Pentingnya “Lawan Sastra Ngesti Mulya” dalam Membentuk Karakter Bangsa!

Pentingnya “Lawan Sastra Ngesti Mulya” dalam Membentuk Karakter Bangsa!

- in Narasi
1965
0

Tepat 26 April 1959 bangsa Indonesia kehilangan Ki Hadjar Dewantara. Sudah 60 tahun beliau wafat tetapi ruh perjuangannya masih melekat dalam dunia pendidikan. Kerangka dan wujud pendidikan yang didirikan Ki Hadjar Dewantara menjadi pondasi awal pendidikan nasional. Jasa-jasa beliau dalam mencerdaskan bangsa tidak ternilai, tinggal bagaimana para penerus bangsa ini menempatkan pendidikan pada jalur menuju kemuliaan. Sebagaimana petuah Ki Hadjar Dewantara, “Lawan Sastra Ngesti Mulya” yang artinya dengan ilmu kita menuju kemuliaan.

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara terkait “Lawan Sastra Ngesti Mulya” sangatlah relevan dengan surat Hud ayat 24 yang artinya, “Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran (daripada perbandingan itu)?”.

Dari surat Hud Ayat 24 dapat ditafsirkan bahwasanya orang yang berpendidikan memiliki derajat dan kemuliaan sebagaimana kata Ki Hadjar Dewantara dalam ajaran-ajarannya. Melalui pendidikan harapannya generasi milenial tidak terbawa arus teknologi kejalur radikalisme. Harapannya dengan pendidikan generasi milenial bisa lebih memanusiakan manusia. Jangan sampai dengan pendidikan malah menjadikan sifat-sifat tidak terpuji. Sebab tidak sedikit radikalisme juga dari orang-orang terdidik, tetapi mungkin mereka lupa bahwasanya inti dari pendidikan itu kemanusiaan.

Perjuangan Ki Hadjar Dewantara dalam pendidikan Indonesia tidak mudah. Awal-awal perjuangannya beliau melalui tulisan-tulisan yang dimuat di koran-koran nasional dan internasional. Berkat tulisan-tulisan itu mampu memacu semangat perjuangan Indonesia. Perlawanan Ki Hadjar Dewantara terhadap pemerintahan Hindia Belanda melalui tulisan membuat beliau disiksa dan keluar masuk penjara.

Baca juga :Mengakhiri Permusuhan Sebelum Ramadhan

Tanggal 18 Agustus 1913, seperti dicatat Ahmat Adam dalam Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (2003), keluarlah surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk Ki Hadjar Dewantara. Beliau akan dihukum buang. Dan keputusan finalnya, mereka diasingkan ke Belanda (hlm. 280). Akhirnya Ki Hadjar Dewantara kembali ke Indonesia pada 6 September 1919 setelah menjalani masa pembuangan selama 6 tahun.

Usai jadi orang buangan, Ki Hadjar Dewantara mulai akrab dengan penjara. Antara 5 Juni hingga 24 Agustus 1920, misalnya, ia meringkuk di dalam tahanan untuk menunggu perkaranya disidangkan, sebelum akhirnya dibui di Pekalongan. Belum lama bebas, Ki Hadjar Dewantara kena masalah lagi. Kali ini orasinya yang dituding menghina pemerintah. Awalnya ia dikurung di penjara Mlaten di Semarang, kemudian dipindahkan ke Pekalongan. Ki Hadjar Dewantara juga harus menjalani kerja paksa selama masa hukumannya.

Akhirnya Ki Hadjar Dewantara menemukan jurus jitu perlawanan terhadap Hindia Belanda yaitu melalui dunia pendidikan. Tepat tanggal 3 Juli 1922, berdirilah Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Lembaga Pendidikan Nasional Tamansiswa, dan sejak saat itu, Soewardi Soerjaningrat memakai nama baru: Ki Hadjar Dewantara.

Kendati tidak lagi menyerang secara frontal, Soewardi alias Ki Hadjar tetap melalukan perlawanan. Taman Siswa murni independen, Ki Hadjar menolak mentah-mentah subsidi dari pemerintah kolonial. Ia juga kerap melawan kebijakan pendidikan kolonial yang dianggapnya merugikan rakyat Indonesia.

Usai Indonesia merdeka pada 1945, Sukarno selaku presiden RI meminta Ki Hadjar Dewantara untuk menjadi Menteri Pengajaran (Pendidikan) meskipun jabatan ini tidak lama diampunya. Maka dari jasa-jasa beliau setiap tanggat 2 Mei sebagai hari lahir Ki Hadjar Dewantara diperinggati sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Ada tiga ajaran Ki Hadjar Dewantara terkait pendidikan karakter yang terkenal dengan sebutan Trilogi Pendidikan. Arti dari semboyan Trilogi Pendidikan ini adalah: Tut Wuri Handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan Ing Ngarsa Sung Tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik).

Sudah waktunya guru-guru meninggalkan metode lama mengajar yang hanya sekadar melaksanakan tuntutan tugas dan mengejar target kurikulum semata, sehingga tidak memiliki idealisme menjadi seorang pendidik. Tinggalkan mengajar tanpa dilandasi hakikat dari mengajar itu sendiri.

Guru dituntut untuk kembali seperti yang Ki Hajar Dewantara katakan yakni seorang yang Ing Ngarso Sing Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani. Guru yang bukan hanya mengajar, tapi juga mendidik dan menyayangi anak didiknya seperti anak kandung untuk menjalan fungsi pamong dalam ajaran Ki Hadjar Dewantara.

Aktualisasi ajaran Ki Hajar Dewantara di era milenial ini untuk membangun karakter bangsa. Wujud dari berhasilnya pendidikan Indonesia dapat diukur dari generasi yang toleran dan menjunjung nilai-nilai Pancasila. Generasi penerus bangsa harus memiliki sifat kesatria selayaknya Bapak Pendidikan Nasional yang mampu memuliakan Indonesia dengan kemerdekaan dari penjajah.

Facebook Comments