Pancasila: Pilar Ideologi Inklusif dan Wawasan Nusantara

Pancasila: Pilar Ideologi Inklusif dan Wawasan Nusantara

- in Narasi
1135
1
Pancasila: Pilar Ideologi Inklusif dan Wawasan Nusantara

Belakangan ini, kita kembali disuguhkan perdebatan terkait Pancasila sebagai ideologi fundamental kita dalam bernegara. Dalam beberapa kesempatan baik pemerintah dan beberapa kelompok masyarakat menyatakan dengan tegas keharusan semua pihak menjadikan Pancasila sebagai dasar fundamental baik secara eksplisit maupun impilisit. Namun oleh beberapa kelompok masyarakat lainnya menafsirkan hal yang berbeda dalam melihat posisi landasan ideologi bangsa ini.

Fluktuasi perdebatan ini nampaknya tidak bisa dilihat semata sebagai riak kecil politik di tingkatan elite, sebab ternyata di level akar rumput pun perdebatan demikian mulai mengarahkan pada hadirnya keterpecahan pandangan. Sehingga rasanya tidaklah berlebihan bila hari ini kita mulai sangat mewaspadai lahirnya semangat penggantian pilar ideologi inklusif sekaligus wawasan nusantara, yaitu Pancasila dengan ideologi lainnya.

Bila kita berkaca dari survei yang dilakukan oleh Cyrus Network pada periode Juli 2019, terhadap responden yang bergama Islam di 34 provinsi di Indonesia, maka mungkin kita akan menemukan beberapa hal yang melegakan sekaligus mengejutkan. Meskipun dari survei tersebut Cyrus Network memotret jumlahan persentase masyarakat yang menginginkan Pancasila sebagai landasan fundamental masih tinggi, namun keberadaan beberapa pihak yang mengingingkan penerapan syariat Islam bahkan ideologi khilafah sebagai ideologi negara tidaklah sedikit. Setidaknya terdapat 11% responden yang menginginkan penerapan syariat Islam dan 4,7 % responden yang menginginkan penerapan ideologi khilafah.

Hal ini potensial merisaukan, sebab alam demokrasi jelas memberikan peluang kepada ideologi apa pun termasuk pandangan yang bertentangan untuk bisa hidup. Sehingga rasanya sangat beralasan bila kewaspadaan terhadap perkembangan ideologi selain Pancasila mesti ditingkatkan levelnya.

Persoalan di atas mengetengah tentunya berlatar fenomena agama yang belakangan menguat eksistensinya di ruang publik, persisnya pasca reformasi bergulir. Sebagai sebuah catatan kecil saja, pengamatan kritis terhadap penguatan eksistensi agama di sini semata bertujuan untuk memposisikan agama agar tak jauh dari Kemanusiaan, seperti halnya pandangan Gus Dur untuk bangsa ini. Sebab belakangan ini penguatan eksistensi agama pada ruang publik bangsa ini pada gilirannya menghadirkan banyak persoalan intoleransi.

Baca Juga :Ideologi Pancasila Sebagai Jalan Ketiga Antara Sekulerisme dan Islamisme

Atas nama mayoritas, beberapa kelompok yang mencirikan dirinya dengan identitas kegamaan tertentu kemudian memaksakan “pemahaman kebenarannya” kepada publik. Padahal kita mengetahui bersama bahwa negara ini berdiri bukanlah semata berdasarkan satu identitas saja. Sehingga pemaksaan “pemahaman kebenaran” identitas tertentu untuk dimaklumi dan diikuti di ruang publik atas nama mayoritas atau bahkan karena tekanan adalah sebuah persoalan yang serius terhadap kohesifitas bangsa yang selama ini dibingkai oleh Pancasila.

Pancasila Sebagai Pilar Utama

Mungkin bila berbicara mengenai Pancasila sebagai elemen persatuan akan terkesan klise dan membosankan untuk sekedar diulas semata dari sisi ideal patriotisme bernegara. Untuk itu ada baiknya bila kita mencoba melihat sedikit gagasan akademis dalam melihat posisi Pancasila sebagai elemen kuat pemersatu keberagaman yang ada. Dengan mengutip gagasan Robert Bellah dan Phillip Hammond mengenai ide agama sipil dalam bernegara dan fungsi integratifnya (Bellah dan Hammond, 1980), maka dengan cepat kita akan melihat keberadaan agama sipil sebagi elemen pemersatu kita dalam bingkai landasan ideologi negara ini, yaitu Pancasila.

Dengan beranjak dari gagasan seorang J.J Rouseau dan Emile Durkheim serta melihat fenomenanya dalam integrasi yang terjadi dalam sebuah negara, Bellah melihat bahwa elemen pemersatu dalam rupa agama sipil penting untuk hadir terutama bagi negara-negara yang terbentuk dari keragaman. Perlu diingat, konsep agama sipil yang dimaksudkan oleh Bellah di atas bukanlah semacam agama dalam bingkai spiritualitas – layaknya gambaran agama yang kita kenal pada umumnya. Agama sipil yang dimaksud Bellah adalah sebuah pemahaman persatuan bangsa dengan kualitas integratif layaknya agama dengan simbol-simbol dan pandangan tertentu di dalamnya.

Untuk itu rasanya adalah sebuah keberuntungan bagi bangsa ini sempat memiliki para pendiri bangsa yang sungguh mengenali keberagaman sosio-kultural yang dimilikinya dan membingkainya dalam payung ideologi Pancasila. Kemampuan bung Karno dan banyak tokoh bangsa ini dalam mengenali diri bangsa serta semangat menjunjung tinggi nilai peradaban manusia Indonesia dan keberagamannya menjadikan landasan ideologi Pancasila mengetengah sebagai jalan keluar sekaligus pilar kita bernegara. Sehingga rasanya bukan hal yang berlebihan bila kemudian kita menaruh kecurigaan terhadap langkah pihak-pihak yang ingin mengganti landasan ideologi bangsa ini.

Perlu kita ingat bersama, pemahaman akan wawasan nusantara membuat kita membutuhkan Pancasila sebagai ideologi inklusif. Bila ideologi inklusif yang menjadi jiwa bangsa ini harus digeser dan digantikan dengan ideologi lainnya, maka sama saja agama sipil pemersatu bangsa ini akan dihilangkan dan diganti dengan keseragaman karena keserakahan yang dibungkus oleh kemasan agama. Bila sudah begitu, mekanisme imunitas kita terhadap ideologi perusak citra bangsa pun menjadi pilihan utama dalam memperjuangkan keutuhan diri bangsa.

Facebook Comments