Tugas Milenial adalah Edukasi Bela Negara pada Masyarakat

Tugas Milenial adalah Edukasi Bela Negara pada Masyarakat

- in Narasi
1855
1
Tugas Milenial adalah Edukasi Bela Negara pada Masyarakat

Bung Karno dulu pernah berpesan kepada kita, bahwa jangan sekali-kali melupakan sejarah. Tentu Bung Besar memiliki alasan kuat mengapa melontarkan hal tersebut, yakni salah satunya, karena dengan mempelajari sejarah, kita akan tahu perjalanan sebuah bangsa dari masa ke masa. Pengetahuan tersebut bisa kita gunakan sebagai kaca mata tembus pandang untuk melihat hari depan dan merumuskan strategi untuk bertahan hidup.

Indonesia sebagai negara kesatuan, memiliki sejarah menarik, berkaitan dengan upaya warganya dalam mempertahankan kedaulatan. Bahwa dulu, Belanda enggan melepas Indonesia (Hindia Belanda) dari tangannya, setelah sekian lama berhasil mengeruk kekayaannya yang melimpah. Sebuah hal yang wajar bila Kolonial Belanda bersikeras mempertahankan Hindia Belanda agar tetap menjadi ‘sapi perahnya’, karena nyatanya bisa membuat Belanda makmur –sekalipun tanah jajahannya amat menderita.

Momentum tersebut terjadi sekitar tahun 1948, di mana Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia yang sudah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Soekarno-Hatta, dwi-tunggal yang memimpin Indonesia, ditangkap Belanda pada 19 Desember 1948. Untungnya, mereka yang ditangkap sempat mengadakan rapat dan memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan sementara. Pemerintah sementara tersebut kerap dikenal Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), yang berlangsung sekira 22 Desember 1948 – 13 Juli 1949. Lalu, tanggal 19 Desember diabadikan sebagai Hari Bela Negara, lantaran secara historis menjadi cikal-bakal berdirinya PDRI, sebagai respon negara Indonesia yang menolak tunduk pada kolonial Belanda.

Tentu saja, dari peristiwa tersebut, ada banyak hal yang bisa diambil hikmahnya. Bahwa sebagai bangsa, kita disatukan dengan harapan bersama, yakni ingin menjadi bangsa merdeka. Karena memiliki asa bersama, dan juga musuh bersama (waktu itu Belanda), maka daya juangnya pun lebih kuat; hingga pada akhirnya bisa mempertahankan kedaulatan negara.

Baca juga :Generasi Milenial dan Bela Negara dalam Kebhinekaan

Namun sayangnya, tak banyak warga negara Indonesia yang melek sejarah. Tingkat buta huruf yang telah menurun drastis semenjak era Soekarno hingga sekarang, ternyata bukan jaminan munculnya tradisi membaca yang baik. Bisa membaca, tidak berbanding lurus dengan gemar membaca. Hal inilah yang menjadikan warga negara miskin asupan gizi pengetahuan sejarah, sehingga tidak bisa menangkap semangat zaman. Dan, hal inilah yang sebenarnya ditakutkan Bung Karno, karenanya ia memandatkan kepada siapapun untuk ‘jangan sekali-kali melupakan sejarah.’

Di samping minim melakukan pembacaan pada sejarah, persoalan lain adalah pemahaman masyarakat kepada konsep bela negara. Masih ada banyak masyarakat yang menganggap bela negara hanyalah tugas militer sebagai garda terdepan yang bertugas mengamankan negara dari gangguan luar. Karena pemahaman ini, kemudian masyarakat merasa berlepas tangan dari tanggung jawab bela negara. Hal ini sebagaimana diungkapkan pakar bela negara dari Kementrian Pertahanan, Ruly Rahadrian, bahwa ia berkata, “Selama ini, masyarakat mengira bela negara hanya berupa latihan militer. Padahal, konsep utama bela negara terletak pada aspek ideologi dan sosial.” (kemenhan.go.id)

Urgensi edukasi bela negara

Berpijak pada statemen Kementrian Pertahanan, maka perlu kiranya kita, terutama generasi milenial memiliki inisiatif untuk mengedukasi masyarakat terkait konsep bela negara. Bahwa bela negara bukanlah perjuangan eksklusif yang hanya dibebankan kepada militer, melainkan semua warga negara Indonesia, sesuai dengan kapasitas masing-masing. Menyederhanakan pemaknaan bela negara kepada masyarakat, dengan begitu, amatlah mendesak, supaya bisa lebih membumi dan aplikasinya bisa dipraktikkan oleh semua kalangan.

Maka dari itu, langkah pertama yang dilakukan adalah dengan mengenalkan sejarah kepada masyarakat. Di era digital semacam ini, tentu bukan perkara yang sulit untuk mereproduksi ulang narasi sejarah ke dalam bentuk yang beragam; bisa tulisan, visual, maupun audio-visual. Gerakan edukasi sejarah bangsa melalui berbagai media, tentu akan lebih efektif, untuk menampung orang yang memiliki kecenderungan belajar beragam; ada yang audiotori, visual, dan kinestetik.

Sementara untuk konten-kontennya, mau tidak mau kita harus membaca buku. Benar memang, internet memudahkan kita untuk mencari informasi; tapi karena seperti belantara, informasi di internet kerap disisipi dengan informasi hoaks. Di samping itu, dengan membaca buku juga melatih diri kita untuk berpikir secara mendalam dan kritis, sehingga tidak menjadi generasi kagetan. Sebenarnya boleh kita mengakses informasi dari media-media berbasis online, tapi dengan catatan, media tersebut kredibel dan terdaftar dalam Dewan Pers.

Sedangkan langkah kedua adalah, memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa bela negara memiliki makna yang luas. Misalnya, cukuplah bagi pelajar untuk belajar dengan rajin dan tekun, sebagai bentuk konkrit bela negara. Pengusaha, ikut andil dalam misi bela negara dengan cara memberdayakan lingkungan sekitar dan membuka lapangan pekerjaan baru. Tegasnya, bela negara adalah spirit cinta kepada negara-bangsa Indonesia, yang diaktualisasikan dalam berbagai macam bentuk kegiatan dan terobosan. Selama hal tersebut bertujuan atau berefek pada kebaikan bersama, maka sesungguhnya pelakunya tengah berjuang membela negara.

Facebook Comments