Sembilan puluh dua tahun yang lalu, tepat pada tanggal 28 Oktober 1928 pemuda-pemuda dari beragam daerah di nusantara bersama-sama berkumpul dan mengikrarkan Sumpah Pemuda: “satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa”. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, momentum ini sungguh penting sebagai tonggak awal munculnya kesadaran bersama (mutual awareness) melawan kolonialisme Belanda yang terjadi pada masa itu.
Momentum ini merupakan awal munculnya kesadaran kaum terpelajar untuk bersama-sama mengkounter ideologi kolonialisme dengan spirit libertarianisme dan egaliterianisme. Bahwa semua orang berhak merdeka tanpa terkecuali. Bahwa dalam kehidupan kemanusiaan, tidak layak ada orang-orang yang menduduki posisi superior untuk menindas, sementara yang lain ditempatkan sebagai inferior. Karena derajat dan martabat manusia adalah sama. Pada saat yang sama, momentum sumpah pemuda juga menandai peristiwa historis social movement (gerakan sosial) untuk membangun sebuah negara-bangsa.
Pada konteks yang lebih luas, momentum Sumpah Pemuda dapat dimaknai sebagai awal munculnya kesadaran pribumi untuk mendefinisikan identitas nasionalnya. Munculnya semangat persatuan, kesatuan dan nasionalisme merupakan hasil dari proses pemuda Indonesia merefleksikan bersama tentang kesadaran nasional. Gerakan ini selanjutnya menentukan bagaimana definisi Indonesia dalam imaji para tokoh pejuang kemerdekaan.
Dalam momentum tersebut, ikrar “persatuan” dikumandangkan oleh tokoh-tokoh muda bangsa, dan selanjutnya kini senantiasa menjadi komitmen bersama. Sehingga, yang mengemuka di permukaan bukan hanya gerakan bersama melawan penjajahan, tetapi juga munculnya kesadaran kebinekaan.
Kesadaran dan imaji yang terbayang dalam benak mereka bahwa Indonesia merupakan bangsa dengan ragam bahasa, suku, etnis, kepercayaan dan agama yang harus disatukan dalam sebuah Negara Kesatuan. Akhirnya, dapat dikatakan bahwa Indonesia lahir dari kebulatan tekad pemuda untuk menyatukan ragam perbedaan dalam tujuan yang sama kemerdekaan Republik Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika. Demikian komitmen ini menjadi semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga saat ini.
Namun, berbeda zaman tentu berbeda pula tantangan. Jika dahulu, tantangan nyata adalah memerangi kolonialisme. Hari ini, musuh nyata bersama warga negara Indonesia (WNI) adalah radikalisme. Ideologi yang melegalkan segala macam cara untuk mencapai tujuan; meskipun dengan jalan-jalan kebrutalan.
Apalagi,menurut Johanes Eka Priyatna (Kompas, 28 Oktober 2019) hadirnya teknologi (deep learning), penerjemahan bahasa lintas negara bukan lagi menjadi masalah karena akan semakin disempurnakan dengan artificial intelegent (AI). Tak heran, beragam ideologi transnasional bisa menyasar negara mana pun, termasuk Indonesia. Hal ini karena orang mana pun mudah mengakses informasi yang berasal dari mana pun via internet dan dapat dengan mudah memahaminya. Celakanya, apabila informasi yang dibaca berisi hoaks, ujaran kebencian dan narasi-narasi radikal, tentu orang tersebut dapat dengan mudah terjangkit fanatisme identitas serta terpapar radikalisme.
Tentu saja, ini menjadi ancaman serius bagi keutuhan dan kebinekaan NKRI. Meski jumlah mereka saat ini masih tergolong kecil, ideologi ini tetap berpotensi tumbuh subur apabila tidak disikapi dan diantisipasi secara serius. Maka itu, perlu kesadaran bersama untuk bersama melawan bahasa radikalisme, intoleransi dan fanatisme dengan bahasa “persatuan”. – bahasa Pancasila. Sama halnya dengan kegagalan memahami bahasa yang berbeda, kegagalan memahami bahasa persatuan juga akan menyebabkan ketersinggungan atar anak bangsa, karena kita tak menggunakan paham yang satu dan mengedepankan persatuan (Yohanes Bara, 2019).
Dengan begitu, jumlah kelompok yang sadar tentang pentingnya persatuan membesar; di sisi lain, mempersempit ruang gerak kelompok ekstrimis dan antipersatuan. Bahkan, dalam capaian lebih luas, kita bisa menyadarkan orang-orang fanatis, ekstrimis, radikal dan antipersatuan untuk bersama-sama mendukung segala upaya untuk membangun NKRI dan mengecam segala macam aksi yang menghalangi ketentraman dan memecah-belah persatuan yang telah berdiri kokoh.
Benedict Anderson dalam Imagined Communities(1983) menyebutkan, batas sebuah bangsa adalah kesadaran kolektif sekelompok orang mengenai nilai dan kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat sejak pendirian bangsa tersebut. Dan, batas kebangsaan kita sendiri adalah persatuan dan kesatuan yang berdasar pada “Pancasila”. Oleh karenanya, mari bersama-sama membumikan Pancasila agar kita tetap utuh berdiri sebagai sebuah bangsa. Itulah keniscayaan agar kita tetap dapat berdiri kokoh sebagai bangsa yang utuh – Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ingat, bahwa tanpa persatuan dan kesatuan dari kemajemukan, tidak akan pernah ada Indonesia. Kemajemukan adalah fitrah yang diciptakan Tuhan untuk bangsa Indonesia, yang selanjutnya turut menjadi fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Wallahu a’lam bish-shawaab.