Sebuah Hikayat Terorisme

Sebuah Hikayat Terorisme

- in Peradaban
3360
0

Teroris bukan isu kemarin sore dan tidak semata terkait dengan negeri-negeri berpenduduk Muslim. Jauh sebelumnya terorisme telah muncul di mana-mana termasuk di belahan dunia Eropa. Di Indonesia sendiri terorisme muncul sejak awal kemerdekaan dengan berbagai motif yang beragam, terutama terkait dengan separatisme. Tuntutan pemberlakuan syariah Islam berakibat tindakan kekerasan dan perlawanan terhadap negara seperti DI/TII adalah salah satu contoh.

Sebagaimana diketahui aksi terorisme adalah tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang atau individu untuk membuat pihak lain merasa ketakutan. Aksi itu berupa ancaman keselamatan seperti pemboman, pembunuhan, maupun tindak kekerasan lainnya. Aksi ini dilatarbelakangi berbagai hal baik itu politik, ideology, atau kepentingan pribadi. Semua sepakat bahwa aksi teror adalah tindakan yang tidak dapat ditelorir karena bertentangan dengan nilai-nilai agama baik agama samawi maupun agama wadiya (agama bumi). Akan tetapi hingga saat ini belum satupun pengertian tentang terorisme yang disepakati oleh semua sarjana dan semua masih tergantung dengan kondisi negara mereka masing-masing.

Pada tahun 1970an Provisional Irish Republican Army (PIRA) sebuah kelompok pemberontak di Irlandia Baru menggunakan taktik ‘”fase terorrisme” setelah gagal melakukan pemberontakan yang terorganisir melawan tentara Inggris. PIRA menyebarkan personi-personilnya ke beberapa tempat termasuk memasuki penjara-penjara Inggris. Langkah ini dimaksudkan untuk membunuh atau menteror polisi-polisi yang bertugas di beberapa tempat atau pengeboman di tempat-tempat umum.

Dalam tempo waktu sekitar 2 tahun, taktik PIRA berhasil membunuh 1800 personil Inggris termasuk sejumlah pendeta dan tokoh-tokoh nasional. Dalam menjalankan misinya, PIRA bekerjasama dengan beberapa organisasi bersenjata seperti, Palestinian Liberation Organization (PLO) dan pemimpin Libya Muammar Qaddafi untuk mendapatkan bantuan persenjataan termasuk beberapa pemberontak dari negara Eropa lainnya seperti Spanyol. Pemboman dan tindak kekerasan yang dilakukan PIRA di tanah Inggris dianggap oleh Inggris dan AS sebagai tindakan teroris.

Pada pertengahan tahun 90-an, aksi-aksi terorisme di belahan dunia Eropa mulai menurun selain karena sikap keras pemerintah terhadap gerakan tersebut juga dicapainya kesepakatan damai antara pemberontak-pemberontak dimaksud dengan pemerintah. Sejalan dengan itu, AS menjadi kekuatan utama setelah perang dingin selesai dan Islam Politik mulai menjadi bahan pembicaraan di dunia Islam.

Isu tentang terorisme mulai diarahkan kepada kelompok-kelompok Islam radikal yang menentang tatanan dunia baru yang disponsori oleh AS dan dunia Barat. Sejalan dengan itu, muncul organisasi-organisasi baru di dunia Islam yang menentang hegemony Eropa dan Barat di belahan dunia Islam seperti gerakan Taliban yang kemudian berkuasa di Afghanistan pada awal tahun 90an.

Aksi-aksi kelompok ini di beberapa tempat seperti di Kenya, Tanzania, Eropa dan AS dilakukan oleh anasir-anasir kelompok Islam radikal yang menentang AS dan Barat mengakibatkan pergeseran mindset bahwa terorisme sangat erat kaitannya dengan kelompok-kelompok Islam radikal. Hampir semua aksi-aksi kekerasan dan tindak-tindak pembunuhan yang terjadi di negara-negara timur tengah atau negara-negara lainnya dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam radikal sehingga lambat laun menciptakan persepsi di kalangan umum bahwa kelompok ekstrim di kalangan umat Islam adalah orang yang suka berjenggot, celana cingkrang, dan berjubah putih.

Diakui atau tidak karena umumnya mereka yang tertangkap dalam sejumlah aksi terorisme di belahan dunia ini dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam radikal yang menggunakan ciri khas tersebut sehingga mau tidak mau persepsi terorisme beralih ke umat Islam dan Islam menjadi sasaran bagi mereka yang anti terorisme. Artinya Islam seakan-akan menjadi pemicu terjadinya kader-kader terrorisme demi sebuah tuntutan dan keinginan walaupun kita semuanya sepakat bahwa Islam bukanlah agama terorisme. Pergeseran persepsi ini mutlak diakui akibat prilaku kelompok tertentu yang mengatasnamakan diri sebagai pejuang agama tuhan dan agama (Islam).

Apa yang berkembang akhir-akhir ini tentang pemboman Mall Alam Sutra yang dilakukan oleh yang bukan Islam radikal atau mereka yang bukan berjenggut telah mengundang opini publik bahwa pemerintah ternyata hanya menilai teroris jika sebuah kejadian dilakukan oleh mereka yang dianggap sebagai Islam radikal akan tetapi jika kejadian atau pemboman dilakukan oleh mereka yang bukan dari kalangan Islam radikal bukanlah teroris. Pada dasarnya semua orang bisa saja berpendapat demikian. Namun yang perlu dipahami adalah mengetahui secara utuh tentang bagaimana pemerintah memberikan penafsiran terhadap apa yang disebut aksi terorisme (baca uu terorisme) dimana pemerintah tidak menyebutkan satu agamapun yang dianggap sebagai biang terorisme akan tetapi pemerintah memberikan pengertian secara utuh tanpa melibatkan satupun agama sebagai sumber terorisme.

Aksi yang dilakukan oleh Leopardo jika memperhatikan undang-undang yang ada tetaplah dianggap sebagai aksi teroris karena yang bersangkutan telah melakukan aksi kekerasan yang mengakibakan ketakutan dan harta untuk mendapatkan keinginannya bahkan telah mengakibatkan korban jiwa. Namun perlu diketahui bahwa Leopardo bukanlah termasuk jaringan terorisme yang selama ini beroperasi di Indonesia sehingga tidak ada salahnya jika kejadian mall alam sutra tidak dikategorikan sebagai aksi terorisme yang selama ini memiliki jaringan di tanah air. Tindakan Leopardo lebih sebagai tindakan individual yang tidak ada kaitannya dengan jaringan terorisme yang ada di tanah air sehingga wajar jika dikatakan bahwa tindakan Leopardo bukanlah tindakan terorisme yang selama ini menjadi fokus penanggulangan terorisme di Indonesia.

Facebook Comments