Rian Tak Bisa Mudik (1)

Rian Tak Bisa Mudik (1)

- in Narasi
3548
0

Maukemana, Mas?” Ditanya begitu oleh agen tiket bis, Rian biasanya akan menjawab dengan pertanyaan yang menakjubkan.

“Kursi kosong yang masih tersedia tinggal tujuan ke mana saja?”
“Lho, Mas ini mau mudik ke mana?”
“Eh, nanti kalau saya sebut tujuan malah nggak ada tiketnya karena kursi sudah terpesan semua. Sudahlah, sebutkan saja semua tujuan yang masih menyediakan kursi kosong itu, Mbak, terserah ke mana saja tujuannya!”

Percakapan seperti itu akan sangat ganjil di kuping mbak-mbak agen tiket itu sebab dia tidak tahu siapa tokoh kita ini, Rian Koneng, seorang cowok yang punya masalah dengan mudik. Dia ingin mudik tapi tak punya tujuan mudik, nah, lho.

Mudik adalah perpindahan sekelompok orang dalam jumlah besar dan dalam waktu tertentu namun bersifat sementara (bukan eksodus), dari kota besar ke desa masing-masing. Tujuan pemudik adalah rumah di kampung halaman; bisa jadi berupa tempat dilahirkan; rumah orangtua, rumah kakek-nenek, atau rumah kerabat, yang dijadikan tempat tujuan mudik. Sentra permudikan nasional kita ada di Jakarta dan pergerakan mudik terbesarnya ada di Pulau Jawa.

Rian lahir dan tinggal di Jakarta. Boleh jadi, nenek-moyang dia, awalnya, juga kaum pendatang yang berasal dari desa atau kampung atau kota lain yang jauh dari Jakarta. Karena sudah turun-temurun dan beranak-pinak di Jakarta, jadinya si Rian tidak lagi punya kampung halaman, tak punya bahasa daerah.

Rian bilang kepada saya, di musim mudik, dia selalu ingin mudik, tepatnya ingin turut merasakan sensasi mudik seperti kebanyakan orang. Bagi Rian, itu suatu pengalaman mahal yang tidak dimilikinya. Bagi saya, ini menandakan bahwa kegiatan mudik merupakan sebuah momen dramatis yang sarat muatan psikologis, bahkan spiritual, tidak melulu persoalan ekonomi, tradisi, dan semata fenomena sosial.

Tak heran, jika dalam sekali momen mudik selalu saja ada kesan ‘penghamburan’ moneter hingga miliaran rupiah yang seolah-olah tidak begitu ada gunanya, kecelakaan transportasi yang menyebabkan hilangnya banyak nyawa dan seolah-olah tiada harganya, kemacetan di sana sini yang seolah-olah tidak pernah ada jalan keluarnya.

Unsur psikologis dan spiritual itulah, kita sebut secara sederhana dengan ‘kepuasan’, yang menyebabkan kegiatan mudik terus berlangsung setiap tahun, tak dapat dibendung, sehingga faktor-faktor lain yang lebih rasional tidak dapat diajukan lagi sebagai dalil. Dan unsur ‘batiniah’ inilah yang membuat Rian tidak lagi menggubris pada ‘apa-mudik’ secara etimologis, seperti diperdebatkan bahwa mudik itu berasal dari asal kata ‘udik’; pergi ke udik, alias pergi/kembali ke desa.

Ia tidak juga ambil urusan apakah mudik itu berasal dari kata udik yang menerima simulfiks atau tidak; apakah kata tersebut mengalami peyorasi atau tidak. Begitu pula, Rian tidak ngurus pendapat Pakde Har yang berpendapat bahwa kata mudik itu memang ada dalam kamus Betawi dan berarti pulang. Impiannya merasakan mudik melebihi keinginan untuk tahu akan hal itu semua.

Rian bercerita: jika dia melihat teman-temannya bersiap mudik, atau mendengar cerita mereka sepulang dari kampung dengan sederet kisah sedih saat membawa barang berjibun, termasuk kisah macet dan ribetnya, makin besar keinginannya untuk turut berhiruk-pikuk dalam permudikan.

Maka, terbentuklah keinginan itu yang akhirnya ia lakukan sekali-dua setiap menjelang dan sesudah lebaran. Ia pun ‘pura-pura mudik’, ikut berdesak-desakan antri tiket, padahal tidak jelas pergi ke tujuan tertentu.

Rian juga pernah bercerita begini: suatu hari, pada saat masa mudik Lebaran, dia nonton tivi di rumahnya. Sedang tayang di sana: berita mudik. Ia pun melihat orang rebutan naik bis, rebutan naik kereta, ada pula wawancara calon penumpang yang ingin mudik, menggambarkan semangat yang besar agar sampai di kampung halaman untuk bertemu keluarga.

“Gak tau kenapa jadi nyetrum, refleks aja saya ambil tas lalu berkemas, pergi deh ke terminal, cari bis ke arah mana saja, yang penting masih ada peluang untuk saya ikut, he, he, he…”’ selorohnya. Belakangan ini, kata Rian, agak susah untuk “pura-pura mudik” bergayago show, yaitu cari tiket dan langsung pergi. Pesanan tiket ke semua jurusan seringkali penuh, karena itu harus dipesan jauh hari.

Rian bercerita, ia akan benar-benar trenyuh manakala, dan terutama, mendengar percakapan antar-penumpang yang sedang menelpon sanaknya di kampung, seperti misalnya memberitahukan keadaannya, ‘Pa’e/Bu’e, aku dah di bis, besok dijemput, ya!’, atau hal-ihwal pembicaraan sesama penumpang sendiri, entah yang kenal atau tidak, yang becerita tentang kampung halamannya masing-masing.

Baginya, pemandangan semacam ini akan terus terasa hingga saat (menjelang) tujuan akhir perjalanan dan ia melihat para penumpang turun lalu disambut keluarga yang sudah menunggu di suatu tempat, dlsb. Dalam bayangannya, terlintas bagaimana para pemudik itu bertemu sanak keluarga di kampung, melepas rindu, saling bercerita pengalaman selama setahun. Bagi mereka, ini semua merupakan rangkaian aktivitas mengumpulkan semangat untuk bertarung lagi di rantau.

* * *

Facebook Comments