“There will be no peace among the nations without peace among the religions.There will be no peace among the religions without dialogue among the religions”. Ungkapan Hans Kung itu kiranya relevan apalagi jika dikorelasikan dengan situasi Indonesia yang majemuk dalam hal budaya dan agama. Rasanya mustahil kita bisa mewujudkan perdamaian bangsa tanpa terlebih dahulu mewujudkan perdamaian antar-agama.
Sayangnya, alih-alih berdialog apalagi berkolaborasi untuk menyelesaikan problem kemanusiaan, umat beragama justru lebih kerap terlibat friksi bahkan konflik. Relasi umat beragama yang bernuansa segregatif dan konfliktual itu umumnya dilatari oleh setidaknya dua faktor. Pertama, masih kuatnya klaim kebenaran tunggal yang diyakini umat beragama. Yakni bahwa hanya ajaran agamanya yang paling suci dan benar sementara ajaran agama lain salah dan menyesatkan.
Kedua, adanya labeliasi negatif yang menganggap kelompok agama lain sebagai the stranger (asing) bahkan the enemy (musuh). Pola pikir yang eksklusif ini cenderung menjerumuskan umat beragama pada perilaku intoleran, disrkiminatif, dan menjurus pada ekstremisme dan kekerasan.
Datangnya tahun baru 2024 idealnya bisa menjadi momentum untuk melakukan perubahan paradigma keagamaan. Nalar klaim kebenaran tunggal agama yang mengarah pada eksklusivisme idealnya diubah ke arah yang lebih inklusif-moderat.
Sebagai umat beragama, kita wajib meyakini ajaran agama kita itu benar dan valid. Namun, keyakinan itu tidak harus divalidasi dengan melabeli ajaran agama lain dengan tudingan kafir, bidah, sesat dan sejenisnya.
Perubahan Paradigma Beragama; Dari Nalar Kompetisi ke Kolaborasi
Demikian pula, praktik labelisasi dan demonisasi yakni sikap menganggap agama lain sebagai musuh jahat idealnya juga diganti. Di era seperti sekarang, kita harus beranjak dari nalar kompetisi ke kolaborasi, dari paradigma konfliktual ke kerjasama, dan dari rivalitas menuju kemitraan (partnership).
Di era digital seperti sekarang, tantangan kehidupan manusia kian beragam. Tidak hanya dari sisi ekonomi dan politik, namun juga dari sisi sosial, kebudayaan, bahkan lingkungan hidup. Tidak hanya itu, perkembangan teknologi digital juga menyebabkan semua aspek dalam kehidupan manusia saling terkoneksi dan berkelindan satu sama lain. Tidak ada satu ranah pun dalam kehidupan manusia yang berdiri otonom alias tidak terikat dengan ranah lain. Pendek kata, setiap aspek kini saling mempengaruhi.
Isu agama dengan demikian, bisa sangat berpengaruh pada aspek ekonomi dan politik secara luas. Misalnya saja, serangan teror acak di sebuah kota bisa berdampak pada kondisi ekonomi dan politik negara tersebut, bahkan berefek global.
Contoh lainnya, ujaran kebencian yang disampaikan tokoh agama bisa menginspirasi lahirnya gerakan makar melawan pemerintahan yang sah. Fenomena makar di sebuah negara ini rawan menjalar ke negara lain. Ini yang terjadi di Timur Tengah dalam konteks Arab Spring.
Di sisi lain, situasi keamanan dan politik di sebuah negara pun bisa berpengaruh secara global. Konflik di Eropa antara Ukraina dan Rusia misalnya, berdampak pada krisis pangan dan energi di dunia. Indonesia pun terkena dampaknya dengan kelangkaan pupuk dan naiknya harga pangan.
Di zaman yang serba terkoneksi ini, nalar kolaborasi lebih relevan ketimbang kompetisi. Tidak terkecuali dalam hal keagamaan. Agama tidak akan bisa menyelesaikan masalah jika masih mempertahankan cara berpikir lama yang kompetitif, segregatif, dan konfliktual. Jika masih mempertahankan pola pikir lama, agama justru akan menjadi sumber masalah.
Mencanangkan 2024 Sebagai Tahun Kolaborasi Agama
Sebaliknya, agama-agama harus berkolaborasi untuk menyelesaikan berbagai problem kemanusiaan, mulai dari peperangan-kekerasan yang berakibat pada pelanggaran HAM, ketimpangan ekonomi akibat praktik kapitalisme ekstraktif yang menguntungkan segelintir kalangan, kerusakan alam akibat perubahan iklim dan perilaku manusia serta problem yang disisakan oleh perkembangan teknologi digital dan kecerdasan buatan.
Kolaborasi agama-agama dalam mengatasi problem global kontemporer ini penting untuk membendung narasi rasikalisme dan terorisme yang kerap membonceng isu-isu tersebut. Terorisme selalu mengklaim gerakannya sebagai misi suci mewujudkan keadilan bagi umat manusia. Demikian pula, wacana tentang khilafah selalu berlindung di balik agenda melawan ketimpangan yang diakibatkan oleh demokrasi dan kapitalisme.
Tahun 2024 idealnya dicanangkan sebagai tahun kolaborasi antaragama. Tahun 2024 harus menjadi babak baru relasi antaragama yang egaliter dan berbasis pada dialog dan kerja sama untuk menyelesaikan persoalan kemanusiaan. Agama idealnya tidak boleh hanya identik dengan laku ritual dan spiritual yang elitis dan hanya berdimensi vertikal.
Lebih dari itu, agama idealnya mampu hadir secara langsung dalam kehidupan manusia, sekaligus mampu menjadi solusi atas berbagai problem kemanusiaan. Dengan kata lain, agama harus berdampak secara horisontal dalam kehidupan manusia modern.
Kolaborasi antaragama dalam isu-isu global seperti perang, kekerasan, pelanggaran HAM, ketimpangan, sampai isu lingkungan hidup tidak hanya sekadar menyelesaikan problem kemanusiaan. Dampak lainnya adalah tertutupnya celah bagi paham radikal ekstrem yang kerap mengeksploitasi isu global untuk menyebarkan agenda ideologisnya.