekonomi. Keempat, negara Indonesia didirikan di atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini mengandung arti bahwa negara Indonesia menjunjung tinggi keberadaan agama-agama yang dianut bangsa Indonesia.

Walaupun Pancasila sudah menjadi pegangan bersama, tetapi keragaman tetap menimbulkan ragam gejolak. Sebagai sesuatu yang given, yang terberi, tidak dapat ditolak, kecuali harus diterima dan diakui, keragaman tidak dengan sendirinya mendapat ruang yang kondusif bagi perkembangan dan pertumbuhannya. Ada banyak tantangan. Pertama, prasangka. Prasangka merupakan suatu sikap negatif yang belum dibuktikan kebenarannya. Prasangka yang ditujukan kepada orang ini didasarkan pada keanggotaannya pada salah satu kelompok khusus. Misalnya anda tidak mau bergaul dengan seseorang, hanya karena orang tersebut berasal dari agama yang berbeda dengan anda, atau berasal dari suku yang berbeda dengan anda. Rasisme merupakan bentuk prasangka yang destruktif. Rasisme meliputi kepercayaan bahwa satu kebudayaan lebih baik dari kebudayaan yang lainnya.

Kedua, etnosentrisme, merupakan suatu kecendrungan untuk menghormati dan menganggap bahwa kelompok sendiri, budaya, atau bangsa sendiri sebagai sesuatu yang lebih tinggi dari pada kelompok bangsa atau budaya yang lainnya. Ketiga, stereotype, sering meliputi perasaan- perasaan cinta terhadap kelompok sendiri (in-groups) dan benci atau takut terhadap kelompok-kelompok lain (out-groups). Stereotypes sulit diubah bahkan bila mereka salah. Banyak orang misalnya memiliki stereotype tentang orang miskin sebagai orang yang malas dan tidak bertanggung jawab.

Membangun Konsolidasi

Ada tugas penting bagi manusia Indonesia dalam menyikapi keragaman yang sudah melekat, yakni membangun konsolidasi demokrasi secara terus-menerus, tentu saja dengan visi sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Menurut Hafidz Nuur (2017), mengutip gagasan Mouffe, bahwa pada kondisi alami demokrasi yang mencakup kawan dan lawan, serta pertentangan gagasan dan kepentingan, perlu adanya seperangkat nilai bersama yang dihormati. Sedangkan isu primordialisme, yakni agama dan etnik baru-baru ini terkesan menjadi alat mobilisasi politik, harus diwaspadai dengan serius. Mengapa? Karena Indonesia adalah proyek yang belum selesai, sehingga untuk melanjutkan proyek ini, perlu secara intensif membicarakan struktur, proses sosial, perubahan sosial serta fenomena sosiologis yang berkaitan seperti globalisasi dan berbagai relasi sosial.

Pancasila harus diletakkan sebagai alat melakukan integrasi bangsa yang beragam. Pancasila jangan memaksakan keseragaman yang akan mengakibatkan integrasi koersif, seperti yang terjadi pada orde baru, sedangkan keberagaman membutuhkan integrasi fungsional. Yakni dengan melakukan pemerataan kesejahteraan dan utamanya kesadaran berbangsa. Tetapi juga ingat, banyak sekali solidaritas agama yang menyalahgunakan demokrasi berpotensi menjadi agresivitas massal yang anarkis. Bahkan mengarah padacivil disobedience,yakni ketidakpedulian pada segala peraturan yang ada. Namun negara tetap harus mempertahankan konsolidasi demokrasi sebelum potensi tersebut benar menjadi nyata.

Pancasila harus digerakkan sebagai pengikat semua anak bangsa dalam membangun konsolidasi kebangsaan, jangan hanya dibebankan kepada aparatur negara. Keterlibatan semua anak bangsa akan menjadi kekuatan yang menyimbangkan berbagai tantangan keragaman, karena Pancasila yang mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari anak bangsa akan melahirkan tata kehidupan yang saling membina, saling mengayomi, dan saling mengasihi. Gotong royong menjadi etiket bersama dalam keseharian.

Sejarah para pendiri bangsa sudah mengajarkan anak bangsa hari ini. Jejak hidup Bung Karno, Bung Hatta, KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, lainnya sangat jelas memberikan spirit perjuangan dalam membangun konsolidasi kebangsaan menuju bangsa yang beradab.

Menegakkan Keadilan

Untuk membumikan Pancasila dalam konteks berbangsa dan bernegara, maka keadilan menjadi kunci utama. Keragaman yang melekat ini potensi konfliknya tinggi, tetapi keadilan yang merata menjadi kunci bahwa keragaman akan menjadi kekuatan besar Indonesia sebagai referensi peradaban dunia membangun kedamaian dan kedaban. Agar keadilan bisa membumi, maka internalisasi Pancasila harus melibatkan ulama. Imam al-Ghazali menegaskan bahwa pemimpin negara jangan sampai meninggalkan ulama. Namun, seorang pemimpin nebgara juga harus cermat, tidak sembarang ulama yang harus diminta nasihat. Ulama Suu’ (ulama jahat) justru menjerumuskan negara pada kerusakan. Cirinya, mereka selalu memuji-muji pemimpin secara tidak wajar, tujuan dakwahnya selalu mengarah pada duniawi. Sebaliknya seorang ulama sejati (ulama al-akhirah) ia sama sekali tidak mengharapkan balasan uang dari tangan seorang penguasa, ia memberi nasihat murni ikhlas karena meminginginkan perbaikan dalam diri penguasa, negara dan masyarakat.

Sementara Bukhari al-Jauhari, ulama besar abad ke-16 asal Aceh dalam kitabnya Tajus Salatin menjelaskan bahwa penguasa yang baik seorang yang menggunakan akal pikiran dengan baik dalam menjalankan segala perbuatan dan pekerjaannya, khususnya dalam pemerintahan. Ada beberapa tanda bagi penguasa yang baik. Pertama, bersikap baik terhadap orang yang berbuat jahat, menggembirakan hatinya dan memaafkannya apabila telah meminta maaf dan bertobat. Kedua, bersikap rendah hati terhadap orang yang berkedudukan lebih rendah dan menghormati orang yang martabat, kepandaian dan ilmunya lebih tinggi. Ketiga, mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan cekatan pekerjaan yang baik dan perbuatan yang terpuji. Keempat, membenci pekerjaan yang keji, perbuatan jahat, segala bentuk fitnah dan berita yang belum tentu kebenarannya. Kelima, menyebut nama Allah senantiasa dan meminta ampun serta petunjuk kepada-Nya, ingat akan kematian dan siksa kubur. Keenam, mengatakan hanya apa yang benar-benar diketahui dan dimengerti, dan sesuai tempat dan waktu, yaitu arif menyampaikan sesuatu. Ketujuh, dalam kesukaran selalu bergantung kepada Allah swt dan yakin bahwa Allah dapat memudahkan segala yang sukar, asal berikhtiar dan berdoa dengan sungguh-sungguh.

Iya, penguasa yang baik menjadi ujung tombak pribumisasi keadilan Pancasila. Tentu saja, warga negara yang baik juga aspek utama. Penguasa dan warga negara yang baik akan menjadi kunci utama membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila yang hadir dalam keseharian warga bangsa menjadikan keragaman Indonesia sebagai potensi besar lahirnya peradaban Indonesia masa depan.

Facebook Comments