Sebagai negara majemuk, Indoensia selalu dihantui oleh potensi perpecahan dan konflik. Mengelola masyarakat dengan multiidentitas bukan persoalan mudah. Maka, kita patut berbangga bahwa sampai hari ini, negara ini tetap eksis dan bertahan dengan kemajemukannya.
Bahwa ada riak-riak konflik yang mewarnai relasi antar-masyarakat itu tentu tidak bisa dibantah. Tempo hari misalnya, muncul gesekan sosial di Bitung, Sulawesi Utara. Dua ormas terlibat bentrok massa.
Satu hal yang patut dicermati dari konflik Bitung adalah kesigapan dalam meredam eskalasi kekerasan dan konflik. Dalam hitungan jam, suasana kembali kondusif, dan konflik tidak meluas.
Padahal, narasi provokatif di media sosial yang ingin menggiring konflik ini ke dalam isu SARA sangat kencang. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat sudah siap menangani konflik komunal. Sejarah kelam konflik berlatar SARA di awal era Reformasi tampaknya membuat publik sadar akan bahaya provokasi dan adu-domba.
Mekanisme Pencegahan Konflik Berbasis Kearifan Lokal
Masyarakat Nusantara sebenarnya sudah memiliki mekanisme resolusi konflik yang terbukti efektif. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya tradisi atau kearifan lokal masyarakat Nusantara yang menjunjung perdamaian, persaudaraan, dan anti-konflik. Salah satu yang termasyhur adalah tradisi Pela Gandong.
Konsep kerukunan antar-kelompok masyarakat yang berbeda identitas seperti Pela Gandong ini pada dasarnya adalah semacam rekayasa sosial untuk mengelola keragaman agar tidak menjurus pada konflik komunal.
Dalam leksikon teori sosial, rekayasa sosial tidak selalu berkonotasi negatif. Rekayasa sosial seperti muncul dalam tradisi Pela Gandong bukanlah penipuan atau manipulasi. Melainkan sebuah strategi untuk membentuk semacam ikatan imajiner antarkelompok masyarakat yang berbeda identitas.
Selama ini, jejaring sosial di masyarakat umumnya terburuk karena hubungan keluarga dan kesamaan identitas (suku dan agama). Konsep Pela Gandong ini memungkinan terciptanya relasi atau jejaring kekerabatan dan persaudaraan di luar ikatan matrimonial (perkawinan).
Pela Gandong dikenal sebagai tradisi lokal masyarakat Maluku, khususnya Maluku Tengah. “Pela” diartikan sebagai relasi perjanjian persaudaraan antara satu negeri dengan negeri lain yang berada di satu pulau atau antar-pulau dan berasal dari latar-belakang suku serta agama berbeda. Sedangkan “Gandong” sendiri diartikan sebagai adik.
Perjanjian persaudaraan antar-suku dan antar-agama ini diikat dalam sebuah upacara sumpah dengan meminum sopi, sejenis tuak khas lokal Maluku serta memakan sirih. Tuak menyimbolkan ikatan darah dan sirih menggambarkan kesejahteraan. Ketika dua kelompok terikat dalam perjanjian Pela Gandong, maka keduanya terikat dalam komitmen untuk saling membantu dan menjaga.
Uniknya, tradisi Pela Gandong ini tidak hanya terjadi di lingkup satu agama, namun lintas-agama. Maka adalah pemandangan yang wajar di Maluku Tengah ketika ada komunitas Islam membangun masjid, kelompok Kristen datang memberikan bantuan material atau tenaga kerja. Demikian pula sebaliknya, ketika umat Kristen membangun gereja, komunitas muslim yang terikat perjanjian Pela Gandong datang mengulurkan bantuan.
Menggali Kearifan Lokal untuk Mengembangkan Toleransi Universal
Pela Gandong hanyalah satu dari sekian banyak warisan kearifan Nusantara yang efektif mencegah konflik komunal. Sebenarnya, hampir tiap suku di Indonesia memiliki tradisi dan kearifan lokalnya sendiri dalam menjaga perdamaian dan mengembangkan toleransi universal.
Di masyarakat Jawa misalnya dikenal diktum “tepo seliro”. Yakni sikap memperlakukan orang lain dengan pendekatan simpati dan empati. Masyarakat Jawa mengenal adagium “ojo njiwit nek ra gelem dijiwit”.
Secara harfiah maknanya adalah jangan mencubit jika tidak mau dicubit. Ungkapan sederhana itu memiliki makna mendalam. Bahwa manusia idealnya memperlakukan orang lain sebagaimana dia ingin diperlakukan.
Sedangkan masyarakat Papua mengenal falsafah “satu tungku tiga baru” yang menggambarkan nilai toleransi dan kerukunan masyarakat. Satu tungku (alat memasa
k) adalah simbolisasi sumber kehidupan.
Sedangkan tiga batu adalah manifestasi dari tiga identitas manusia yakni suku, agama, dan status sosial. Makna filosofi satu tungku tiga batu adalah meski manusia berbeda suku, agama dan status sosial, pada dasarnya kita saling bersaudara.
Satu hal yang penting bagi masyarakat Indonesia saat ini adalah menggali dan mengembangkan kembali konsep kearifan lokal untuk mencegah konflik komunal. Pendekatan kearifan lokal terbukti lebih ampuh dalam resolusi konflik ketimbang pendekatan hukum, keamanan, apalagi militeristik.
Mekanisme resolusi konflik biasanya dibagi ke dalam dua macam. Pertama, pencegah konflik artinya mengupayakan agar konflik tidak terjadi. Kedua, penangangan konflik yakni upaya mengakhiri konflik dengan mekanisme rekonsiliasi.
Ketiga, penangangan pasca-konflik yakni mengatasi persoalan sebagai residu konflik. Misalnya dengan rehabilitasi sosial dan sejenisnya. Mekanisme paling ideal dalam resolusi konflik tentu yang pertama, yakni mencegah terjadinya konflik.
Berbagai tradisi kearifan lokal Nusantara kiranya mampu menjadi elemen penting dalam resolusi konflik. Terutama dalam mencegah pecahnya konflik komunal. Tinggal bagaimana masyarakat hari ini berusaha menggali dan menghadirkan kembali tradisi, budaya, dan kearifan lokal yang mulai tergerus oleh arus modernitas.