Prinsip Moderasi Beragama di Masa Pandemi

Prinsip Moderasi Beragama di Masa Pandemi

- in Narasi
2862
0
Prinsip Moderasi Beragama di Masa Pandemi

Akronim covid-19 atau lebih sering disebut dengan virus corona telah mewabah di Indonesia sejak pertengahan maret tahun ini, dan jumlah penderitanya semakin hari semakin meningkat, menurut data resmi pemerintah, sudah lebih dari 35 ribu orang terkonfirmasi positif covid-19 hingga pertengahan juni tahun ini. Angka yang tentu lumayan fantastis dikarenakan tiap hari masih ada saja yang terkonfirmasi positif virus corona.

Hal ini tidak lain dikarenakan adanya efek dari program stay at home, study at home, work from home and pray at homeyang dicanangkan oleh pemerintah dibantu oleh sejumlah ulama yang ada di Indonesia seringkali diabaikan oleh beberapa masyarakat Indonesia, tak ayal penyebaran virus yang seharusnya bisa ditekan malah seolah-olah semakin menjadi-jadi.

Proses denial oleh beberapa masyarakat ini sejatinya tidak lepas dari beberapa alasan, salah satunya adanya provokasi dari oknum-oknum tidak bertanggung jawab, yang menyebutkan bahwa pandemi virus corona yang juga tengah mewabah secara global ini merupakan agenda konspirasi dunia termasuk yang terjadi di Indonesia. Alih-alih menghasilkan sesuatu yang positif, informasi ini justru merugikan banyak pihak baik petugas medis, rakyat biasa, tenaga pengajar atau pelaku bisnis hingga ketataran pemerintahan.

Kontekstualisasi virus corona ini serupa dengan adanya virus yang sejatinya telah mencapai level pandemi hingga ratusan atau bahkan ribuan tahun, virus ini bersemayam di qalbu setiap manusia, yang apabila tidak segera diobati akan dengan cepat menjangkiti dan susah untuk disembuhkan. Selain itu, efek dari virus ini mungkin lebih membahayakan karena secara perlahan-lahan namun masif akan menyerang keharmonisan kehidupan manusia diseluruh dunia. Virus ini lebih sering kita kenal dengan bahasa virus radikalisme.

Catatan sejarah meyebutkan bahwa hampir setiap generasi terjangkit virus radikalisme ini, baik secara perorangan hingga ke taraf kelompok. Islam sendiri sebagai agama yang dikenal menjunjung tinggi hak-hak kemanusiaan, pun tak luput dari namanya virus radikalisme. Peristiwa terbunuhnya seluruh para Khulafa ar-Rasyidin (kecuali Abu Bakr as-Shiddiq) hingga terbunuhnya cucu Rasulullah menjadi bukti bahwa penyakit radikalisme adalah penyakit yang sangat berbahaya, yang dapat meracuni siapa saja dan menjadikan penderita hingga menjadi tidak lagi memiliki rasa kemanusiaan.

Baca Juga : Moderasi, Antibodi dari Radikalisme Saat Pandemi

Virus at-tataruf ad-din, merujuk kepada istilah yang diberikan oleh Yusuf Qardhawi, merupakan epidemi skala internasional yang jauh dari substansi ajaran agama khususnya Islam. Sesuai dengan istilah yang diberikan Yusuf Qardhawi, at-tataruf ad-din ini memiliki beberapa kelemahan yakni pertama rentan terjadi pelanggaran terhadap masyarakat lain, kedua, tidak disukai oleh kultur kemanusiaan, dan ketiga, tidak dapat bertahan lama, sehingga penderita akan senantiasa merasa tidak nyaman dengan keadaan masyarakat yang harmonis.

Sebagaimana diketahui bersama radikalisme atau paham radikal merupakan reaksi pengingkaran terhadap aturan sosial kemasyarakatan dengan menunjukkan sikap antipati dan mengumbar permusuhan. Penyakit radikalisme semakin diperparah dengan mulai melebarnya daya jelajah penyakit tersebut, sehinga tidak lagi pada dunia nyata namun telah masuk juga kedalam dunia digital. Freedom of speech yang semula merupakan sarana yang baik dalam bermasyarakat dan termasuk salah satu hak asasi manusia, perlahan-lahan terkontaminasi oleh virus mematikan ini.

Tidak jarang kita melihat banyak sekali, hoaxyang beredar yang bertujuan memecah persatuan dan kesatuan bermasyarakat atau sering pula kita jumpai ujaran kebencian, bullying, dan hal-hal yang sifatnya mematikan bagi pihak yang menjadi sasaran dari penyakit ini. Sekilas memang bahaya radikalisme digital ini tidak terlalu kelihatan secara langsung namun hakikatnya radikalisme digital mampu mematikan karakter seseorang hingga ke taraf depresi akut yang bisa berimbas fatal seperti melukai diri sendiri atau bahkan melakukan suicide.

Hal inilah yang seharusnya menjadi concern kita semua, selain fokus kepada penyakit jasmani, penyakit ruhani juga harus tidak luput dari perhatian kita. Pengobatan penderita paham radikalisme harus rutin dilakukan karena paham ini bisa kembali reaktif secara tidak menentu. Salah satu opsi dalam memberikan vaksin anti-radikalisme ini adalah melalui jalur penanam kembali pemahaman syariat agama dan korelasinya dengan ideologi negara yang dalam hal ini yakni pancasila.

Hakikat dasarnya Pancasila merupakan satu wadah yang mampu memoderasi secara baik nilai-nilai keberagamaan. Hal ini dapat tercermin nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri, dari nilai ketuhanan seperti dalam sila pertama, nilai kemanusiaan seperti dalam sila kedua, nilai pluralis atau istilah ke-Indonesiaannya adalah nilai ke-Bhinenakaan seperti dalam sila ketiga dan kelima serta nilai kebersamaan atau ta’awundan semangat gotong royong seperti dalam sila keempat.

Sejatinya radikalisme tidak dapat diberangus, hanya dengan melakukan penangkapan kemudian dilanjutkan ke persidangan dan diakhiri dengan menginap di hotel prodeo. Hal itu disebabkan karena radikalisme menyerang akal dan kejiwaan seseorang, yang apabila pengobatannya tidak sesuai “anjuran pakai” maka boleh jadi pelaku akan menjadi semakin beringas dan fanatik seraya tidak merasa bahwa dirinya terjangkit virus berbahaya.

Dengan adanya proses pemahaman sekaligus penerapan ideologi Pancasila sedari kecil, maka harapan agar nilai-nilai Pancasila berjalan dengan baik di Indonesia akan terwujud, hal ini setidaknya akan memberikan imunitas tambahan bagi negara Indonesia untuk terhindar dari penyakit radikalisme. Selain itu peran pemahaman dan pengaplikasian dalam beragama juga wajib dipupuk sedari kecil. Sikap keberagamaan yang benar akan menjadikan seseorang menjadi pribadi yang paripurna.

Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia diharapkan menjadi sarana dan prasarana bersama selain nilai-nilai kepancasilaan. Dalam islam dikenal adanya hak ketuhanan dan hak kemanusiaan, dimana hak ketuhanan diaplikasikan dalam bentuk prosesi ritual seperti shalat ataupun puasa, sedangkan hak kemanusiaan diaplikasikan dalam bentuk bersosial dan bermasyarakat tidak memandang perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan. Pengaplikasian ini sudah termaktub secara paripurna dalam Alquran dan sunnah Rasulullah.

Alquran seringkali mengajari manusia dengan cara langsung atau tidak langsung untuk tetap menghormati orang lain yang memiliki perbedaan dengan kita seperti adanya larangan untuk melakukan pembongkaran aib seseorang tanpa alasan yang memang sesuai porsinya (QS. 49:12) atau melakukan tindakan hingga berujung kepada penghilangan nyawa orang lain lain (QS 05:32).

Bentuk lain, Rasulullah sebagai manusia paling sempurna dalam ajaran agama Islam juga seringkali mengajari untuk menghargai orang lain seperti kisah yang terdapat dalam kitab shahih Bukhari, ketika Nabi memarahi perilaku dari salah seorang sahabatnya yang bernama Jundub ibn Junadah atau lebih dikenal dengan Abu Dzar al-Ghifari ketika melakukan penghinaan terhadap ibu dari saudara seimannya (dalam riwayat berbeda disebutkan sahabat tersebut adalah Bilal ibn Rabah). Perhatian semacam inilah yang perlu ada untuk masyarakat Indonesia kita saat ini, terlebih ketika pandemi virus corona yang masih bergetayangan di bumi Indonesia, janganlah kita masyarakat Indonesia juga terjangkit pandemi internasional yang bernama Virus Radikalisme.

Facebook Comments