Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman suku, budaya, ras, dan agama. Keanekaragaman tersebut menjadikan Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk. Ketika perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat dipadukan dalam suatu ruang integritas, akan membentuk solidaritas yang kuat.
Akan tetapi, apabila perbedaan-perbedaan tersebut tidak terkondisikan dengan baik, akan terjadi berbagai persoalan di kalangan masyarakat. Persoalan-persoalan tersebut dapat berpotensi mencerai-beraikan keutuhan dalam masyarakat. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi umat beragama dalam mewujudkan perdamaian adalah intoleransi dan radikalisme.
Indonesia sebagai negara yang bersifat heterogenitas secara kultural di dalamnya akan menjadikan perkembangan paham radikalisme semakin diterima secara mentah oleh masyarakat di Indonesia. Ditambah lagi dengan tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, menjadikan kesadaran akan bahaya dari paham radikalisme oleh masyarakat di Indonesia juga terbatas.
Radikalisme Islam di Indonesia muncul dan dipicu oleh persoalan domestik, di samping itu sebenarnya juga diakibatkan oleh konstelasi politik internasional yang dinilai telah memojokkan kehidupan sosial politik umat Islam. Dalam konteks domestik, misalnya, berbagai kemelut telah melibatkan kelompok Islam di Indonesia, mulai dari pembantaian kiai yang berkedok dukun santet di Poso tahun 1998 hingga tragedi yang terjadi di Ambon pada 1999.
Radikalisme dan agama
Merujuk pada konsep radikalisme yang kita pahami bersama, perlu digarisbawahi bahwa paham radikalisme tidak bisa untuk disandingkan pada kelompok masyarakat ataupun agama tertentu. Radikalisme merupakan pemahaman yang tumbuh di dalam setiap individu dalam menyikapi suatu hal dengan aksi-aksi yang ekstrem.
Radikalisme tak seharusnya terfokus pada umat Islam. Jika kita interpretasikan kembali konsep perlawanan yang kemudian melahirkan gerakan ekstremis, siapa pun juga memiliki tindakan radikal masing-masing tanpa terbatas aliran kepercayaan apa pun.
Pemahaman agama mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap sikap pemeluknya. Secara literal, Islam berarti pasrah kepada Tuhan dan kedamaian. Kedamaian dalam Islam mengacu pada kondisi batin yang ada pada setiap individu yang mengamalkan Islam, yakni seseorang yang berusaha memahami dan menjalankan kehendak Tuhan.
Namun, perjalanan hidup seseorang tidak terlepas dengan permasalahan yang dihadapi. Hal ini berpengaruh terhadap pemahaman dan pengamalan agama, yang terkadang menarik dan mendorong seorang individu pada tindakan ekstremisme karena menyangkut keyakinan dan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Pada hakikatnya, setiap agama tidaklah mengajarkan kekerasan dan cara-cara yang tidak manusiawi.
Pemahaman radikal muncul seiring dengan tekanan terhadap kelompok masyarakat dan tidak terpaku hanya pada golongan tertentu. Cara-cara perlawanan ekstrem yang cenderung lahir dari adanya pemahaman radikal juga tak mencerminkan masyarakat Indonesia dalam hidup berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi segala bentuk keberagaman yang ada.
Hal ini dibuktikan dengan slogan Bhinneka Tunggal Ika dalam menjunjung tinggi persatuan di atas keberagaman yang menghiasi warna persaudaraan di Indonesia. Pada akhirnya, berangkat dari impian kehidupan damai dalam masyarakat yang multikultural di Indonesia, peran negara dan masyarakat memang sangat diperlukan.
Karl Marx, seorang filsuf dari Jerman, menyatakan bahwa negara merupakan satu organisasi kekuasaan yang mempertahankan dirinya terhadap organisasi yang lainnya. Artinya, negara dalam hal ini berkewajiban untuk ikut andil dalam perdamaian di wilayahnya serta wajib untuk membentengi diri dari serangan paham-paham yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di wilayahnya. Menumbuhkan kembali semangat Pancasila dalam koridor persatuan adalah mutlak dilakukan.